Hidupkah Hati Kita?

Oleh: Muhammad Najid Akhtiar*

Ilustrasi: caleohealth.ca


Andai kata maut menjemput kita detik ini juga, dengan hati yang bagaimanakah kita akan menemui-Nya? Apakah hati ini kelak akan membela kita ataukah akan menjadi senjata yang memakan tuannya sendiri? Apakah kita memilikinya sepenuhnya, ataukah kita tidak memilikinya sama sekali?

Ibnu Qayyim berkata: “Temukan hatimu di tiga waktu; kala mendengar Al-Quran, di saat sedang di majelis zikir, dan ketika kau sedang sendiri. Jikalau kau tidak menemukannya di tiga waktu ini, pintalah kepada Allah agar menganugerahimu sebuah hati. Karena sungguh kenyataannya kau tidak memiliki hati sama sekali.”

Hidup matinya kita, tergantung hidup matinya hati. Hati yang hidup, pertanda kehidupan. Hati yang mati, isyarat kematian. Hati yang sakit, bermakna hidup yang sakit. Pegang kalbu kita, tanyakan kepadanya: Hidupkah kita?

Hati Yang Hidup
Satu, Bergetar Kala Disebut Nama Allah.

Seorang pemuda, berminggu-minggu terbaring sakit di kamarnya. Ayahnya sudah membawakan belasan tabib untuk mengobatinya, namun tak kunjung ditemukan apa penyakitnya. Maka dihadirkanlah seorang tabib yang terkenal dengan hikmahnya. Sang tabib memeriksa nadinya. Menanyakannya kabarnya. Menanyakan kabar keluarganya. Lalu beralih kepada tetangganya. Nadinya berdenyut kencang kala disebutkan nama salah satu tetangganya. Disebutkanlah oleh sang tabib nama anak-anaknya. Semakin kencang pulalah denyut nadinya. Sampai kemudian sang tabib menyebut nama putri bungsu tetangga, sang pemuda menggigil kuat, matanya memutih, wajahnya basah hdengan peluh. “Dia tidak sakit,” kata sang tabib. “Dia merindu!”

Bagaimana pula dengan hati yang merindukan Allah? Dan Dialah yang paling pantas untuk dirindukan? Pantaskah hati bergetar kala disebut nama kekasih, lalu tidak kala disebut nama Yang Maha Pengasih? Layakkah indera merinding kala disebut nama makhluk, kemudian tidak kala disebut nama Sang Khaliq? Patutkah akal sehat hilang kala kehilangan yang fana dan mati, lantas tidak kala ditinggalkan Yang Kekal Abadi?

Tanda hati yang merindu adalah desiran kalbu kala yang terkasih diseru. Tanyakan dirimu: Apakah hatimu syahdu saat mendengar nama-Nya? Apakah ia terbawa saat mendengar kalam-Nya? Apakah ia bersegera memenuhi panggilan-Nya? Apakah ia menangis di malam hari merindukan-Nya? Apakah ia merasa sakit saat melihat orang lain mengacuhkan-Nya?

Suatu ketika Hasan Al-Bashri ditanyakan: “Apakah engkau beriman?” Hasan menjawab: “Iman itu dua. Jikalau engkau menanyakanku apakah aku beriman kepada Allah, malaikat, kitab, Rasul, surga, neraka, hari kebangkitan dan hisab, maka aku beriman. Namun jikalau kau menanyakanku iman seperti ayat Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ketika disebut nama Allah gemetar hati mereka dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka bertambah iman mereka dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal”, demi Allah aku tidak tahu apakah aku termasuk di golongan mereka atau tidak.”

Dua, Mengambil Ibrah Atas Segala Sesuatu.

Mengambil ibrah dari ayat-ayat Allah. Mengambil ibrah dari kisah-kisah yang ada di dalamnya. Mengambil ibrah dari hadis. Mengambil dari sejarah. Mengambil ibrah dari orang-orang yang lebih tua. Mengambil ibrah dari orang yang lebih tahu. Karena hakikatnya yang membedakan kita manusia dengan hewan adalah kemampuan berpikir. Andai kata kemampuan itu tidak kita gunakan sebenar-benarnya, apa gunanya ia?

Mengambil ibrah berarti mempertimbangkan segala akibat. Dengan itu kita selamat. Rajin pangkal pintar, malas pangkal bodoh. Taat kepada Allah masuk surga, maksiat kepada-Nya masuk neraka. Orang yang banyak mengambil ibrah sedikit celakanya, maka apa pula alasan kita untuk tidak memperhatikannya?

Tiga, Malu Akan Hal yang Tidak Disukai Allah.

Malu adalah salah satu pembatas utama antara seorang hamba dengan maksiat. Malu kalau tidak menjalankan perintah Allah. Malu kalau melanggar larangan Allah. Karena hakikatnya, semua kebaikan yang kita lakukan di muka bumi Allah ini ibadah. Dan idealnya ibadah itu adalah seperti apa yang disebutkan Rasul: “Beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jikalau kau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Kita malu berbuat salah di depan kawan-kawan kita. Kita malu dihina dan dicerca oleh orang lain karena aib kita. Lalu kepada siapakah kita lebih pantas merasa malu, mereka ataukah Allah?

Empat, Lisan yang Baik.

Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya hamba yang berbicara dengan kalimat-kalimat yang diridhai Allah, dia tidak memperkirakan bahwa ternyata kalimat-kalimat itu bisa membuat Allah mengangkatnya beberapa derajat.” 

