Belajar dari Sosok Ibunda Imam Syafi’i dalam Mendidik Anak
Ilustrasi muslimah (ilmfeed.com) |
Oleh: Nada Thursina Marzuki
“Dibalik laki-laki hebat, pasti ada wanita hebat.” Slogan ini tentunya sudah begitu masyhur di telinga kita. Bagaimana tidak? Dibalik kesuksesan seorang pria, selalu ada sumbangsih besar dari sosok wanita yang begitu lembut nan luas hatinya sangat berjasa dalam kehidupan kita; ibu.
Hal yang sama juga dialami oleh seorang imam besar nan tersohor yang satu ini. Siapa yang tak kenal Abu Abdullah Muhammad Idris Asy syafi’i atau kerap dipanggil dengan Imam Syafi’i ini? Siapa saja tentunya sudah tidak asing lagi dengan nama ini bukan?
Ya, beliau dikenal sebagai salah satu imam mazhab empat, yang dikenal memiliki khazanah keilmuan yang begitu luas. Bahkan, mayoritas masyarakat Indonesia sendiri memilih pendapat beliau sebagai mazhab utamanya.
Ijtihad hukum Imam Syafi’i juga begitu berkembang di Mesir melalui wasilah Salahuddin Al-Ayyubi sampai saat ini. Pemikiran beliau, nyatanya begitu sesuai dengan kemodernisasian dari zaman ke zaman, karena tidak berpihak ke kanan maupun ke kiri.
Dari usia tujuh tahun, Syafi’i kecil telah selesai mengkhatamkan hafalan Al-Qur’annya dengan fasih dan mutqin. Bahkan, beliau pernah pada suatu ketika mengkhatamkan hafalan qur’annya sebanyak 16 kali dalam suatu perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Tidak cukup sampai disitu, setahun kemudian kitab Al-muwatha’ karya Imam Malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan, juga berhasil dibabat habis oleh Imam Syafi’i diluar kepala.
Pada umurnya yang ke-15, ia telah diangkat menjadi mufti kota Mekkah dan telah diizinkan untuk mengeluarkan fatwa. Dan karya-karya besarnya sampai saat ini, masih diakui dan menjadi rujukan utama di seluruh penjuru dunia.
Syahdan, berangkat dari pencapaian-pencapaian luar biasa dari sosok Imam Syafi’i ini, tentunya tidak terlepas dari peran utama sang ibunda yang merupakan madrasatul ula bagi Syafi’i kecil.
Fathimah binti Ubaidillah Azdiyah namanya. Beliau berasal dari suku Al-Azd di Yaman. Garis keturunan beliau masih bersambung dengan Rasulullah Saw dari jalur Ubaidillah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Sejak bayi, Syafi’i kecil telah ia didik dan besarkan sendirian. Suaminya, Idris bin Abbas bin Usamah bin Syafi’i telah meninggal dunia saat Syafi’i berusia 2 tahun, tanpa meninggalkan sedikit harta pun untuk diwarisi.
Setelah kepergian suaminya tersebut, Fathimah akhirnya membesarkan putranya seorang diri. Pada saat itu, ia pun akhirnya berinisiaf untuk hijrah dari Gaza, Palestina—yang merupakan kampung halaman suaminya—menuju Mekkah. Dengan maksud mempertemukan kembali Syafi’i dengan keluarga besarnya yang berasal dari suku Quraisy.
Tidak cukup sampai disitu, ternyata Fathimah juga mengirim anaknya ke sebuah suku yang bernama Hudzail, di kota Mekkah untuk belajar bahasa arab Murni. Dalam riwayatnya, suku ini begitu terkenal dengan bahasanya yang fasih pada zaman itu. Hal ini akhirnya memberikan efek yang sangat besar pada diri Syafi’i ketika ia dewasa. Seperti yang kita ketahui, Syafi’i bukan hanya masyhur dalam segi ketinggian ilmu agamanya, seperti fikih, ushul, hadis saja, akan tetapi beliau juga terkenal lewat bait sya’ir puisinya yang indah.
Menjadi seorang single parent serta hidup dengan serba kekurangan dari segi material, tidak lantas menyurutkan impian dan semangat Fathimah yang dikenal cerdas ini, untuk mendidik Syafi’i menjadi seorang ‘alim dalam ilmu pengetahuan. Upaya-upaya ini bahkan sudah diterapkan oleh Fathimah sejak Imam Syafi’i masih dalam kandungan.
Termasuk salah satunya adalah benar-benar menjaga kehalalan nafkah yang ia berikan kepada Syafi’i—sejak putranya tersebut masih berada di dalam rahimnya. Ia bahkan tak ingin, secuil syubhat pun menyentuh ujung kuku Syafi’i. Menurut Fathimah, untuk membina sesuatu yang baik pada seorang anak itu, harus sudah dibiasakan semenjak anak tersebut berada di dalam kandungan. Sebelum mengharapkan seorang anak itu menjadi seorang yang shalih dan shalihah, tentulah kita sebagai orang tua, harus memberikan teladan langsung tentang upaya-upaya keshalihahan itu sendiri.
Pada suatu hari, Fathimah meninggalkan Syafi’i kecil yang sedang tertidur sendirian di rumah untuk pergi ke pasar. Lalu ketika Syafi’i kecil terbangun dan mendapati ibunya tidak berada disisinya, ia pun menangis sejadi-jadinya sampai suara tangisannya tersebut terdengar oleh seorang ibu, tetangga Fathimah. Melihat kejadian tersebut, ibu itu langsung mencoba menenangkan tangsian Syafi’i kecil dengan mencoba menyusuinya. Sesampainya di rumah, ketika Fathimah mengetahui akan hal tersebut, ia merasa khawatir jika saja terdapat unsur haram yang masuk ke tubuh Syafi’i melalui susu tetangganya tersebut.
