Matematika Tuhan


Azan dzuhur mulai terdengar tepat saat lelaki paruh baya itu sampai di depan Mesjid Raya Baiturrahman. Ia pun memarkir becaknya di parkiran yang tersedia, lantas beranjak menuju kamar mandi umum. Perlahan ia lepaskan peci hitam kusam dari kepala,lalu memulai rukun wudhu yang pertama. Rasa sejuk kemudian menjalar keseluruh tubuh, seakan beban hidup yang ia pikul selama ini perlahan menghilang.

Mamang nama lelaki itu. ia hanya seorang penarik becak yang tinggal di sudut kota Banda Aceh. Keadaannya yang serba pas-pasan tak menjadikan imannya ikut menjadi miskin. Tidak, bahkan dari raut wajahnya yang teduh saja, seseorang dapat merasakan betapa kaya hati pak Mamang.

Siang itu, usai shalat jumat pak Mamang terlihat sibuk menawarkan jasa becaknya pada orang-orang yang lewat didepannya. Panas mulai terasa membakar. Peluh pun mengalir deras dari dahi pak Mamang. Letih menunggu, akhirnya pak Mamang mendayung becak tersebut dan memarkirnya dipelataran sebuah supermarket yang cukup megah.

Kawasan supermarket tersebut lumayan nyaman. Didepannya ada beberapa pohon rindang yang cukup untuk berteduh dari panasnya sang surya. Pak Mamang masih terus menyapa orang-orang yang lewat, lambaian tangan mereka mengisyaratkan kalau mereka tak butuh bantuannya. Ia pun maklum, karena memang kini jasa becak mulai jarang diminati. Zaman kian maju, hampir rata-rata orang punya motor atau mobil pribadi. Orang-orang penawar jasa sepertinyaperlahan mulai tersingkirkan.

Pandangan pak Mamang kini tertuju pada seorang wanita dengan barang belanjaan dikiri kanannya. Seperti ada secercah harapan, ia kemudian menghampiri ibu tersebut.

“Becak, Bu?” tawarnya.

“Nggak, Pak. makasih” jawab wanita itu. Tapi kelihatan sekali ia mulai tak sabar. Hp ditangannya tak henti ia pencet, mencoba menelpon nomor yang sama. Hingga akhirnya, terdengar jawaban dari seberang sana.

“Assalamu’alaikum. halo, Pa. Papa dimana? Jadi jemputkan?.”

“Loh, kog tiba-tiba? lha Mama gimana ni pa? apa? Naik becak? yaudah deh,
kalo udah selesai rapatnya langsung pulang ya…daa sayang. Wa’alaikumsalam.”
Klik. Hp dimatikan. Wanita itu tergopoh-gopoh menuju ke arah pak Mamang.

“Pak… Jambo Tape ya”ucap wanita tadi.

“Baik, silakan Bu” jawab pak Mamang.

Pak Mamang kemudian terlihat sibuk mengangkat barang-barang belanjaan wanita tadi, dan menaruhnya dibecak.

“Belanjanya banyak ya, Bu…” ucap pak Mamang ramah.

“Lumayan, pak. Bulan depan suami saya naik haji. Jadi saya siapkan kebutuhannya dari sekarang.”

“Wah… senang sekali rasanya, saya juga kepengen sekali ibadah haji, Bu. Tapi yaa… belum ada rezeki buat kesana” tambahnya kemudian.

Ibu tadi terdiam. Sekilas ia tatap lelaki disampingnya. Rasa iba kini merasuki hatinya.
“insyaAllah, Pak. Kalo kita punya niat, pasti kesempatan itu akan tiba. Allah itu maha pemurah, jangan ragu…” jawab wanita itu lagi. Laki-laki itu tersenyum, dan kemudian hanya keheningan yang tersisa diantara keduanya.

Dua puluh menit berlalu, pak Mamang tiba di halaman rumah wanita tersebut. Namun tiba-tiba si wanita terkejut karena pak Mamang tidak mau menerima upahnya. Dipaksa pun pak Mamang tetap menolak.
“kenapa, Pak?” tanya ibu itu dengan kening berkerut. Baru kali ini ia temui pendayung becak yang tak mau menerima bayaran.

“Ini sedekah dari saya” jawab pak Mamang dengan senyum yang mengembang. Ia pun memutar balik becaknya dan bersiap pergi, meninggalkan ibu tadi dalam kebingungan dan pertanyaan yang bersemayam dikepalanya.

