Ambuba (Tabung Gas) [Bagian II-Tamat]

Oleh: Muhammad Daud Farma
Mahasiswa tingkat 1, Jurusan Lughah 'Arabiyah, Universitas Al-Azhar Mesir.

Aku segera bangkit lalu ku ambil tabung gas yang kosong kemudian kumasukkan ke dalam koper. Koper milik kakak senior, karena kopernya mempunyai gagang yang sangat kuat. Lalu kuturunkan tabung gas itu dari rumah kami yang berada di lantai tiga sampai pintu gerbang masuk di bawah. Kututup kembali pintu gerbangnya kemudian aku bergegas pergi dengan sedikit berlari, ku tarik koper yang berisi tabung gas itu.

Sementara di samping kiri-kananku semua mata terbelalak dan tertuju kepadaku, mereka tersenyum, tertawa, heran dan bertanya-tanya. Senyum melihat kelakuanku yang lugu, heran melihat perbuatanku yang ganjil, tertawa atas tingkahku yang mereka anggap konyol dan bertanya-tanya atas sikapku seperti orang hendak pulang ke Negeriku Indonesia.

Bahkan dari mereka ada yang bertanya, “Hal satusaafir ilaa balaadik?” (Apakah kamu akan pulang ke negaramu?). Dengan bahasa Arab Fushah yang digunakannya, karena dia tahu bahwa diriku ini wajah baru.

Aku mengembangkan senyum kepadanya dan menjawab “Thab’an Laa!” (Tentu tidak!)

Dia pun bingung dengan menggelengkan kepalanya. Aku tidak memedulikan apa yang orang bilang terhadapku. Aku hanya memikirkan tanggung jawabku sebagai kepala rumah tangga hari ini, aku khawatir atas keluarga kecilku ini. Keluarga yang tidak akan bisa makan nasi lagi hari ini kalau aku tidak mendapatkan tabung gas yang jadi kebutuhan rumah tangga kami.

Tujuh menit kemudian aku sampai di markas tabung gas. Ternyata benar aku sudah ditunggu oleh kakak senior, yang sejak sepuluh menit lalu sampai di markas. Aku mendapati betapa banyaknya orang-orang yang sudah mengantre terlebih dulu, antrean yang sangat panjang demi mendapatkan gas.

Setibanya diriku di markas, mereka yang sedang mengantre mengalihkan pandangannya kepadaku, tersenyum melihat tingkahku yang mereka anggap lucu. Mereka menertawaiku. Aku juga membalas dengan tersenyum manis kepada mereka. Tiba-tiba saja aku teringat bahwa senyum itu adalah sedekah.

Kemudian ku jelaskan kepada mereka dengan bahasa Arab semampuku yang artinya, “Sungguh aku tidak kuat ya Mama, makanya aku membawa tabung ini dengan menggunakan koper.” Dengan mimik wajahku yang tersenyum palsu.

Sebenarnya mereka juga sudah tahu tanpa harus aku jelaskan bahwa kami tidak memiliki gerobak atau alat dorong. Tempat pembeliannya yang lumayan jauh membuat diriku tidak kuasa untuk menggendong tabung gas yang seberat itu. Akhirnya rasa kesal di dalam hati, memintaku untuk mengungkapkannya.

Antrean yang sangat panjang membuatku hampir saja putus asa ingin membawa kembali tabung gas ke rumah. Karena sudah satu jam menunggu belum juga datang, sementara kami yang menunggu sudah kewalahan.

Aku kagum dan merasa simpati kepada ibu-ibu itu, walau sempat membuat jengkel hatiku. Ibu-ibu yang rela menunggu demi mendapatkan gas. Demi memasak untuk suami dan anak-anaknya di rumah. Ibu-ibu yang sudah lanjut usia itu juga mengantre. Hatiku bertanya sedikit berbisik bahwa, “Bukankah mereka mempunyai suami dan anak laki-laki?” Lalu kenapa tidak menyuruh suami atau anak laki-lakinya yang antri di sini, kenapa malah ibu ini yang antre?

Sungguh aku kagum dan simpati atas perjuangan dan keikhlasan ibu-ibu itu. Aku rapuh, batinku menangis, aku teringat dengan ibuku. Sedang apakah ibuku di Indonesia? Sedang bekerjakah beliau? Secara tidak sadar, air mataku menetes di tengah antrean panjang itu.

