Majalah Al-Azhar Selayang Pandang
Al-Azhar Magazine |
Oleh: Nafis
Akhtiar
(Mahasiswa
tingkat II fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar)
Ada dua hal yang
selalu diperhatikan oleh perusahaan besar ketika menjual produk andalannya,
kualitas karya dan megahnya nama. Namun, sebagian pengusaha ekstrem tidak
peduli dengan mutu barang dagangan mereka. Bagi mereka nama adalah
segala-galanya. Sebagus apa pun sesuatu, kalau tidak ada yang tahu maka tidak
ada artinya. Sedangkan barang yang buruk jika selalu dipuji-puji akhirnya akan
disukai banyak orang.
Karena dasar inilah
pemikiran dan budaya busuk Eropa akhirnya dikultuskanoleh khalayak umum di
seluruh belahan dunia. Kultur sosial mereka dipersandingkan dengan kemajuan
teknologi barat sehingga terlihat hebat dan berbau modern. Adapun tradisi agung
keilmuan Islam harus pudar ditutup debu-debu ketidaktahuan.
Menyadari hal ini,
maka pada tahun 1926 gagasan untuk membuat majalah khusus universitas mulai
tersebar di Jami' Al-Azhar. Empat tahun kemudian wacana tersebut
benar-benar terealisasi. Tepatnya, pada bulan Muharram 1349 H 1930 M terbitlah majalah
bernama Nurul Islam di bawah pimpinan Syekh Muhammad Al-Khudhar Husein.
Majalah ini memfokuskan
untuk menghidupkan kembali turats islami dan dakwah masyarakat kepada sunah.
Materinya pula berkutat seputar tafsir, hadis dan kolom-kolom dakwah. Tanpa
disangka, antusiasme masyarakat terhadap majalah baru ini sangatlah besar.
Sehingga lebih 7000 naskah terjual pada empat tahun pertama penerbitannya.
Pada tahun 1935,
atas perintah Syeikhul Azhar Syekh Musthafa Al-Maraghi nama majalah itu diubah
menjadi Majalah Al-Azhar. Rubrik-rubriknya pun diperbanyak. Isi tulisannya
mulai menyentuh permasalahan masyarakat modern Mesir saat itu. Khususnya
membantah syubhat-syubhat terhadap Islam, serta membetulkan pemahaman
masyarakat tentang ilmu dan filsafat, setelah sebelumnya menjadi kacau karena
materi kurikulum barat yang diajarkan di sekolah-sekolah umum.
Dari waktu ke waktu,
majalah ini terus mengalami pertumbuhan yang membanggakan. Keyakinan umat Islam
terhadap agamanya membuat mereka selalu haus akan pencerahan dari agama,tentang
hal ihwal kehidupan mereka dan juga perihal dunia Islam secara umum. Mereka
inginkan solusi untuk segala macam persoalan, tapi bukan dari pemikiran sinting
dan interpretasi sesat orang-orang sekuler. Mereka butuh nasihat untuk terus
maju, tapi tidak dari filosof dan pemikir atheis. Maka jadilah Majalah Al-Azhar
ibarat lentera yang terang ditengah gelapnya media sekuler dan zindiq.
Saking besarnya
peran majalah ini, sehingga Syekh Musthafa Abdul Raziq di awal masa jabatannya
sebagai Syeikul Azhar melihat perlunya dibuat aturan khusus untuk Majalah
Al-Azhar. Hal ini supaya visi dan misi majalah menjadi lebih jelas dan pengurusannya
lebih teratur. Maka, pada tahun 1946 dirumuskan sebuah AD/ART untuk majalah
ini. Intinya mengatur tujuan majalah, isi pembahasannya, ketentuan-ketentuan,
serta soal dewan redaksi dan pegawai majalah.
