Tauhid Kemerdekaan

KITA selalu menghitung tahun kemerdekaan yang telah lalu dari penjajah. Namun kita belum memperhitungkan kapan kita siap memerdekakan diri dari keterjajahan yang kita alami di atas persada pertiwi ini. Benar, kemerdekaan dari penjajahan kaum kolonialis asing adalah nikmat terbesar dalam hidup bernegara, tapi nikmat lebih dari itu adalah mewujudkan kemerdekaan dalam kehidupan kita sendiri, kehidupan setiap person bangsa ini.

Panglima Islam Rib’iyu bin ‘Amir ketika penaklukan imperium Persia, di depan Raja Rustum berujar: “Allah telah mengutus kami untuk memerdekakan manusia dari penyembahan manusia untuk penghambaan pada Allah semata. Menggiring manusia dari sempit dunia ini kepada luasnya dunia dan akhirat. Membebaskan manusia dari kezaliman yang dilakukan atas nama agama pada keadilan Islam.”

Inilah misi raya Islam di jagad ini, bukan di negeri ini saja. Ini pula tujuan Islam dalam setiap pertempuran atau pun dalam perdamaian. Pembebasan manusia dari penjajahan manusia adalah akidah inti Islam. Karena kemulian manusia itu adalah nilai mutlak selaku ciptaan Allah yang paling istimewa.

Islam mengikrarkan bahwa setiap bayi manusia terlahir sebagai pribadi yang mulia dan mempunyai kebebasan.Tidak menanggung dosa warisan dan kesalahan nenek moyangnya. Hal ini ditegaskan Umar bin Khathab ketika menggenggam kekuasaan tinggi kekhalifahan Islam di depan gubernur Mesir Amru bin Ash: “Kapan kalian memperbudak manusia, padahal ibu mereka telah melahirkan mereka merdeka.” Ini amanat konstitusi Islam dalam pemerintahan setiap pemegang kekuasaan.

Akidah pembebasan

Akidah merupakan fondasi dasar kepribadian dan jati diri seseorang. Sebelum menilai tingkah laku dan kelakuan seseorang maka akidah serta keyakinan hidupnyalah pertama sekali harus dinilai. Bahkan jika ingin memperbaiki kwalitas hidup, pemahaman akidahlah yang pertama sekali harus dibongkar dan dirakit ulang secara rapi, tepat dan sempurna.

Akidah dalam bahasa Arab berasal dari kata al-‘Aqd, yang bermakna ikatan/tali yang kuat. Secara materi, jalinan itu dikatakan kuat kalau ia tidak akan terlepas. Begitu juga jalinan akidah dalam konteks maknawi antara seorang mukmin dan yang diyakininya. Kalau benar keyakinan itu tidak akan terlepas, terikat kuat, maka keyakinan itu baru bisa dikatakan akidah.

Inti dasar akidah dalam Islam adalah tauhid. Istilah tauhid bermakna meyakini bahwa Allah itu Esa dan tidak ada sama sekali sekutu baginya (Risalah Tauhid: 13). Makna inti inilah yang dituntut dari seorang muslim untuk melafazkan ketika perjanjian awalnya dengan sang Pencipta dalam kalimat La ilaha Illa Allah.
Maka akidah tauhid murni seorang muslim dengan Allah adalah ikatan kuat yang menjadikannya hamba bersimpuh hina hanya di depanNya semata. Tidak di hadapan yang lain.

Syirik sebagai lawan tauhid, adalah keyakinan manusia yang menuntutnya sebagai hamba hina dan rendah di depan apa saja. Karena akidah syirik meminta manusia tunduk dan hina pada banyak obyek yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa terhadapnya. Bukankah itu menunjukkan simbol kedunguan manusia, kehinaan dan kehilangan jati diri?

Siapa saja yang tidak mau menjadikan dirinya hamba Allah dengan benar, maka dia akan menjadi hamba sesuatu yang lain. Karena setiap manusia itu pasti berkehendak demi sebuah tujuan. Dengan syirik, seseorang selamanya jadi hamba dari kehendak selain dari Allah. Ia akan terikat dengan yang tidak layak untuk disembah dan diagungkan. Di depan batu, kayu dan manusia sekalipun ia akan bersimpuh. Kemulian dan jati dirinya lenyap.