Baru saja lima menit yang lalu aku terkagum dan simpati kepada ibu-ibu tadi, kini diriku dikejutkan kembali dengan sosok seorang kakek yang sudah tua. Kakek yang berbaring di pinggir dinding mengenakan selimut yang tipis saat musim dingin seperti ini.

Kelihatannya ia sedang beristirahat dari kelelahannya, tubuhnya menggigil kedinginan dan terbangun karena suara bising dari orang-orang yang sedang antre. Alangkah malangnya kakek itu. Dia tidak memiliki tempat tinggal. Jangankan tempat tinggal, mungkin untuk mendapatkan makan saja sangat susah dan mesti meminta kepada yang mau memberi.

Hari ini diriku diingatkan untuk bersabar dan bersyukur kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Bersabar karena bukan hanya aku saja yang antre untuk mendapatkan gas. Toh di sana juga ada ibu-ibu yang sudah lanjut usia sangat bersemangat untuk antre. Ibu-ibu yang sudah berkali-kali mengantre untuk mendapatkan gas, sementara diriku baru kali ini.

Aku bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan kepadaku, karena aku bisa tinggal di rumah yang mewah dan hanya tinggal memasak saja kalau mau makan, itu juga seminggu sekal. Di sana ada seorang kakek tua yang tidak memiliki rumah ataupun tempat tinggal.

Tiba-tiba saja arah pandangku menoleh seakan ada yang menggerakkan, menoleh ke atas dinding tempat kakek itu beristirahat, kemudian ku baca dengan seksama, “Asshabru miftaahul faraj.” (Sabar adalah kunci kebahagiaan).

Hatiku tersentuh dan terpukul oleh tulisan itu, aku disadarkan oleh tulisan itu. Diriku yang tidak sabar, diriku yang kurang bersyukur dan diriku yang memikirkan ego diri sendiri. Hari ini, Allah menyadarkanku dengan tiga hal tersebut.

Satu setengah jam sudah kami menunggu kedatangan yang di tunggu yaitu tabung gas. Akhirnya ia datang juga dengan truk yang besar. Truk itu dipenuhi dengan tabung gas yang masih penuh. Truk itu pun berhenti tepat di depan kami. Dengan menunjukkan kartu yang sudah diberikan kepada kami lima belas menit sebelum tabung gas datang, kami pun dipersilakan satu persatu untuk mengambil sesuai degan pesanan, aku memesan hanya satu tabung.

Karena jumlah kami tinggal di dalam satu rumah hanya tujuh orang saja, jadi lumayan tahan lama walaupun hanya memakai satu tabung gas. Selain untuk masak, kami hanya menggunakan gas dua kali sehari yaitu saat siang dan sore harinya. Kami menggunakan untuk masak nasi dan lauk pauk saja.

Aku dan kakak senior segera kami masukkan tabung gas yang sudah berisi, kini tabungnya bertambah berat. Maklum, orang kurus seperti diriku dan kakak senior akan merasa ngilu di punggung kalau tabung gasnya digendong, karena langsung kena tulang. Beda dengan yang punggungnya berisi, mungkin tidak terasa apa-apa kalau digendong.

Kami berdua menyeret tabung gas itu melewati jalan raya. Lagi-lagi mereka yang melihat tersenyum dan tertawa. Kami pun membalas dengan senyuman manis yang Indonesia punya, yaitu senyum Pepsodent.

Sepanjang jalan dari markas tabung gas menuju rumah, mereka tersenyum melihat kami yang membawa tabung gas menggunakan koper. Tujuh menit perjalanan akhirnya kami sampai juga di rumah. Hari ini, Allah membukakan hatiku melalui proses membawa Ambuba.

Alhamdulillah, rumah kami sudah memiliki Ambuba lagi. Keluarga harmonis pun berjalan seperti biasa. Ingin menjadi keluarga yang hidup harmonis, maka perbanyaklah sabar, karena kunci kebahagiaan itu adalah sabar. Dan kuyakin ini adalah sebuah proses menuju kebahagiaan dan keberhasilan. Banyak bersabar dan bersyukur. (Tamat)

Cairo, 28 Februari 2015

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top