Malamnya, kejadian itu ia ceritakan pada suaminya, Bahar.
“dia sempat cerita sama Mama, kalau dia juga pengen naik haji kayak Papa, tapi gak punya biaya. Mama herannya kenapa dia gak nerima bayaran dari Mama ya, padahal dia butuh uang itu” kening istri pak Bahar mulai berkerut. Lalu istrinya kembali melanjutkan ceritanya…

“Pa, zaman sekarang sudah tidak ada orang seperti itu. orang yang bisa dipercaya udah langka” wanita itu menatap suaminya lekat-lekat. “Papa kan sibuk ngantor, apa salahnya jasa tukang becak itu kita pakai untuk mengantar jemput Rizki ke sekolah. Sekalian membantu, Pa.”

Lelaki dihadapannya itu tak bergeming, berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan istrinya. Seperti apa sebenarnya sosok yang sedang diceritakan istrinya ini, hingga begitu mudah sang istri menaruh kepercayaan hanya dengan sebuah sedekah itu.

“Besok Mama ajak Alin, coba cari kabar tentang dia. Dan kalaupun Mama sudah yakin dengan rencana Mama, coba tanyakan orangnya langsung, bersedia atau tidak” ucap pak Bahar, matanya lurus menatap sang istri.

Esoknya, mereka pun meluncur menuju supermarket tempat bu Bahar bertemu pak Mamang. Namun tak didapatinya pak Mamang disana. Mereka akhirnya menelisir daerah-daerah yang biasanya sering di tongkrongi tukang becak. Satu persatu, tapi bu Bahar tetap tak melihat pak Mamang dan becaknya. Alin mulai kelelahan. Ia mengajak ibunya beristirahat disamping jalan dekat dengan stasiun pemberhentian labi-labi. Tak jauh dari mereka, seorang abangbecak sedang berhenti disebuah kede untuk membeli minuman. Bu Bahar bergegas menghampiri abang becaktersebut. Ia bertanya pada pria kurus itu perihal laki-laki yang ia temui kemarin siang.

“Wah, kurang tau Bu, emang namanya siapa?’’ tanya Yusuf, abang becak tersebut. Ia kelihatan bingung karena bu Bahar tidak mengetahui nama laki-laki yang ia maksud.

“Pokoknya orangnya pakai peci hitam, dan sandal jepit, Dek. Cuma itu yang saya ingat. Sebagian rambutnya juga sudah ubanan” jelas bu Bahar sama-sama bingung.

“Memangnya ada urusan apa, Bu. Kog nyari-nyari bapak itu”

“Kemarin, waktu saya mau bayar upah becaknya, bapak itu menolak… saya
cuma merasa masih berhutang sama bapak tersebut, makanya hari ini saya nyari beliau…” jelas bu Bahar lega, karena berhasil menjelaskan maksudnya.

“Ooo, mungkin yang Ibu maksud itu pak Mamang ya?” ucap Yusuf lagi. Ia akhirnya sedikit bercerita tentang pak Mamang.

Pak Mamang bersahabat dekat dengan Yusuf, bahkan sudah dianggap seperti ayahnya sendiri. ketekunan dan kesederhanaan yang pak Mamang lakukan membuat yusuf bercermin penuh pada laki-laki itu. bahwa hidup tak selalu harus mengejar materi. Bahwa rezeki itu pada hakikatnya sudah ditentukan bahkan saat manusia masih dikandungan bunda. Jadi walaupun tidak dikaruniakan hidup mewah, manusia tetaplah harus bersyukur.

Dari Yusuf, bu Bahar akhirnya mengerti mengapa pak Mamang tidak memungut biaya saat mengantarnya pulang. Ia memang tipikal laki-laki yang mulia. Kecintaannya pada tuhannya begitu besar, sehingga segala ibadah yang membuatnya bisa dekat dengan sang ilahi selalu ia lakukan. Termasuk bersedekah. Ia sadar, ia hanyalah seorang pendayung becak yang penghasilan sehari-harinya hanya cukup untuk memberi makan anak-istri dan memenuhi kebutuhan primernya saja. Oleh karena itu, setiap hari jum’at ia bekerja tanpa meminta upah pada orang-orang yang menumpangi becaknya. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Ia memang tak punya apa-apa yang bisa ia sedekahkan. Ia memang tak punya materi, tapi ia punya tenaga dan cinta.

Bu Bahar takjub bukan main. Alin pun diam seribu bahasa mendengar cerita Yusuf tentang pak Mamang.

Mereka mulai membanding-bandingkan diri mereka yang hidup dalam keadaan serba berkecukupan, namun jarang sekali berpikir untuk menyisihkan sedekah tiap minggu, seperti yang pak Mamang lakukan.