Seorang muslim disuruh sehari semalam untuk mengulang dan memperdengarkan pada telinganya saat kepala merunduk ke bumi   lafaz “Allah Maha Agung” (al-’Adhim) dan “Allah yang Maha Tinggi (al-’A’la) 153 kali. Agar ia terbebas dari belenggu keinginannya sendiri, merdeka menjadi hamba Allah yang benar-benar Agung dan Tinggi semata. Begitu pula muazzin memperdengungkan Allah Maha Besar di awal dan akhir azan lima kali sehari.

Penghambaan pada obyek selain Allah dan penyerahan keyakinan pada berbagai keinginan yang tak terkontrol, menjadikan kehidupan tidak akan terarah, paradoks dan mematikan. Ibarat menjadi budak bagi banyak majikan dengan perintah beragam. Inilah yang Allah jelaskan dalam firmanNya: “Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar: 29). Ayat ini menegaskan menjadi hamba Allah yang satu, kehidupan menjadi merdeka, bebas dan nyaman.

Lepas dari keterjajahan

Menurut Syeikh Al-Ghazali, ada dua faktor yang menjadikan pribadi terjajah dan terjerat hina dalam kehidupannya; takut terhadap rezeki dan ajal. Demi bertahan hidup, menghindari mati. Aneh, padahal kedua faktor ini, Allah sama sekali tidak memberikan peran manusia dalam menentukannya. “Atau siapakah Dia yang menjadi tentara bagimu yang akan menolongmu selain daripada Allah yang Maha Pemurah? Orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu. Atau siapakah Dia yang memberi kamu rezki jika Allah menahan rezkiNya? Sebenarnya mereka terus menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri.” (QS. al-Muluk: 20-21)

Seseorang yang menderita ketakutan pada dua faktor penjajah itu, ia siap menyembah siapa saja dan bertekuk di depan apa saja,berbuat macam cara menghindari ancaman. Ia terpaksa bertahan dengan tersiksa dan penderitaan batin yang memilukan. Hidupnya siap diinjak dan takut dibentak atau ancaman semisal “akan dipotong gajimu” atau “putus kerjamu”.

Kemana tauhid murni yang menjadikan hidup mulia dan harga diri agung dan tinggi di depan siapa saja. Karena engkau hamba Allah yang Agung, yang menjamin segala sesuatu bagimu.Manusia tidak akan bisa menentukan apapun untukmu. Nabi saja mengajarkan para sahabatnya untuk memungut sendiri tali kekang kuda yang jatuh, tidak meminta bantu. Pendidikan hidup lepas dari ketergantungan pada orang lain.

Selanjutnya, perbuatan dosa yang dilakukan adalah jerat yang menindas kehidupan pelakunya. Karena dosa itu adalah keluar dari jalur lurus kebebasan yang ditetapkan Allah. Siapa saja yang bertahan hidup dengan dosa, sebenarnya ia menjerat sendiri dirinya dengan penderitaan. Merdekakanlah diri dari perilaku dosa yang kita buat sendiri, agar kemerdekaan hidup diakui orang lain. Hiruplah hawa kemerdekaan yang nikmat sebagai hamba Allah sebenarnya.

Kalau negara secara resmi sudah merdeka, kapan kita merayakan kemerdekaan pribadi kita? Tanpa ingin merusak perkataan Umar: “Kapan kalian diperbudak oleh manusia, sedang ibu telah melahirkan kalian merdeka?”


Tulisan Tgk. Amri Fatmi Anziz
Master Akidah Filsafat Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Kini sebagai Dosen Al-Hilal Sigli dan Pengasuh Majelis Taklim Al-Azhar Asy-Syarif, Sigli. Email: [email protected]
Sudah pernah dimuat di Opini Harian Serambi Indonesia 16 Agustus 2012

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top