SEKILAS SEJARAH AL-AZHAR Bagian I


1042 tahun (hitungan Masehi) lalu di salah satu sudut Kota Kairo berdiri sebuah mesjid atas inisiasi panglima Jauhar Ash-Shiqilli. Tepatnya pada Tanggal 29 Jumada Al-Ula 359 H (970 M). Pada 7 Ramadhan 361 H  dilangsungkan shalat Jum'at untuk pertama kali di mesjid tersebut. Pada itu juga awal dimulainya pengajaran Islam oleh Qadhil Qudhah Abul Hasan Ali bin Nu'man Al-Qairawani dengan mengajarkan Fiqh madzhab Syi'ah dari kitab Mukhtashar. Sejak saat itu, dan hingga kini, mesjid tersebut tak pernah lelah membidani kelahiran para ulama dan cendekiawan muslim. Mesjid itulah sebagai cikal bakal Universitas Al-Azhar Mesir, dan perguruan tinggi Islam tertua di dunia.

Tegaknya Al-Azhar yang bermula dari sebuah mesjid tak pernah lepas dari peran penting dinasti Fathimiyah yang kala itu dipimpin oleh Khalifah Mu’iz li Dinillah Ma’ad bin Al-Manshur (319-365 H. / 931-975 M.), khalifah keempat dari dinasti Fathimiyah. Pada saat dibangun masjid ini dinamakan Jami’ Al-Qahirah (meniru nama ibukota) berbentuk satu bangunan yang terbuka di tengahnya, (meniru arsitektur Masjid Al-Haram), di dalamnya ada 3 ruwaq (ruangan khusus yang dipergunakan untuk kegiatan belajar atapun penampungan pelajar), yang paling besar adalah Ruwaq Al-Qiblah. Waktu itu luasnya hanya setengah luas yang ada sekarang.

Masih di masa khalifah Al-’Aziz billah, sekeliling Jami’ Al-Qahirah dibangun beberapa istana yang disebut Al-Qushur Az-Zahirah. Istana-istana ini sebagian besar berada di sebelah timur (kini sebelah barat mesjid Husein), sedangkan beberapa sisanya di sebelah barat (dekat mesjid Al-Azhar sekarang). kedua istana dipisahkan oleh sebuah taman nan indah. Keseluruhan daerah ini dikenal dengan sebutan “Madinatul Fathimiyyin Al-Mulukiyyah”. Karena kondisi sekitarnya yang  indah bercahaya ini, orang pun menyebutnya Jami' Al-Qahirah dengan sebutan baru, Jami’ Al-Azhar (berasal dari kata Zahra’ artinya: yang bersinar, bercahaya, berkilauan, namun ada yang mengatakan diambil dari nama Putri Rasulullah Fathimah zahra).

Para khalifah jauh-jauh hari menyadari bahwa kelanjutan Al-Azhar tidak bisa lepas dari  sumber dana abadi. Oleh karena itu setiap khalifah memberikan harta wakaf baik dari kantong pribadi maupun kas negara. Penggagas pertama wakaf bagi Al-Azhar dipelopori oleh khalifah Al-Hakim bi Amrillah, lalu diikuti oleh para khalifah berikutnya serta dermawan setempat dan seluruh dunia Islam sampai saat ini harta wakaf tersebut kabarnya pernah mencapai sepertiga dari kekayaan Mesir. Dari harta wakaf inilah roda perjalanan Al-Azhar bisa terus berputar, termasuk memberikan beasiswa, asrama dan pengiriman utusan Al-Azhar ke berbagai penjuru dunia.

Mungkin saja amanat nurani kalau setiap khalifah daulah Fathimiyah selalu mengadakan restorasi bangunan Jami’ Al-Azhar. Renovasi demi renovasi tak pernah henti-hentinya hingga ketika gempa hebat sempat merusak Al-Azhar pada tahun 1303 M., Sultan An-Nashir yang memerintah saat itu segera merehab kembali bangunan Jami’ yang rusak.

Ciri spesifik pemugaran bangunan mulai nampak pada masa Sultan Qansouh Al-Ghoury (1509 M.) yang merestorasi satu menara Al-Azhar nan indah dengan dua puncak (Manaratul Azhar Dzatu Ar-Ra'sain).