Bu bahar meminta Yusuf mengantarnya ke kediaman pak Mamang. Ia pun mengiyakan. Yusuf mendayung becaknya menuju Kampung Jawa –tempat pak Mamang tinggal- disusul Alin dan ibunya di belakang. Mereka bertiga akhirnya tiba didepan sebuah rumah sederhana yang dindingnya masih berbahan kayu dan beratap daun rumbia. Persis seukuran gudang barang bekas mereka di belakang rumah.

Lelaki yang dicari itu tergepoh-gepoh berlari menyambut tamu “dadakannya” itu. setengah tak percaya mendengar cerita Yusuf, Mamang terkesima. Seorang wanita datang mencarinya hanya karena ia tidak menerima upah dari jasanya, padahal itu bukan kali pertama ia bersedekah untuk pelanggannya.
“Maaf Pak, mungkin kedatangan kami agak tiba-tiba,” ucap bu Bahar memulai pembicaraan.

"Sebenarnya ada yang ingin saya utarakan. Saya dan suami sudah berdiskusi, kalau Bapak tidak keberatan, kami ingin menyewa jasa Bapak untuk menjemput anak kami yang masih sekolah di SD 85”lanjutnya kemudian.Mamang tersenyum, ia tak pernah ragu dengan pertolongan Allah. Sulitnya mendapat pelanggan becak tak mengapa, selama manusia itu sendiri masih ingat Tuhannya dan masih mengingat saudara di sekelilingnya, Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya itu. Mamang yakin itu. Maka tak butuh waktu lama bagi Mamang untuk berpikir dua kali akan tawaran berkah ini.

“Insya Allah dengan senang hati saya sanggupi, Bu. Selama Allah masih memberi saya kesehatan, insya Allah saya siap” Tegasnya.
###

Dua bulan sudah Mamang bekerja untuk keluarga Bahar. Mengantar jemput putra bungsu mereka ke sekolah. Biaya sewa yang mereka sepakati dulu lebih dari cukup. Ia sudah mampu memenuhi segala kebutuhan rumah tangga dan uang sekolah anaknya.

Rutinitasnya saban hari tidak berubah. Pagi harinya mengantar Rizki ke sekolah, selepasnya ia manfaatkan untuk mencari pelanggan di sekitar mesjid Raya dan kembali ke sekolah menjelang dhuhur.
Mamang sudah memarkirkan becaknya di pojok sekolah sejak satu jam yang lalu. Namun hingga satu-persatu murid-murid lain pulang di bawa orang tua mereka, bocah yang dinantikan Mamang tak kunjung muncul.

Mamang hampir akan menggeledah kelas-kelas kalau saja penjaga sekolah tidak menghampirinya.

“Nunggu siapa Pak?” tanya si satpam.

“Nyari Rizki Putra, Pak.” Pak Satpam tampak sedang mengingat-ingat. “tadi kalau tidak salah ada anak kelas 5 yang namanya, Rizki dijemput Pamannya. Katanya Bapak si anak meninggal karena kecelakaan.”
Mamang segera memburu becaknya menuju rumah pak Bahar. Rumah ini telah dipenuhi pelayat, sehingga untuk masukpun sangat sulit. Namun akhirnya ia memutuskan untuk menunggu di luar saja.

###

“Labbaikallahumma labbaik.. labbaika la syariika la laka labbaik…”

Lelaki tua itu berdiri menghadap ke arah ka’bah. Matanya berkaca-kaca membentuk bendungan air yang hendak keluar. berulang kali ia usap kedua pipinya, menghapus air mata haru yang terlalu susah untuk ditahan agar ia tak mengalir. Tapi akhirnya ia pasrah, dan membiarkan airmata itu jatuh ke pipinya hingga menganak sungai.
Dua minggu setelah kepergian pak Bahar, bu Bahar mendatangi Mamang dan memberikan sebuah surat wasiat yang ditulis jelas oleh suaminya. Surat itu ditujukan kepada Mamang dan ditulis beberapa menit sebelum pak Bahar menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Ia berwasiat kepada Mamang agar bisa menggantikannya melaksanakan ibadah haji. Betapa terkejut Mamang mendengar berita itu. Takbir, tasbih, dan tahmid keluar dari bibirnya berkali-kali. Dan disinilah ia sekarang berada, ditanah suci. Merenungi perjalanan hidupnya yang tak luput dari pengawasan Tuhan. Tuhan telah membalas keikhlasan yang ia beri setiap hari jumat dengan balasan diluar logika warasnya.Sungguh matematika Allah itu jauh berbeda dengan matematika yang diciptakan manusia. Beda sekali!
-selesai-

Karya Mawaddah Nashruddin
Juara II Cerpen El-Asyi Award Keluarga Mahasiswa Aceh 2012

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top