Ar-Raniry: Sufi Pembaharu

Dalam bentang sejarah Aceh yang sudah berjalan beberapa abad, Aceh adalah salah satu pusat berkembangnya ilmu pengetahuan Islam. Perjalanan panjang sejarahnya membuktikan bahwa Aceh telah mencapai masa kegemilangannya dalam segala bidang pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda,di bidang ilmu pengetahuan misalnya, Aceh merupakan tempat  berkembang pesatnya ilmu pengetahuan Islam, hal ini bisa dilihat dengan  banyaknya para penuntut ilmu di Aceh yang berasal dari belahan dunia, begitu pula hadirnya para ulama dari dalam maupun luar Aceh yang telah melahirkan karya-karya ilmiah yang menjadi panutan bagi penuntut ilmu khususnya di Nusantara.

Salah satu ulama terkenal yang telah menginjaki kakinya di bumi Aceh dan telah memberi pengaruh besar di dalam konteks keislaman di Aceh adalah SYEIKH NURUDDIN al-RANIRI. Beliau adalah seorang ulama yang berasal dari Ranir (India). Nama lengkapnya, Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Hamid  al-Syafi'i al-Asyary al-Aydarusi al-Raniri. la dilahirkan di Ranir (Randir), sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat, sekitar pertengahan kedua abad XVI M. Namun kepastian tanggal lahir beliau masih diperdebatkan oleh ahli sejarah.

Ilmu pengetahuan pertama sekali didapatinya di tanah kelahirannya Ranir, kemudian melanjutkan ke Tarim, Hadhramaut dan ke tempat-tempat lain yang menjadi pusat berkembangnya ilmu pengetahuan Islam, pada tahun 1030 H/1621 M beliau bekunjung ke Mekah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Di tanah Haram inilah beliau menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan orang-orang yang sudah menetap dan belajar di Arab yang berasal dari wilayah Nusantara.

Beliau adalah seorang ulama ahlu sunnah wal jamaah yang bermazhab Syafi'i dan Asy 'ari dalam bidang syariat dan akidah. Sedangkan dalam bidang tasawuf, beliau adalah murid Syeikh Said Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban yang merupakan syeikh tarikat Rifa'iyah. Dari guru inilah beliau belajar tarikat ini dan kemudian mengembangkannya kepada murid-murid yang lain. Selain itu beliau juga belajar tarikat Qadiriyah yang didirikan oleh syeikh Abdul Qadir Jailani. Dalam ajaran tasawuf, seorang murid boleh mengamalkan lebih dari satu tarikat dengan syarat tidak mengkhususkan dirinya (suluk) pada tarikat tertentu, seperti dikemukakan  syeikh Muhyiddin ibn Arabi dalam bukunya FUTUHAT MAKKIYAH.

Beliau adalah ulama besar yang menguasai pelbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti teologi, fikih, hadits, tasawuf, perbandingan agama, dan ahli hukum. Beliau  juga seorang sastrawan dan politisi. Kepribadiannya yang menguasai banyak bidang menimbulkan kesalah-pahaman, terutama jika kita memandang pemikirannya hanya dari satu aspek tertentu. Akibatnya sampai saat ini dia lebih sering dianggap sebagai seorang sufi yang hanya disibukkan dengan praktik- praktik mistik, padahal dia juga seorang fakih yang memberi pengaruh besar dalam masyarakat. Beliau juga seorang ulama yang berpengetahuan luas dan produktif dalam menulis, karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa arab dan melayu mencapai 29 buku, sebagiannya beliau tulis untuk melawan paham wujudiyah, sepeerti as-Sirat al-Mustaqim, Asrar al-Insan fi Ma’rifat ar-Ruh wa ar-Rahman , al-Fath al-Mubin  `Ala al-Mulhidin.

Mengenai tahun berapa beliau pertama sekali masuk ke Aceh masih menjadi perdebatan dikalangan  ahli sejarah, melihat kemahirannya menulis dan berbahasa Melayu dan adanya karangan berbahasa Melayu yang ditulis sejak 1633 M, orang memperkirakan pada 1620 M, beliau telah masuk ke Aceh dan mempelajari paham wujudiyah yang sedang dikembangkan oleh Syekh Syamsuddin as-Sumatrani yang menjadi mufti pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sebagian para ahli mengemukakan bahwa beliau masuk ke Aceh pada tahun 1637 M, satu tahun setelah Sultan Iskandar Muda wafat.