Penyempurnaan Jami’ Al-Azhar kembali dilanjutkan pada periode Daulah Utsmani, dengan kegiatan restorasi yang tak jauh berbeda seperti sebelumnya. Klimaksnya dicapai pada masa Amir Abdurrahman Kadkhuda (wafat 1776 M.) dengan menambahkan dua buah menara, mengganti mihrab dan mimbar baru, membuka lokal belajar bagi yatim-piatu, membangun ruwaq sebagai pemondokan mahasiswa dan pelajar asing, membuat pendopo ruang tamu, teras tak beratap dalam mesjid (Shahn), dan tangki air tempat berwudhu’. Singkat kata, hampir seluruh bangunan tua yang masih tersisa di mesjid Al-Azhar kini adalah hasil karya Amir tersebut.

Fase Peralihan
Seiring gelombang pasang surut sejarah, berbagai bentuk pemerintahan silih berganti memainkan peranannya di lembaga tertua ini. Sebagai mesjid dan institusi pendidikan, proses penyebaran ilmu pertama kali diwarnai oleh paham Syi’ah yang dilakukan dinasti Fathimiyah. Khususnya di penghujung masa khalifah Al-Mu'iz li Dinillah ketika Qadhil Qudhah Abul Hasan Ali bin Nu’man Al-Qairawani mengajarkan fiqh mazhab Syi'ah dari kitab Mukhtashar yang merupakan pelajaran pertama di mesjid Al-Azhar pada bulan Shafar 365 Hijriah (Oktober 975 M.).

Sesudah itu proses belajar terus berlanjut dengan penekanan utama pada ilmu-ilmu agama  dan 
bahasa. Namun juga tidak mengurangi perhatian terhadap ilmu manthiq, filsafat, kedokteran, dan ilmu falak sebagai tambahan yang diikut sertakan.

Lalu, semenjak Shalahuddin Al-Ayyubi memegang pemerintahan Mesir (tahun 567 H. / 1171 M.), Al-Azhar diistirahatkan hampir satu abad lamanya dan dibentuk lembaga pendidikan alternatif berupa madrasah-madrasah kecil disekitar Al-Azhar guna mengikis pengaruh Syi’ah. Di sinilah mulai dimasukkan perubahan orientasi besar-besaran dari mazhab Syi’ah ke mazhab Sunni yang berlaku hingga sekarang. Meski tak dipungkiri, paham Syi’ah dari sudut akademis masih tetap dipelajari.

Ketika Raja Az-Zhahir Bibris berkuasa, pada Dinasti Mamluky, Al-Azhar diadakan perbaikan dan perluasan Al-Azhar. Ia memberikan dorongan untuk dibuka lagi kegiatan belajar mengajar di sana. Sehingga pada tahun 665 H / 1266-1267 M, khutbah di Masjid Al-Azhar diperbolehkan kembali. Langkahnya tersebut mendapatkan sambutan dari semua pihak. Para Penguasa setelahnya mengikuti langkahnya dalam menghidupkan dan memakmurkan Al-Azhar. Alhamdulillah, cahaya Al-Azhar yang telah padam itu lambat laun mulai bersinar kembali.

Fase Pembaharuan
Pembaharuan administrasi pertama Al-Azhar dimulai pada masa pemerintahan Sultan Ad-Dhahir Barquq (784 H. / 1382 M.) dari dinasti Mamalik. Ketika ia mengangkat Amir Bahadir At-Thawasyi sebagai direktur pertama Al-Azhar tahun 784 H. / 1382 M. Upaya ini merupakan usaha awal untuk menjadikan Al-Azhar sebagai yayasan keagamaan yang mengikuti pemerintah.

