Jangan Arabisasi Islam

BAGI saya, bulan Ramadhan identik dengan musim budaya Arab. Saya berkesimpulan seperti itu karena menemukan kejanggalan ketika beberapa kali menyaksikan acara realiti show religius selama Ramadhan di beberapa siaran televisi nasional. Kejanggalan tersebut berupa dipakainya musik Arab sebagai musik latar acara. Sekilas bagi orang yang tak paham makna lirik lagu tersebut, terkesan itu adalah lagu-lagu religi. 
Bagaimana tidak, bagi masyarakat kita semua yang berbau Arab baik dari segi pakaian, musik, maupun bahasa seakan sudah dianggap bagian dari agama Islam. Padahal lagu dan musik yang menjadi latar acara-acara religi tadi tak jauh beda dengan lagu pop dan lagu dangdut negara kita.

Itu baru dari segi bahasa. Lain lagi halnya dari segi pakaian. Semakin hari semakin aneh saja jika kita amati tren berbusana para artis dan presenter televisi selama bulan Ramadhan. Mereka mencoba ‘mengislamikan’ penampilan, namun bagi saya itu malah kelihatan aneh. Bagaimana tidak menjadi aneh jika seorang presenter acara gosip memakai busana bercorak ketimuran dan itu khusus terjadi pada bulan Ramadhan dan hari-hari besar Islam. Saya katakan bercorak ketimuran karena memang mereka tidak menutupi aurat sebagaimana mestinya. Ada yang menaruh selembar selendang di atas kepala namun sebahagian besar rambut terurai indah ke belakang punggung.

Ketika satu bagian ditutupi dan bagian lain dibuka-buka, lalu di mana letak nilai ‘sakral’ dari jilbab tersebut jika bagian aurat yang lain diremehkan? Bukankah jika demikian tingkah dalam berbusana, nilai jilbab hanya tinggal sebatas budaya Arab belaka? Karena salah satu misi Islam adalah mengubah budaya Arab dalam hal berbusana agar ‘kaffah.’ Seluruh ahli fiqh telah bersepakat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Parahnya, tren busana artis ibukota tersebut marak diikuti oleh kaum perempuan di daerah berstatus syari’at Islam, dengan bermacam model dalam bergaya.


Universalitas Ajaran Islam


Bahasa Arab mempunyai keistimewaan dalam agama Islam. Oleh karena itu, umat Islam sangat dianjurkan mempelajari bahasa Arab sebagai langkah utama mendalami ilmu agama. Hal ini dikarenakan dua sumber pokok ajaran Islam sepenuhnya menggunakan bahasa Arab. Allah Swt berfirman:”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS 43:3). Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Pelajarilah bahasa Arab, sesungguhnya ia bagian dari agama kalian.” Begitu tingginya kedudukan bahasa Arab dalam Islam, sehingga Ibnu Taimiyah berpendapat; 
“Bahasa Arab itu termasuk bagian dari agama, sedangkan mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Alquran dan Assunnah itu wajib. Tidaklah seseorang bisa memahami keduanya kecuali dengan bahasa Arab, dan tidaklah kewajiban itu sempurna kecuali dengannya (mempelajari bahasa Arab), maka ia (mempelajari bahasa arab) menjadi wajib. Mempelajari bahasa Arab, di antaranya ada yang fardhu ‘ain, dan adakalanya fardhu kifayah.” Hasan Al-Bashari, beliau pernah ditanya, “Apa pendapat Anda tentang suatu kaum yang belajar bahasa Arab?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang yang baik, karena mereka mempelajari agama nabi mereka.”

Bahasa Arab juga berperan penting dalam membangun komunikasi antarsesama kaum muslimin di seluruh dunia. Sebagai contoh kongkrit, kita akan memperoleh kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji maupun umrah jika memiliki sedikit saja kemampuan berbahasa Arab, apalagi jika kita tiba-tiba terpisah dari jamaah kita yang lain. Namun, menempatkan keistimewaan bahasa Arab yang tidak pada tempatnya malah akan mendatangkan musibah. Tentunya kita masih ingat dengan peristiwa pengrusakan sebuah sekolah di Blang Bintang hanya karena dianggap melecehkan Alquran. Padahal tuduhan tersebut hingga saat ini tidak terbukti.

