Aku Masih Berhusnudhan

Oleh: Muhammad Syukran*
dailymail.com

Aku sudah terbiasa bangun pagi di musim dingin. Keluar dari flat lantai tiga menuju Madhyafah Syekh Ali Jum’ah berselimutkan jaket tebal. Berjalan manis layak pragawati menuju halte kecil di perempatan jalan. Tilawah Ustad Muammar ZA salah satu favorit saat hati ini sepi dan kosong. Aku sangat ingin menjadi penerusnya, bukannya ingin terkenal tapi rasa ingin menumbuhkan cinta kepada Allah Swt. dengan melantunkan ayat-Nya sebuah kemuliaan yg tak ternilai. Bukan sedikit mereka yang masuk Islam karena bacaan Al-Quran, bahkan Umar yang dulunya berhati serigala menjadi lembut setelah disiram lewat bacaan Al-Quran.

Bus merah yang ditunggu-tunggu pun datang. Aku masuk dan seperti biasa tidak kebagian satu kursi pun untukku. 

Aku berdiri sambil menggantungkan tangan kanan, terkadang terayun bersama alunan bus yang bergoyang. Bus berhenti di Hay Sadis menunggu penumpang yang sudah lama menunggu. Seorang pria bertubuh kurus menatapku dari jauh lalu bergegas menyambut pintu bus yang hendak pergi.

Dia memakai jaket kulit kecokelatan, berdiri tepat di hadapanku. Sesekali dia melirik dari sepatu hingga ujung kepala, seolah-olah baru melihat alien. Aku tidak merasa risih, mungkin dia orang kampung yang baru saja tiba di Kairo merasa aneh ketika mendapatkan pengalaman baru bertemu orang asing. Tapi semakin lama gerak-geriknya mulai aneh, dia mulai mendekat ke arahku. Aku rasa dia ingin mengajakku mengobrol atau semacamnya. Aku ingin menyapanya tapi agak canggung, lalu aku mengalihkan pandangan darinya.

Di pertigaan penumpang bertambah lagi mengisi kekosongan dalam bus. Pria tadi sudah bersampingan denganku, dia mulai menendang-nendang kakiku. Aku rasa dia hendak bercanda atau bersikap ramah, tapi dari raut wajahnya tak menunjukkan tanda-tanda ramah. Aku mulai tak peduli, tendangan kakinya mulai mengeras. Aku mulai kesal dibuatnya. Aku menoleh ke arahnya, dia mulai melotot alisnya menurun, seketika dia mengambil langkah menuju pintu untuk keluar. Dari kejauhan dia menatapku lagi untuk terakhir kalinya. 

Bus pun melaju hingga pemberhentian akhir di Mahaththah Darrasah. Semua penumpang turun, aku memasukkan tangan ke dalam saku jaket karena kedinginan tanpa sarung tangan yang tertinggal di flat. Ada hal aneh yang sedang terjadi padaku, handphone dalam saku menghilang secara tiba-tiba. Ini bukan hal gaib pikirku, aku kecopetan untuk yang kedua kalinya. Perasaan bimbang mulai menyapa, apa dosa yang kuperbuat kemarin dan hari ini sehingga terjadi hal buruk? Apakah aku lupa bersyukur semalam? Atau rasa syukurku yang terlalu sedikit? Atau mungkin saja ini ujian kenaikan derajat seorang hamba?

Baca juga: Cerpen: Downtown

Aku tidak kecewa atas hilangnya barang berharga, rasa galau mulai menghantui. Teringat aku belum sempat bersedekah pagi ini karena mengejar dars bersama Syekh Muhanna. Sepanjang jalan menuju Madhyafah pikiran ini mulai kacau, aku ingat pria dalam bus tadi, gelagatnya yang aneh membuatku yakin dia pelakunya. Dalam keadaan seperti ini tak ada gunanya mencaci-maki tak ada guna melapor ke polisi tak ada guna menghakimi. Sebuah keajaiban jika barang hilang di Mesir bisa ditemukan lagi. 

Abdurrahman teman dekatku menghampiri, dia tau aku sedang mengalami kesusahan. 

“Kamu kenapa?”

“Ini, HP-ku hilang.”

“Astaghfirullah, kok bisa?”

“Iya, aku tadi lengah sampai lupa waspada.”