Majalah Al-Azhar
mulai menulis rubrik dalam bahasa asing, untuk pembaca yang tidak bisa
berbahasa Arab.Rubrik dalam bahasa Prancis dan Inggris. Selain itu, semua
majalah yang dijual disertakan satu buku kecil karya ulama sebagai hadiah
setiap edisi. Buku-buku ini diharapkan bisa menambah wawasan pembaca tentang ilmu-ilmu
agama.
Mutu Sebuah Karya
Sejak pertama kali
diedarkan hingga kini, banyak sekali hal-hal positif yang didapat pembaca
Majalah Al-Azhar, lebih-lebih lagi para penuntut ilmu. Yang paling istimewa
dari majalah ini adalah kualitas tulisannya sendiri.
Bagaimana tidak,
rubrik-rubrik majalah ini diisi dengan karya tulis para ulama Azhar, yang telah
diakui keilmuannya oleh seluruh dunia Islam. Ide dan pemikiran di dalamnya
hasil pemahaman mereka yang mendalam terhadap pelbagai macam ilmu yang telah dikuasai.
Sehingga kita tidak ragu dengan kebenaran fakta dan kejernihan pikiran itu. Pelajaran-pelajaran
yang mereka sampaikan semuanya bertujuan untuk membuka hati dan pikiran kita
mengenal Islam yang seutuhnya. Inilah yang membuatkannya jurnalilmiah buruan para
pencinta ilmu.
Kelebihan lain
majalah ini adalah harganya yang sangat murah. Harga satu naskah Majalah
Al-Azhar edisi paling baru hanya Le 3 (sekitar Rp 4500). Sedangkan harga
majalah di Indonesia sekarang berada di kisaran Rp 20000. Murahnya harga menyebabkan
ramai kalangan mau berlangganan majalah ini. Apalagi mahasiswa Al-Azhar banyak
yang datang dari mancanegara. Bahan bacaan yang berkualitas dan murah merupakan
sebuah berkat bagi mereka di tengah kondisi keuangan pribadi yang tidak menentu
di tanah rantau.
Majalah Al-Azhar
juga menghadirkan buku-buku kecil yang bernilai tinggi sebagai hadiah pada
setiap edisi. Buku seperti ini kalau dibeli dari sumber lain harganya jauh
lebih mahal dari harga majalah yang cuma Le 3. Sangat wajar jika ramai yang
ingin mengoleksi sebanyak-banyaknya buku hadiah dari majalah ini. Tidak heran juga
apabila mahasiswa-mahasiswa sukses Indonesia di Mesir punya tumpukan Majalah
Al-Azhar di rumahnya.
Majalah Al-Azhar dan Tantangan dari Luar
Seperti media cetak
Islam lainnya, Majalah Al-Azhar juga tidak luput dari gangguan-gangguan
pembenci Islam yang mau menjatuhkannya. Terakhir majalah kebanggaan umat Islam
itu pernah dituntut di pengadilan karena dianggap 'mengusik' perasaan umat
Kristiani. Tak sungkan, mereka melabelnya dengan gelar media bernuansa Taliban
dan menuduh pemred-nya saat itu, Dr. Muhammad 'Imarah dengan macam-macam
tuduhan.
Namun, setelah
ditelusuri lebih dalam, ternyata kalimat yang dikatakan menghujat Kristiani itu
adalah kutipan kata-kata seorang orientalis, Montgomery Watt, yang
menggambarkan agama Kristensesuai kajian dan pemerhatiannya. Nah, wajarkah
seseorang dituntut karena kata-kata orang lain?
Begitulah besarnya
tantangan yang harus ditempuh sebuah media Islam untuk menyampaikan
idealismenya. Isi penyampaiannya harus mengedepankan kebenaran dan membangun
jiwa, namun tetap menjaga hubungan dengan pemerintah dan mengindahkan perasaan
pihak lain agar tidak merasa dirugikan.
Semoga Majalah
Al-Azhar terus maju sesuai zaman yang terus berubah, serta terus membesar
sebesar harapan dan tujuan yang ia emban.
*Tulisan
ini telah dimuat pada Buletin el Asyi edisi khusus Seperempat Abad
Posting Komentar