Sistem ini terus berjalan hingga pemerintahan Usmani menguasai Mesir di penghujung abad 11 H. Ditandai dengan pengangkatan “Syaikh Al-‘Umumy” yang digelar dengan Syaikh Al-Azhar sebagai figur sentral yang mengatur berbagai keperluan pendidikan, pengajaran, keuangan, fatwa hukum, termasuk tempat mengadukan segala persoalan. Pada fase ini terpilih Syaikh Muhammad Al-Khurasyi (1010 - 1101 H.) sebagai Syaikh Al-Azhar pertama. Secara keseluruhan ada 44 Syaikh yang telah memimpin Al-Azhar selama 49 periode, dan kini dipegang oleh Syaikh Ahmad Thayyeb.
Masa keemasan Al-Azhar terjadi pada abad 9 H. (15 M.). Banyak ilmuwan dan ulama Islam bermunculan di Al-Azhar saat itu, seperti Ibnu Khaldun, Al-Farisi, As-Suyuthi, Al-'Aini, Al-Khawi, Abdul Latif Al-Baghdadi, Ibnu Khalqan, Al-Maqrizi dan lainnya yang telah mewariskan banyak ensiklopedi Arab.

Iklim kemunduran kembali hadir ketika dinasti Usmani berkuasa di Mesir (1517 - 1798 M.). Al-Azhar mulai kurang berfungsi disertai kepulangan para ulama dan mahasiswa yang berangsur-angsur meninggalkan Kairo. Meski begitu, tambahan berbagai bangunan tetap diupayakan atas prakarsa amir-amir Usmani dan kaum Muslimin sedunia.

Kepemimpinan Muhammad Ali Pasha di Mesir pada tahap selanjutnya telah membentuk sistem pendidikan yang paralel tapi terpisah, yaitu pendidikan tradisional dan pendidikan modern. Ia juga berusaha menciutkan peranan Al-Azhar sebagai lembaga yang berpengaruh sepanjang sejarah, antara lain dengan menguasai Badan Wakaf Al-Azhar yang merupakan urat nadinya. Seterusnya, pada masa pemerintahan Khediv Ismail Pasha (1863 – 1879 M.) mulailah usaha reorganisasi pendidikan, dan dari sini pendidikan tradisional mulai bersaing dengan pendidikan modern. Serangan terhadap pendidikan tradisional sering tampak dari usaha yang menginginkan perbaikan Al-Azhar sebagai pusat pendidikan Islam terpenting. Sejak awal abad 19, sistem pendidikan Barat mulai diterapkan di sekolah-sekolah Mesir. Sementara Al-Azhar masih saja menggunakan sistem tradisional. Dari sini muncul suara pembaharuan.

Di antara pembaharuan yang menonjol adalah dicantumkannya sistem ujian untuk mendapatkan Ijazah Al-’Alimiyah (kesarjanaan) Al-Azhar pada Februari 1872. Juga pada tahun 1896, buat pertama kali dibentuk Idarah Al-Azhar (Dewan Administrasi). Usaha pertama dari dewan ini adalah mengeluarkan peraturan yang membagi masa belajar di Al-Azhar menjadi dua periode: Pendidikan dasar 8 tahun serta pendidikan menengah dan tinggi 12 tahun. Kurikulum Al-Azhar ikut diklasifikasikan dalam dua kelas: Al-’Ulum Al-Manqulah (bidang studi agama) dan Al-’Ulum Al-Ma’qulah (studi umum).

Kalau bicara pembaharuan di Al-Azhar, kita jangan lupa dengan Muhammad ‘Abduh  (1849 - 1905). Ia mengusulkan perbaikan sistem pendidikan Al-Azhar dengan memasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulumnya. Gagasan tersebut mulanya kurang disepakati oleh Syaikh Muhammad Al-Anbabi. Baru ketika Syaikh An-Nawawi memimpin Al-Azhar, ide Muhammad ‘Abduh bisa berpengaruh. Berangsur-angsur mulai diadakan pengaturan masa libur dan masa belajar. Uraian pelajaran yang berulang-ulang, atau yang dikenal dengan syarah Al-Hawasyi pun disederhanakan. Sementara itu kurikulum  modern seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi dan sejarah, telah menerobos Al-Azhar. Bersamaan dengan ini pula direnovasi ruwaq Al-Azhar sebagai pemondokan bagi guru dan mahasiswa.

(Bersambung ke bagian II, Al-Azhar kini)

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top