Syariat Islam dan Perempuan

Belakangan ini, saya sering membaca di media massa bahkan juga mendapat informasi dari kawan-kawan tentang perkembangan Syariat Islam di Aceh. Dari sekian banyak informasi yang saya dapatkan, kesan yang paling mendalam adalah pembahasan seputar problematika perempuan. Di satu sisi karena pembahasan ini sudah sering dimuat dimedia, disisi lain pembahasan ini terhitung penting walaupun masih banyak juga permasalahan-permasalahan lain yang tak kalah pentingnya.

Disamping itu, di Aceh juga dipandang telah timbul pemahaman bahwa Syariat Islam hanya mengurusi kaum perempuan. Hal ini juga tidak terlepas dari pemberitaan media massa terhadap isu Syariat Islam yang cenderung pada hal-hal yang negatif, sehingga memunculkan gambaran yang menyeramkan. Seakan-akan perempuan adalah sasaran utama dan korban pertama dalam penerapan Syariat Islam.

Fenomena inilah yang mendorong saya untuk membahas seputar problematika perempuan dalam bingkai Syariat. Bahwa ada opini-opini menyimpang yang harus diluruskan, sehingga sudut pandang negatif terhadap Syariat Islam dan perempuan sedikit demi sedikit akan terkikis.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa permasalahan ini tidak hanya terjadi disatu tempat saja, akan tetapi terjadi di seluruh kabupaten/kota di Aceh. Hingga saat ini, hampir semua berita yang dimuat dimedia hanya mengulang kasus yang sama yaitu wanita-wanita pelanggar qanun yang terjaring razia.

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa setiap razia yang digelar di berbagai kabupaten/kota dalam rangka menegakkan pelaksanaan Syariat Islam, dengan mengerahkan sejumlah  petugas Wilayatul Hisbah (WH), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Polisi untuk melakukan pemeriksaan terhadap siapa saja yang melintasi kawasan itu. Kebanyakan mereka yang terjaring razia adalah kaum perempuan yang memakai pakaian ketat dan yang tidak memakai jilbab.

Sejauh pengamatan awam saya, sejak awal diresmikannya Syariat Islam di Aceh hingga saat ini, penegakan hukum oleh Petugas WH hanya sebatas menangkap pelanggar, lalu melepaskannya karena tidak bisa diteruskan ke mahkamah Syar’iyah.

Hal ini menunjukkan bahwa Implementasi Syariat Islam di Aceh belum berjalan maksimal, yang disebabkan belum adanya aturan hukum beracara untuk memproses pelanggar syariat hingga ke pengadilan.

Dampak negatifnya adalah warga terus berani melanggar syariat dengan sebab-sebab berikut: pertama, rasa kesal terhadap peraturan dan petugas razia, kedua, tidak adanya tindak lanjut hukum ke persidangan bagi para pelanggar syariat, ketiga, adanya rasa keberanian bagi pihak-pihak yang merasa memiliki “kekuatan” sehingga mampu untuk memprotes petugas razia.

Di era modern saat ini, perempuan mencari identitasnya dengan pakaian yang sedang ngetren pada zamannya. Dengan perilaku demikian mereka ingin menonjolkan dirinya dan berusaha mempertegas identitasnya.

Demikian pula busana muslimah memberi identitas khas keislamannya. Dengan busana tersebut perempuan muslimah hendaknya dapat membedakan dirinya dengan kelompok perempuan non muslim, sepatutnya muslimah dapat berpakaian dengan benar dan sempurna sesuai tuntunan ajaran Islam.

Kesalah pahaman yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa seorang wanita seolah-olah telah menutup auratnya hanya dengan melilitkan kerudung tipis dikepalanya, sementara lehernya masih tampak. Ada juga yang memakai kemeja dan celana extra ketat serta menonjolkan lekuk tubuhnya, meskipun pada kenyataannya pakaian tersebut mentupi sekujur permukaan tubuh.

