Harun Ar-Rasyid dan Surat Ajakan Perang Romawi

Peta Kekhalifahan Daulah Abbasiyah (deviantart.com)
Oleh: Ahmad Qusyairi*

Ia bernama Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid bin Muhammad Mahdi bin Abdullah Mansur bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Harun lahir di Kota Ray pada 17 Zulhijjah 145 H. Ia merupakan khalifah kelima setelah meninggal saudaranya Al-Hadi tanggal 15 Rabiul Awwal 170 H.

Harun dibaiat pada Rabi’ul Awwal 170 H, umurnya ketika itu 25 tahun, dan berkuasa 23 tahun yang berhasil membawa Daulah Abbasiyah menjadi bersinar dan kemakmuran.


Para sejarawan banyak yang mengungkapkan, Harun selalu melakukan shalat sebanyak 100 rakaat setiap hari, ia juga bersedekah dari saku sendiri setiap hari 1000 dirham sampai dia meninggal. Harun adalah sosok khalifah yang sangat mecintai ilmu dan senang kepada orang-orang berilmu. Ia sangat tidak menyukai perdebatan dalam masalah agama. Tidak ada satu kalimat pun saat nama Rasulullah Saw disebutkan dihadapannya, Harun selalu bersalawat.

Harun khalifah yang mudah menangis atas dosa-dosa yang dilakukannya, jika ada yang memuji, ia senantiasa memberikan uang dalam jumlah besar. Maka wajar saja banyak penyair disampingnya, salah satu penyair yang sangat terkenal pada masa itu adalah Abu Nawas.

Pada tahun 189 H Harun Ar-Rasyid menerima surat dari Kaisar Romawi Naqfur (masa kekuasaan 186-196 H). Surat yang diterima berisi tentang pembatalan kesepakatan antara Romawi dan Abbasiyah yang sebelumnya ditandatangani oleh Khalifah Ketiga al-Mahdi –Ayah Harun Ar-Rasyid– dan Ratu Arine saat memimpin. Ketika pemerintahan Ratu Arine berganti kepada Putra Mahkota Naqfur, ia membatalkan secara sepihak perjanjian kedua negara tersebut.

Sebelumnya, Romawi selalu membayar upeti kepada pemerintahan Abbasiyah sebagai bentuk perjanjian penghentian peperangan –yang sebelumnya dimenangkan oleh pemerintahan Abbasiyah– dan sebagai pegakuan terhadap pemerintahan Abbasiyah. Naqfur tidak terima. Ia dengan angkuh beranggapan bahwa Romawi lebih tangguh dari Abbasiyah. Naqfur lantas mengirim surat kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid sebagai bentuk ajakan perang terhadap Daulah Abbasiyah.

“Sang ratu telah meletakkanmu ditempat yang tinggi sebagai burung besar dan posisinya seperti burung kecil, ratu juga telah menumpahkan hartanya kepadamu, itulah kelemahan wanita. Apabila Kamu membaca surat ini, maka kembalikan apa yang telah Kamu peroleh sebelumnya, kembalikanlah semua. Jika tidak, maka pedanglah yang akan menyelesaikan permasalahan antara aku dan Kamu”

Membaca surat tersebut Harun Ar-Rasyid marah besar dan membalasnya cukup tegas “Bismillah, dari Harun Amirul Mukminin kepada Naqfur Kalburrum. Sungguh aku telah membaca surat Kamu wahai anak Kafir. Jawabannya apa yang kamu lihat, bukan yang kamu dengar.”

Pada hari itu juga Harun Ar-Rasyid bergegas berangkat dan masuk dalam wilayah Romawi. Ia berhasil merebut beberapa benteng sampai puncaknya ia merebut kota Heraclia. Melihat kerugian yang sangat besar di pihak Romawi, Naqfur meminta dilakukan perdamaian kembali dengan cara membayar upeti dua kali lipat setiap tahunnya.

Pada tahun itu juga Harun Ar-Rasyid menebus semua kaum muslimin yang sebelumnya ditawan di wilayah Romawi sehingga tidak tersisa seorang tawananpun.

Beberapa tahun setelah itu ar-Rasyid bergerak menuju Khurasan. Ia berbicara kepada pengantarnya yang bernama Shabah ath-Thabari. 

“Wahai Sabah, Engkau tidak akan melihat aku lagi setelah ini”

“Semoga Allah mengembalikan Engkau dalam kedaan sehat dan selamat” Ujar Shabah.

“Saya rasa Engkau tidak tau apa yang ada padaku” Kemudian Harun membuka bagian perutnya yang diikit dengan kain. Harun berkata, “Ini adalah penyakit yang aku sembunyikan kepada siapapun, pada waktu itu beliau mengucapkan selamat tinggal dan berangkat ke Juryan.”

Pada tahun 192 H bulan Sya’ban, Harun Ar-Rasyid berangkat dari Baghdad untuk memadamkan pemberontakan Ra’fik bin Lais ketika sampai di kampung Sambat, dekat Thus. Sakitnya semakin parah sehingga menyebabkannya meninggal pada bulan Jumadil Akhir 193 H, pada umurnya 84 tahun.[]

Sumber:
1. As-Suyuthi: Tarikh al-Khulafa', Hal. 226
2. Tarikh At-Thabari, Jilid. 8, Hal. 144-145, 307
3. Ibnu Atsir: Kamil fi Tarikh, Jilid. 5, Hal. 63
4. Ibnu Katsir: Rusul Muluk, Hal. 78-79


*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah, Universitas Al-Azhar, Kairo.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top