Lisan adalah cerminan hati. Kata-kata yang busuk mencerminkan hati yang buruk. Mungkin saja kita temukan kata-kata manis dari orang berhati busuk. Namun sebaliknya hati yang baik tidak mengucapkan kata-kata yang tidak baik.

Kita jadikan junjungan kita Rasulullah Saw. sebagai teladan. Rasulullah Saw. sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samrah, merupakan seorang yang banyak diamnya dan sedikit ketawanya. Dan jikalau Baginda bersuara, tak ada yang keluar dari bibirnya kecuali kata-kata yang indah wangi menyejukkan. Dalam hal ini Rasul bersabda: “Mukmin itu bagaiman lebah; tidak makan kecuali yang baik dan tidak mengeluarkan kecuali yang baik.”

Marilah kita menyebarkan kalimat yang baik. Sebagaimana Rasul bersabda: “… maka katakanlah yang baik ataupun diam.” Perhatikan, katakan yang baik dulu, baru diam. Menunjukkan bahwa seorang mukmin bukannya dituntut untuk selalu diam. Kita dituntut untuk mengatakan yang baik-baik. Seandainya memang tak ada lagi di muka bumi ini hal yang baik untuk dikatakan, ketika itulah diam menjadi pilihan.

Lima, Air Mata.

Hati yang hidup mudah menangis. Menangis bukanlah berarti cengeng. Tergantung apa yang ia tangiskan. Temukanlah hatimu dalam tangisan. Karena tangisan ialah isyarat hati yang bergerak. Dan pergerakan adalah bukti dari kehidupan.

Rasulullah menangis, ketika ada yang meninggal. Rasulullah menangis, ketika anaknya Ibrahim wafat. Rasulullah menangis ketika melewati kubur putrinya. Rasulullah menangis, takut dan kasih akan umatnya. Rasululllah menangis, takut kepada Allah. Rasululullah menangis ketika mendengar Al-Quran. Rasulullah menangis ketika sholat gerhana. Rasulullah menangis di sepertiga malam, tersedu-sedu berdoa: “Tuhanku bukankah Engkau sudah menjanjikanku tidak akan mengazab mereka sedangkan aku bersama mereka. Sedangkan mereka beristighfar kepadamu, dan kami juga beristighar?”

Enam, Ingat Akan Akhirat.

Pemilik hati yang hidup, kala kehilangan satu kesempatan untuk membaca Al-Qur’an atau ketinggalan satu waktu shalat, ia akan merasakan rasa sedih yang luar biasa layaknya kehilangan harta. Bagaimana pula halnya orang yang tak membaca Al-Quran sama sekali? Bagaimana pula orang yang selalu meninggalkan shalat lalu bersikap “santai saja”? "Orang yang meninggalkan shalat asar sama seperti kehilangan keluarga dan hartanya.” Demikian sabda Rasul.

“Pernah suatu ketika aku ketinggalan satu shalat jamaah,” ujar Hatim Al-Asham. “Lalu mereka mengungkapkan bela sungkawa mereka satu kali. Seandainya hari ini aku kehilangan anak, niscaya mereka akan mengungkapkan bela sungkawa lebih dari ribuan kali. Ini dikarenakan musibah agama bagi mereka tak lebih besar dari musibah dunia.”

Uwasi Al-Qarni, setiap kali melihat orang-orang kelaparan atau tak berpakaian lantaran tak berkemampuan, ia terus beristighfar memohon ampun kepada Allah. Ia merasa bahwa semua mereka itu adalah tanggung jawabnya, padahal ia tidak memiliki apa-apa selain apa yang melekat di badannya.

Ingat akan akhirat selalu menjadi tanda bagi hati yang hidup. Bahwa semua kebaikan akan dibalas kebaikan. Dan kejahatan juga akan dibalas serupa. Bukan sekarang. Kelak di akhirat. Ingatkah kita?

Tujuh, Takut Kepada Allah.

Hati yang hidup tak pernah takut kecuali kepada Allah. Ia tidak takut pada manusia meskipun jahat. Tak takut pada kejadian meskipun dahsyat. Tidak takut akan rezeki dan ajal. Tidak takut akan anak atau mal. Allah Swt. berfirman: “Apakah kalian takut kepada mereka? Sungguh kepada Allah lebih pantas untuk kalian takut kalau memang kalian beriman.”

Baca juga: Mereka yang Dekat dengan Allah Melalui Air Mata

Allah menghubungkan kata iman pada ayat tersebut dengan takut kepada Allah. Seakan Allah menyatakan bahwa kalau yang takut kepada selain-Nya berarti ia tidak beriman. Begitu juga Ahmad bin Hambal, kala datang seseorang mengadukan rasa takutnya kepada Imam Ahmad, beliau berkata: “Kalau kau memang benar-benar beriman, kau tidak akan takut pada siapapun.

Namun begitu, tak berarti pula kita tak melakukan kewajiban kita sebagai hamba untuk menghindari segala mudharat. Janganlah kita mencari musuh meski tak takut dibunuh. Jangan pula kita tak mengobati sakit lantaran tak takut mati. Yang masuk akal sajalah. Pertanda hati yang hidup adalah takut hanya kepada-Nya, bukan bodoh.

Pegang kalbu kita, tanyakan kepadanya: "Hidupkah kita?"[]

*Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Bahasa Arab Universitas Al Azhar. Pemimpin Redaksi el Asyi 2017.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top