“Sabar ya, bener memang kata orang, semua orang Mesir itu pencuri kecuali ulama-ulama Al-Azhar.”

“Huss, jangan gitu, gak baik loh. Mungkin dia memang sedang butuh uang, siapa tau istrinya sakit atau anaknya butuh ini dan itu sehingga mendorong dia berbuat jahat. Lagian aku sudah ikhlas kok, tenang saja.”

“Jangan aneh gitu dong, jelas-jelas dia yang salah.”

“Ya sudah kita doakan saja semoga dia bertaubat.”

Aku sampai di Madhyafah. Suasana sudah ramai tapi syekh belum datang, tidak seperti biasanya. Syekh sangat menghargai waktu, tidak pernah sekalipun beliau telat apalagi tidak hadir. Faddhal duduk di samping membuka percakapan.

“Aku tahu kenapa syekh tidak hadir.”

“Kenapa?”

“Beliau ada keperluan lain yang lebih besar dari pengajian kita. Kita cuma orang biasa dari kampung, beliau pasti lebih memilih bertemu dengan pejabat.”

“Menurutku tidak, mungkin beliau sedang ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan. Wajar saja, jika beliau lebih memilih keluarga dibanding muridnya. Memang ada mahasiswa yang sudah selesai menuntut ilmu di Al-Azhar mengundang Syekhnya ke Indonesia atau memberikan hadiah atas jasa-jasanya?” Tanyaku.

Sudah waktunya masuk kuliah, aku pun memangkul ransel meninggalkan Madhyafah. Menuju ruangan kuliah yang penuh debu, debu yang seiring datang lalu pergi. Menyisakan kebencian di hati, kenapa Mesir begitu berdebu? Katanya luar negeri, kok masih kotor. Aku tak melihat sampah berceceran di jalanan dan tak satupun debu mengotori dinding-dinding bangunan di Mekah dan Madinah. Selain karena tempat suci nan mulia, gunung-gunung di sana senantiasa menjaga kota dari angin yang membawa bedebuan. Mesir sendiri sebuah kota yang subur tapi sayang gunungnya sudah tak sanggup menjaga sendiri badai pasir yang datang.

Duktur Abdurrahman Fahmi datang membuka pelajaran. Hasbi datang dari jauh menghampiri, dia teman belajar di Madhyafah.

“Akhi, antum tau tidak kalau Syekh Muhanna sakit.”

Innalilahi, sakit apa beliau?”

“Katanya stamina tubuhnya sangat lemah karena kurang istirahat dan sibuk memikirkan pengajian.”

Innalilahi... Aku turut prihatin. Kapan kita bisa mengunjungi beliau?”

“Nanti dulu, sekarang beliau masih dalam perawatan di rumah sakit Thantha. Kita bisa mengunjunginya Minggu depan insyaAllah.” Kami mendoakan beliau agar cepat sembuh.

Kuliah hari ini berakhir hingga azan shalat Ashar berkumandang. Duktur menutup kuliahnya dengan doa dan salam. Semua mahasiswa berhamburan menuju mesjid, ada juga yang mendatangi meja duktur untuk bertanya-tanya. 

“Lihat tuh, mereka pada cari muka sama duktur biar dikenal dan dapat nilai bagus,” serempet Firdaus. Dia memang mahasiswa yang lumayan kritis dengan pendidikan. Aku mengajaknya menuju Mesjid Al-Azhar untuk shalat. 

Aku dan Firdaus bergerak menuju Mahathah Darrasah. Seorang Ibu duduk di pinggir jalan yang sudah tak asing lagi bagiku. Aku mengeluarkan sejumlah uang untuknya lalu pergi.

“Eh, jangan keseringan kasih uang ke peminta-minta bisa jadi mereka akan malas dan tidak mau bekerja lagi.”

“Tenang saja Firdaus, aku sudah kenal dengan beliau.”

“Nah, kamu lebih tau soal itu. Kalau sudah kenal kok masih diberi?”

Begini, aku memberikan itu karena aku yakin dia sangat kesusahan. Biasanya dia berdua dengan anak perempuannya, sebulan yang lalu aku melihat anaknya sudah bisa bersekolah. Aku bukan seorang pahlawan, selaku saudara seiman aku punya tanggung jawab membantu orang lain semampuku.”

“Iya, kamu benar.”