Alquran diturunkan di tengah bangsa Arab dan selama ini orang beranggapan bahwa Alquran telah ‘menyesuaikan diri’ dengan adat Arab pada awal mula Islam. Dari pemahaman semacam itu nantinya berkembang anggapan bahwa ajaran Islam yang kita anut saat ini tak lepas dari pengaruh budaya Arab. Hal ini amat keliru, karena sebenarnya adat Arab-lah yang menyesuaikan diri dengan Alquran.

Jika Alquran menyesuaikan diri dengan adat Arab, maka tentunya nilai-nilai keislaman yang sekarang ini dijalankan oleh kaum muslimin di seluruh kawasan dunia sangatlah dipengaruhi oleh adat Arab. Hal ini juga tentunya membuat kandungan Alquran sedikit ‘cacat’ karena sebuah kitab suci harus menyesuaikan diri dengan adat bangsa tertentu. Alquran memuat nilai-nilai moral, ajaran, dan hukum yang bersifat universal untuk seluruh muslim di seluruh dunia, bukan hanya untuk masyarakat Arab semata.


Jubah dan Kain Sarung


Jika kita membahas masalah baju jubah, ada hadis yang menunjukkan bahwa Nabi lebih menyukai memakai gamis (sejenis jubah) daripada jenis pakaian lain yang dikenakan oleh orang Arab pada masa tersebut. Hal ini dikarenakan jubah lebih simpel dan lebih menutupi tubuh. Namun, Nabi saw juga melarang umatnya untuk mengenakan pakaian yang menyebabkan “popularitas” atau terlalu mencolok dan terkesan asing bagi suatu kaum (Lihat HR. Ahmad no 5631, Abu Dawud 4029). Bahkan yang dianjurkan adalah kita mengenakan model pakaian yang biasa dipakai di tengah-tengah masyarakat kita. Oleh karena itu para shahabat, tatkala menaklukkan berbagai negeri mereka mengenakan pakaian sebagaimana pakaian masyakarat setempat.

Di Arab sana, non-muslim juga banyak yang memakai baju jubah. Sebagai contoh, sebut saja kristen koptik di Mesir. Jika kita ke Mesir, maka akan susah bagi kita untuk membedakan Muslim dan Kristen selain dari tanda pengenal orang Kristen berupa adanya tato palang salib di pergelangan tangan kanan mereka. Namun, biasanya muslim memakai jubah putih dan para pastur koptik memakai jubah hitam. Pernahkah terpikirkan, bagaimana jika Musailamah Al-Kazzab, Abu Jahal, dan para penentang dakwah Nabi juga menyukai jubah?

Di daerah kita, orang yang berjubah dianggap punya nilai plus dalam beragama. Sebaliknya, budaya kita memakai kain sarung yang terkesan ‘meutengku,’ di Arab ‘derajat’ kain sarung malah bisa dikatakan kurang dihargai. Di Mesir, orang Indonesia dan Malaysia serta beberapa negara yang membudayakan kain sarung, kemungkinan besar akan ditertawakan oleh masyarakat pribumi. Karena bagi orang Mesir, kain sarung lazim dipakai untuk malam zifaf, malam pertama bagi pengantin, dan itu menjadi aib jika harus dipakai ke luar rumah di hari-hari biasa.

Akhir kalam, tidak semua yang berbau Arab itu sakral. Sebagai muslim yang baik, kita hendaknya bisa membedakan mana yang sakral dan mana yang profan, antara religi dan yang hanya sekadar bernilai budaya semata. Jika semua budaya Arab dipahami sebagai bagian dari Islam, maka akan menjadi musibah dalam beragama. Contohnya, musik Arab yang jadi latar acara religius tadi, kerancuan dalam berbusana dan pengrusakan sekolah atau pengajian lantaran dianggap melecehkan tulisan Arab yang terlanjur dianggap ‘sakral.’ Tentunya kita tidak ingin seperti seorang tidak waras yang ada di daerah tempat tinggal saya. Dia memungut setiap bungkus mie instan yang tercecer di jalanan kemudian menyangkutnya di pagar-pagar rumah dan sekolah lantaran tidak ingin terinjak-injak manusia karena ada tulisan “petunjuk penyajian” di belakang bungkus mie yang tertulis dalam bahasa Arab jawo. Wallahu’alam.
Tulisan Tgk. H. Hilal Nashruddin, Lc.

Alumni Al-Azhar Kairo, Anggota FLP Aceh, Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Konsentrasi Fikih Modern.
Sumber: Harian Serambi Indonesia, 26 Agustus 2011

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top