Mahasiswa Serbaguna




Oleh: Muhammad Daud Farma.*

Melihat, membaca dan menelusuri rutinitas keseharian Masisir ialah hal yang sudah pasti dilakukan setiap individu. Setiap orang tentunya sudah tahu apa yang terjadi dan bahkan dialaminya sendiri di Bumi Kinanah ini. Setiap orang juga tentunya berbeda pendapat dan respon terhadap apa yang ia rasakan, ia lihat dan yang ia dengar. Kesemuanya itu tergolong dalam kategori sebuah pendidikan, pendidikan yang akarnya pahit namun buahnya akan terasa manis di kemudian hari.

Setelah melihat keseharian Masisir, timbul beberapa pertanyaan. Ada yang menyenangkan dan ada juga yang menguji kesabaran, namun pertanyaan itu tidak dapat kita pungkiri, demikianlah adanya. Mahasiswa atau santri? Mahasiswa atau pelancong? Mahasiswa atau guru? Mahasiswa atau organisator? Mahasiswa, pengusaha atau pengemis?

Akan kita rincikan satu persatu pertanyaan-pertanyaan di atas:

Yang pertama: Mahasiswa atau santri? Keseharian sebagian Masisir ialah hanya ikut talaqqi, tanpa datang ke kampus kuliah kecuali pada waktu tertentu, seperti membayar uang rusum (administrasi), membeli muqarrar (diktat kuliah), dan pada waktu ujian. Banyak yang berargumentasi atas dua roda peningkat SDM Masisir ini, yaitu antara kuliah dan talaqqi.

Ada yang berpendapat bahwa talaqqi jauh lebih baik daripada pergi kuliah. Alasannya, talaqqi itu pengajarnya adalah para Masayikh yang menjelaskan pelajaran dengan berbahasa fushah, penjelasannya yang mendetail dan kita cepat memahami pelajaran yang disampaikan oleh beliau, sedangakan kalau di kuliah yang hanya terdengar ialah keributan, kegaduhan dan pertikaian Mashry dan Ajnabi. Apalagi ketika duktur tidak datang, maka yang terdengar ialah suara bising yang memekakkan telinga. Pengajarnya duktur, bahkan bisa dibilang keilmuannya lebih handal dari sebagian masyayikh, namun ketika mahasiswa asing meminta untuk berbahasa Fushah, hal itu kadang sulit untuk dikabulkan.

Begitupun sebaliknya, pendapat mereka yang sering hadir kuliah, terasa menjadi anak kuliah itu, ya ketika kita datang ke kampus dan hadir muhadharah, dan ketika terasa menjadi anak talaqqi itu juga ketika ikut talaqqi. Kalian hadir talaqqi itu, ya berarti kalian bukanlah anak kuliah pada saat itu, melainkan anak talaqqi.

Adapun kami yang kuliah, kami memperoleh dua hal, kami kuliah dan jugalah talaqqi. Sedangkan talaqqi, sudah pasti tidak kuliah, sebab tidak datang ke kampus. Kenapa demikian? Kuliah ialah mereka yang ikut muhadharah, datang ke kampus, duduk dan diam mendengarkan duktur menjelaskan, tidak jauh bedanya dengan talaqqi yang juga sama-sama duduk dan diam mendengarkan syekh menjelaskan pelajaran, hanya saja berbeda tempat duduk. Yang talaqqi duduk di atas karpet di dalam madhyafah dan yang kuliah juga duduk di atas bangku di dalam ruang kuliah yang berlokasikan kampus.

Lalu mana yang lebih penting, kuliah atau talaqqi? Jawabannya, yang sering hadir kuliah ya pasti menjawab kuliah dan yang sering hadir talaqqi sudah pasti menjawab talaqqi, dan yang sering hadir kedua-duanya maka kuliah dan talqqi dua-duanya teramat sangat penting. Karena ada juga duktur yang berbahasa fushah, tidak semua duktur berbahasa ammiyah.

Yang kedua: mahasiswa atau pelancong? Kenapa bertanya demikian? Kau lihat tidak apa yang terjadi di sekitarmu? Banyak dari Masisir yang datang dari Indonesia ke Mesir ini hanya sebagai pelancong. Awalnya ia mati-matian berjuang untuk lulus dan agar diterima di Al-Azhar. Namun begitu tiba di Mesir, sebagian mereka ada yang mati dalam kegelapan padahal hari belum petang, tetapi mereka sudah menghilang dan ditelan kecanduan kemalasan.