Bus 80 Coret lewat di depan kami. Aku dan Firdaus naik, lalu duduk di kursi tengah berdua. Sepanjang jalan Aku hanya merenungkan hari yang sungguh melelahkan. Bus berhenti di Awal Sabi', banyak mahasiswi Al-Azhar yang naik. Aku melihat seorang mahasiswi bercadar naik dari pintu depan bus yang sepertinya aku kenal. 

“Fir, kamu kenal akhwat yang bercadar hitam itu?”

“Iya, dia Putri Aisyah, Kamu kenal juga?”

“Iya, dia shalehah, baik, sopan, juga pintar. Iya, Kamu suka ya?”

“Siapa yang tidak suka sama Putri?” Sahutku.

“Aku, tidak suka lagi sama dia. Dulu dia menjadi primadona di mata ikhwan, tapi setelah aku dengar ternyata dia tak tertutup seperti cadarnya. Dia terbuka sama semua ikhwan dan aku dengar dia juga pacaran,” jawab Firdaus.

“Wah, kok Kamu tau?”

“Iya, aku tanya sama orang-orang terdekatnya.”

“Begini Fir, jaman sekarang, kan lagi booming generasi hoax. Kok Kamu percaya langsung tanpa tanya ke orangnya langsung? Siapa tau Kamu dan orang lain salah menilainya.”

“Ini saran aku lah ya, kalau Kamu mau jadiin dia sebagai istri lebih baik jangan, dia sangat terbuka sama orang-orang.”

“Kenapa memangnya? Toh Kamu juga belum dengar langsung dari dia.”

“Ya sudahlah, kalau kamu gak percaya, aku hanya mengingatkan sahabatku supaya tidak kecewa nantinya.”

Pikiranku mulai bergerak memikirkan Putri, mustahil Putri itu pacaran, dia pasti paham pacaran bukan perbuatan baik. Masa seorang Azhari berpacaran, pantas untuk apa dia menuntut ilmu agama jika dibarengi dengan maksiat. Apa sebaiknya Aku bertanya langsung. 

Malam harinya setelah mengulang hafalan Aku beranikan diri bertanya langsung pada Putri memalui via WhatsApp.

Assalamualaikum Putri, ini ana Musthafa, kaif haluk?

Waalaikum salam Akhi, alhamdulillah ana sehat.”

“Lagi sibuk gak?”

“Gak juga, ini baru aja dari luar. Ada apa ini, tumben.”

“Mau nanya-nanya boleh gak?”

“Jangan serius amat, tanya aja.”

“Gak tau mau mulai dari mana, ini dibawa santai aja, ana cuma mau tau aja. Dulu ketika pertama kali kenal Putri banyak hal baru yang memotivasi ana dan orang-orang. Di mata orang-orang Putri sangat baik, apa lagi setelah pakai cadar orang-orang makin salut. Namun, ana dengar isu belakangan ini dari teman-teman katanya Putri pacaran ya?” 

Astaghfirullah, dapat info dari mana itu? Bisa-bisanya ana kena fitnah, padahal ana udah coba jaga batasan sama ikhwan. Tapi masih aja ada isu gak bagus. Begini Akhi, Ana gak pernah pacaran seumur hidup, baik dari SD, SMP, SMA apa lagi setelah kuliah di Al-Azhar. Ana paham agama kok, gak mungkin ana seburuk itu. Mungkin ada kesalahpahaman sehingga orang-orang menuduh ana yang bukan-bukan.”

“Oiya… Alhamdulillah akhirnya ana gak sempat su'udhon sama Putri. Ana percaya mahasiswi Al-Azhar semuanya baik-baik. Kita tidak pernah meminta sebuah masalah datang, terkadang ia muncul dengan sendirinya. Saran ana yang sabar semoga musibah ini gak berlanjut, dan tetap semangat.” 


Kebesaran hati sangat dibutuhkan dalam hidup. Terkadang kita meminta pada Allah agar diberikan kekuatan, tapi Allah memberikan ujian dan masalah agar kita lebih kuat. Bersihkan hati ini dengan terus berhusnuzhan kepada sesama, karena tidak semua yang disaksikan mata benar adanya. Kebenaran hanya milik Allah semata, nilai dan predikat manusia tidak berarti apa-apa dibanding hukum Allah Swt yang Maha Adil dan Bijaksana.[]

*Penulis adalah mahasiswa Al-Azhar asal Aceh.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top