Pada hakikatnya, ada tiga masalah yang sering dicampur adukkan yang sebenarnya merupakan permasalahan yang berbeda-beda yaitu: Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita. Kedua, busana muslimah dalam kehidupan khusus. Ketiga, busana muslimah dalam kehidupan umum.

Berpijak pada paparan diatas, dapat kita simpulkan bahwasanya titik kesalahan perempuan dalam konteks ini terletak pada tata cara mereka berpakaian. Sehingga mereka terjaring razia para petugas ditempat tertentu.

Oleh karena itu, kita harus menghindari timbulnya anggapan bahwa keberhasilan penerapan Syariat Islam di Aceh diukur dari keberhasilan mengurusi kaum perempuan dalam ruang publik. Karena pada dasarnya, Syariat Islam tidak hanya membahas seputar busana kaum perempuan, akan tetapi masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang lebih penting dari kasus ini. Ini adalah salah satu dari sekian banyak agenda penerapan Syariat Islam, dan bukanlah sebuah tujuan utama yang ingin dicapai untuk mendapatkan hasil akhir sebagaimana yang sering disebut dengan istilah penerapan Syariat Islam secara kaffah.

Secara tidak langsung, hal ini akan menimbulkan opini baru bahwa Petugas WH identik dengan razia, lalu “tugas utama” mereka adalah menangkap para wanita yang berbusana ketat dan yang tidak memakai jilbab.
Seperti halnya Undang-undang di negara barat, bahwasanya setiap warga negara dilarang mengemudi mobil dalam keadaan mabuk, sedangkan penyebab mabuk itu sendiri tidak dicegah. Tanpa disengaja, tugas utama Polisi disana beralih pada aksi kejar-kejaran dengan pengemudi mobil yang sedang mabuk. Sehingga efek negatifnya adalah rawan kecelakaan.

Oleh karena itu, untuk mencegah opini semacam ini, yang perlu dibahas adalah bagaimana mengubah pola pikir masyarakat tentang cara berpakaian muslimah dan membina pemahaman terhadap perempuan, bahwasanya pakaian ketat itu disamping melanggar syariat juga sangat membahayakan bagi kesehatan kulit perempuan.

Ini merupakan model dari kampanye publik yang memang tidak pernah menguras rasa emosi, sikap malu, dan rasa hormat terhadap perempuan. Dengan kata lain, perempuan sendirilah yang menentukan bahwa pakaian longgar yang menutup seluruh tubuh memang patut dan pantas bagi mereka. Jika kaum lelaki kemudian datang dan merazia mereka, maka pandangan bahwa Syariat Islam hanya mengurusi perempuan benar adanya. Dengan kata lain, harus dibangun opini publik bahwa memakai pakaian yang demikian itu bagus.

Namun, apa yang ingin diketengahkan adalah bahwa terjadinya pembelokkan Syariat Islam di tikungan pemahaman sebagian kelompok, yang menurut saya ini adalah bagian dari agenda yang masih tercecer disepanjang jalan penegakan Syariat Islam, juga dalam ruang lingkup pemahaman sebagian kelompok masyarakat kita. Sehingga kerap tejadi perdebatan.

Inilah permasalahan yang seharusnya tidak terjadi, karena hanya akan menguras pikiran, tenaga, dan waktu dengan hanya mengurusi hal-hal yang tidak seharusnya dipikirkan. Sehingga banyak permasalahan lain yang terhambat implementasinya.

Jika hal ini bisa diluruskan, maka sebenarnya seluruh lapisan, baik mereka yang mengusung Syariat Islam, budayawan, dan perancang busana, dapat duduk bersama dalam rangka menciptakan proses kesadaran publik. Misalnya, dalam hal berpakaian yang sesuai dengan Syariat Islam disertai dengan mode fashion yang terus berkembang seiring berkembangnya zaman dan juga turut mengadopsi nilai-nilai budaya. Sehingga budaya kita juga bisa dilestarikan serta tidak berbenturan dengan hukum Islam.

Oleh:  Tgk. H. Muammar Zainun
Karya ini merupakan juara I dalam perlombaan el-Asyi Award 2012 Kategori Opini

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top