Menjaga Akidah Ahlussunnah wa Al Jama’ah Dalam Pendidikan Aceh


"Kalau tak ada angin bertiup, takkan pohon bergoyang". Begitulah peribahasa mengatakan, bahwa sesuatu itu tidak akan pernah terjadi dengan sendirinya, tanpa dimulai dengan sebab- sebab tertentu.

Beberapa waktu yang lalu, di nanggroe Aceh tercinta kita pernah mendengar khatib- khatib salat Jumat diturunkan dari mimbar sebelum selesai membacakan dua rukun khotbah. Tindakan itu dilakukan, karena jamaah menilai isi khotbahnya kontroversial. Sang khatib melarang masyarakat untuk bersalawat setelah salat secara jihar dan lainnya yang telah biasa dilakukan oleh warga setempat.

Masyarakatpun makin dibuat risau, hal itu dengan kehadiran para penda’i yang memprovokasi masyarakat untuk memerangi hal- hal seperti tawassul, ziarah kubur, peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. dan lain sebagainya, dengan dalih bahwa amalan-amalan tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya. Semua itu lahir dari kekeliruan iktikad  dan pemahaman terhadap pokok ajaran agama yang berupa  akidah ataupun tauhid.

Pemikiran- pemirkiran seperti ini terasa asing bagi masyarakat Aceh, yang telah lama hidup dalam lingkup akidah Ahlussunnah wal Al Jama’ah (Al ‘Asy’ariy, Al Maturidiy dan Ahl Al Hadis).

Lalu dari mana pemikiran-pemikiran itu datang?

Ternyata secara tersembunyi, akidah yang telah mendarah daging dalam diri masyarakat Aceh ini, telah lama mendapat serangan dengan cara yang sangat lembut. Sedikit demi sedikit merangkak, sampai akhirnya bertemu di suatu persimpangan persengketaan.

Madrasah- madrasah keagamaan yang sedang menjamur di nanggroe Aceh, ternyata menjadi ladang subur bagi para panggawa akidah tersebut. Jiwa- jiwa baru yang masih sangat miskin akidah, ditambah rasa keingintahuan yang tinggi menjadi suplemen tersendiri, yang memperlancar proses pembibitan pemahaman- pemahaman bersebrangan.

Dalam peta fakta, pelajaran tauhid yang disungguhi di sebagian madrasah- madrasah tersebut adalah Tauhid Taslist yang dipopulerkan oleh Ibn Taimiyah rahimahullah, yaitu Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Asmak wa As Shifat. Turunan yang dihasilkan dari rumusan tauhid tersebut adalah mengatakan bahwa Allah SWT. bertempat, mempunyai batas dan lainnya yang seharusnya ini tidak pantas disandingkan pada zat Allah SWT, mengaharamkan tawassul dan lain-lain.

Tauhid taslist ini menurut para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan pembagian yang batil, karena bertentangan dengan dalil- dalil Al Quran dan hadis, berikutnya juga tidak pernah dikenal pada masa salaf, apalagi dari Rasulullah Saw.

Mengomentari tentang pembagian tauhid ini, DR. Muhammad Sayyid Ahmad Al-Musayyar dalam kitabnya Fatawa Al ‘Aqidah Al Islamiah mengatakan, bahwa pembagian ini tidaklah dibutuhkan serta tidak mempunyai sandaran dalil, baik dari segi bahasa maupun syariat. Pemisahan antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah adalah pemisahan yang dibuat-buat. Karena di dalam Al Quran terkadang digunakan lafal rabb dan terkadang menggunakan lafaz ilah dengan satu makna yang mencakup pengakuan dan ibadah.

Tidak hanya sampai disitu, pendidikan akidah Aceh juga tak luput dari pandangan para misionaris, bayak buku yang berada ditangan generasi Aceh dibangku sekolah lewat dari pantauan departemen Agama. Lebih menyedihkan lagi jika ternyata buku- buku tersebut juga berstempel lembaga keagamaan tersebut.

Nah, sampai disini jelas sudah permasalahanya, ternyata kegelisahan yang dirasakan oleh masyarakat aceh bukanlah seperti bangkai yang tak berbau, atau konflik yang dibuat- buat tanpa ada penyebabnya. Tapi nyatanya, ada pihak yang berusaha untuk mengotori hal paling urgen dalam diri seorang muslim, yaitu akidah.

Kehidupan masyarakat Aceh yang dari dahulu telah harmonis dengan aqidah Ahlussnnah wal Jama’ah janganlah diganggu dengan menyebarkan pemahaman yang berbeda. Karena masyarakat Aceh saat ini sangat butuh persatuan demi tercapainya cita-cita pembangunan Aceh seta penerapan syari’at Islam di bumi Aceh tercinta.

Oleh karena itu, perlu kiranya kita mengkaji dan menyusun kembali kelayakan materi-materi pelajaran di berbagai lembaga pendidikan khususnya dalam hal ini materi tauhid yang diajarkan di madrasah-madrasah maupun sekolah lainnya. Penyusunannya tetap oleh lembaga yang berwenang tapi dibawah pengawasan ulama-ulama yang muktabar. Wallahu a’lam bis shawab.(HN)

*Ringkasan makalah “Menjaga Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah Dalam Pendidikan Aceh” (Kritik Terhadap Materi Tauhid; Pelajaran Akidah Akhlak Madrasah Aliyah), oleh Tgk. Fitra Ramadhani bin Yunizar, Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat Universitas Al-Azhar, Kairo. Telah dipresentasikan dalam kegiatan reguler Kajian Zawiyah KMA, 3 November 2013, Kairo, Mesir.


Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top