Sebagian Masisir menjadi pelancong bahkan kepompong. Tidak jauh bedanya dengan turis, hanya saja berbeda status. Kenapa tidak? Banyak dari Masisir, begitu tiba di Mesir menghabiskan hari-harinya untuk jalan-jalan dan membalut diri dengan selimut yang tebal dan duduk manis di apartemen. Namun, para turis itu kembali ke asalnya dengan pengalamannya dan mahasiswa pelancong tetap melancong dan membalut diri, menikmati hari-harinya dengan menjelajahi separuh Bumi Kinanah ini.

Akhirnya begitu semangat dan niat itu kembali pada dirinya untuk menuntutu ilmu, sayang hari sudah senja dan waktu kembali ke tanah Air sudah di depan mata. Hingga mahasiswa pelancong hanya meraih experience dari travel-nya, sangat minim sekali meraih ilmu yang ada di Bumi seribu Menara.

Yang ketiga: Mahasiswa atau guru?. Masisir itu jugalah guru, guru untuk teman-teman yang lain. Saling berbagi ilmu antar sesama. Ilmu tanpa diamalkan ibarat pohon yang tak berbuah. Tidak jarang kita temui sebagian senior Masisir yang mengajar atau membuka talaqqi di rumahnya, paling tidak ialah bimbingan belajar (Bimbel). Hal ini pun dapat kita namai dengan sebutan bahwa Masisir itu jugalah guru atau sebutan lazimnya ustad. Pelajar itu jugalah mengajar, mengajarkan atas apa yang telah ia pelajari dan ia ketahui.

Yang keempat: Mahasiswa atau organisatoris?

Seharusnya ini sudah tidak patut ditanyakan, karena mahasiswa itu pastinya tidak terlepas dari organisasi. Karena dinamika kehidupan mahasiswa bukan hanya aktif di kuliah atau talaqqi, namun jugalah berorganisasi. Walaupun di sana ada banyak mahasiswa yang tidak ingin ikut terjun di organisasi, dengan alasan takut ketinggalan mata kuliah, padahal hadir kuliah saja jarang sebab kuliah tidak wajib. Malah yang aktif berorganisasi menimbulkan pengaruh yang baik. 
Mahasiswa idealnya rajin bergerak di organisasi dan kuliah pun lancar, tidak bermalas-malasan mengurung diri di dalam kamar. Walaupun terkadang ada beberapa orang yang bernasib sebaliknya, gara-gara sibuk di organisasi dan kuliah pun jadi macet, seakan ada lampu merah yang menghalangi. Itu bukan seratus persen dijadikan alasan gara-gara organisasi kuliah jadi mandek, itu hanya nasib yang kurang beruntung. Maka sudah saatnya menata hidup dan mengatur waktu untuk menjadi mahasiswa serbaguna.

Yang kelima: Mahasiswa, Pengusaha atau Pengemis?. Mahasiswa penuntut ilmu itu jugalah dikatakan thalibul ilmi. Thalab sendiri kalau diartikan secara bahasa, maka artinya adalah peminta, penuntut atau juga pengemis. Ya, mahasiswa itu adalah thaalib atau peminta. Meminta ilmu dari orang-orang yang yang berilmu (Muallim atau ulama). Niat pada mulanya datang ke Mesir ini jugalah untuk menuntut atau meminta ilmu. Namun meminta bukan hanya pada ilmu saja, tetapi jugalah meminta doa, dukungan semangat, motivasi bahkan materi.

Mahasiswa pada umumnya sangat memerlukan materi yang berupa beasiswa. Sehingga tidak sedikit mahasiswa yang yang membuka usaha dan menjadi pengusaha, membuka rumah makan dan bahkan mencari beasiswa kesana-kemari untuk bertahan hidup lebih lama dengan tujuan menuntut ilmu di Mesir. Sebab, salah satu syarat untuk meraih ilmu itu ialah dengan adanya materi yang cukup, begitu yang dikatakan imam Syafii dalam mahfuzhat-nya.

Sehingga dari semua itu, dapat disimpulkan bahwa Masisir itu adalah mahasiswa serbaguna, mahasiswa dan juga pelancong? Ada. Mahasiswa jugalah organisatoris? Banyak. Mahasiswa dan juga guru atau ustadz? Banyak sekali. Saatnya menata hidup dan mengatur waktu untuk menjadi "Mahasiswa Serbaguna".

Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) atau Mahasiswa serbaguna.

*Opini ini hanyalah dari segi pandang secara individual saja, saya minta maaf jika ada karakter atau argumentasi dalam opini ini tidak sesuai dengan sisi pandang antum semua. Sekian dan terima kasih.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top