Salah satu faktor utama yang mendorong beliau datang ke Aceh adalah ingin melawan paham wujudiyah yang dikembangkan oleh Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsudin as-Sumatrani. Pemahaman ini menurut beliau salah (sesat) karena bertentangan dengan nash dan sunnah, beliau menyerukan tasawuf yang bertumpu pada koridor syariat. Sebagian sumber sejarah menyebutkan bahwa beliau adalah pengikut tasawuf yang mu'tabarah, mengamalkan berbagai tarikat dan beliau tidak pernah menyalahkan Syeikh Muhyuddin ibn 'Arabi, Abi Yazid al-Bistami, 'Abdul Karim al-Jili, Abu Manshur Husein al-Hallaj.

Konsep tasawuf yang diserukan oleh Hamzah Fansuri adalah upaya untuk mencapai realitas (haqiqah), seperti terlihat dalam sajak-sajaknya, yang pada akhirnya akan membawa manusia kepada tingkat bersatu dengan wujud (tuhan). Konsep seperti inilah yang dianggap salah oleh Syeikh Nurudin ar- Raniri.

Pada masa pemerintahan Iskandar Tsani, beliau mendapat perhatian khusus dari sultan sehingga beliau diangkat menjadi mufti semasa pemerintahan Iskandar Tsani, dengan berbagai latar belakang yang beliau miliki khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan membuat dirinya berada pada posisi penting dalam kerajaan Aceh saat itu.

Al-Raniri merupakan sosok ulama yang memiliki banyak keahlian. Keragaman keahlian tersebut dapat dilihat dari kiprahnya selama di Aceh, al-Ranirilah yang menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara. Disamping itu beliau merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktek sufi yang salah dan benar. Upaya seperti ini memang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu, namun semuanya gagal, seperti yang telah dilakukan oleh Fadhl Allah al-Burhanpuri,  Hamzah Fansuri dan Samsuddin al-Sumaterani.

Oleh karena itu, dalam pandangan al-Raniri masalah besar yang dihadapi umat Islam, terutama di Nusantara, adalah akidahpaham immanensi antara Tuhan dan makhluknya merupakan praktek sufi yang berlebihan. Mengutip doktrin Asy'ariyah, al-Raniri berpandangan bahwa antara Tuhan dan alam raya terdapat perbedaan (mukhalkfah), sementara antara manusia dan Tuhan terdapat hubungan transenden. Beliau lebih menekan pada keselarasan antara praktek mistik dan syariat.

Pada tahun 1054 H/1644 M, beliau meninggalkan Aceh dan kembali ke tanah kelahirannya (Ranir) tanpa sebab yang jelas, pada tanggal 22 Dzulhijjah 1069 H/21 September 1658 M, beliau wafat di tanah leluhurnya.

Beliau adalah salah satu tokoh pembaharu yang telah memberikan pengaruh besar dalam tatanan kehidupan Nusantara umumnya dan bangsa Aceh khususnya, dengan meluruskan pemahaman terhadap Islam pada semua bidang, khususnya di bidang tasawuf yang telah melenceng dari tasawuf yang dimaksudkan dalam Islam.

Dari uraian singkat perjalanan tokoh kita kali ini, penulis ingin mengajak kita semua, khususnya para penimba ilmu di al-Azhar untuk membuat perubahan di 'tanah rencong' kita tercinta seperti yang telah dilakukan oleh tokoh kita ini, dengan cara meluruskan pemahaman masyarakat terhadap Islam dan bukan “menghancurkan” salah satu pondasi Islam dan dengan menggunakan manhaj al-Azhar yakni manhaj wasathiyah dan bukan tasyaddud. Wallahu a’lam.

Tulisan Tgk. Samsul Bahri Panga
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Al-Azhar Kairo Studi Kepakaran Bahasa Arab

Sudah pernah dimuat di Buletin El-Asyi

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top