Tanpa berpikir panjang, Ibu Imam Syafi’i pun langsung memasukkan jari telunjuknya kedalam mulut Syafi’i hingga kepangkal kerongkongan, mengangkat tubuhnya dan kemudian mengguncang-guncang perutnya, agar semua susu yang telah masuk ke dalam perut Syafi’i pada saat itu dapat termuntahkan kembali.
Begitulah kira-Kira gambaran over protective-nya Fathimah terhadap hal-hal yang dikonsumsi oleh Imam Syafi’i. Di sinilah kita melihat, Fathimah sangatlah paham jikalau sesuatu yang syubhat dapat sangat berpengaruh pada watak dan karakter putranya kelak. Maka dari itu, ia sangat berhati-hati menjaga makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut putra semata wayangnya tersebut.
Selain itu, walaupun Fathimah berada di taraf perekonomian yang sangat minim, ia selalu berusaha memfasilitasi Imam Syafi’i dengan tempat-tempat menuntut ilmu terbaik, bersama dengan ulama-ulama terbaik. Sedari Syafi’i kecil, Fathimah bahkan telah menggembleng anaknya untuk cinta mati akan ilmu pengetahuan. Bahkan tak jarang ia mengurung Syafi’I kecil di dalam sebuah ruangan untuk menghafal suatu bidang ilmu, yang kemudian disetorkan pada dirinya. Bukan hanya itu, Fathimah juga kerap kali tidak membukakan pintu rumah untuk Syafi’i ketika ia pulang dari sebuah majelis ilmu, agar ia kembali lagi ke majelis tersebut, hingga mendapatkan sebuah ilmu, walau sekecil apapun.
Sadar akan kecerdasan Syafi’i yang luar biasa itu, pada usia anaknya yang masih sangat belia (15 tahun), Fathimah telah mengabulkan keinginan Imam Syafi’i untuk menuntut ilmu ke luar kota Mekkah. Pada saat itu, Syafi’i mengaku pada ibunya, ia telah habis berguru dan sudah habis menguasai semua disiplin ilmu yang ada pada semua ulama di kota Mekkah. Syafi’i ingin mencari ilmu yang baru di luar kota tempat lahirnya Rasulullah Saw tersebut.
Tanpa berpikir panjang, Fathimah langsung mengiyakan hal tersebut pada Syafi’I, walau di sisi lain ia sadar. Ketika Syafi’I meninggalkannya, Fathimah pasti akan menahan rasa sakit yang teramat dalam, terjerat rindu yang teramat sangat kepada putra tunggalnya tersebut.
Fathimah tidak menghiraukan hal itu. Ia sadar hal ini merupakan hal yang terbaik untuk kualitas keilmuan anaknya kelak. Fathimah percaya, walaupun ia tidak berada di sisi Syaf’I, namun Allah yang merupakan zat segala, akan menjaga dan melindungi putranya—dimanana pun ia berpijak. Bahkan jauh-jauh hari sebelum keberangkatan Syafi’i ke Madinah untuk berguru pada Imam Malik, beliau sempat berpesan pada Syafi’i untuk tidak terlalu khawatir dan menghiraukan dirinya yang tinggal seorang diri di rumah.
Fathimah menyuruh Syafi’i untuk tidak pulang sebelum ia menjadi seorang yang ‘alim dalam agama. “Nanti kelak, kita berjumpa di akhirat saja!” Begitulah kira-kira pesan terakhir Fathimah sebelum melepas kepergian anak yang begitu dicintanya tersebut untuk menuntut ilmu.
Pesan ini, tentunya begitu diingat dan dita’ati oleh Imam Syafi’i. Bahkan, setelah bertahun-tahun lamanya berguru di Madinah, kemudian hijrah lagi untuk menuntut ilmu ke Iraq, dan sampai akhirnya menjadi orang besar serta ‘alim ulama di sana, Imam Syafi’I tak kunjung berani untuk pulang menghadap ibunya, sebelum ibunya sendiri yang menyuruhnya pulang.
Sampai pada suatu ketika, ada sebuah perkumpulan majelis ilmu di Masjidil Haram. Di dalam Majelis ilmu tersebut, terdapat seorang ulama besar yang berasal dari Iraq. Dalam penyampaiannya, ulama tersebut sering sekali memuji-muji kecerdasan seorang gurunya yang berasal dari Mekkah yang begitu ‘alim akan ilmu agama. Sehingga apapun permasalahan agama yang dimiliki pada masyarakat Iraq pada saat itu, mampu ia pecahkan dan selesaikan dengan jelas dan tuntas. Mendengar hal tersebut, ibu Imam syafi’i yang juga berada dalam halaqah tersebut penasaran, siapakah kiranya pemuda luar biasa tersebut? Lalu, ulama besar asal Iraq tersebut pun menjawab, pemuda tersebut adalah Muhammad Idris Asy Syafi’i.
Seketika menangislah ibunda Imam Syafi’i sangking terharu dan bangganya saat mendengar berita tersebut. Melihat kejadian tersebut, ulama besar tadi menjadi penasaran tentang apa gerangan yang membuat Fathimah menangis. Fathimah pun kemudian menceritakan, bahwasanya pemuda yang diceritakannya tadi itu, merupakan anak semata wayangnya yang telah lama pergi jauh, guna menuntut ilmu.
Mendengar hal tersebut, para rombongan dari Iraq tadi pun langsung tunduk ta’dhim terhadap ibu imam Syafi’i, dan bertanya pesan apakah yang kira-kira ingin disampaikannya kepada Syafi’I, setibanya mereka di kampung halaman mereka, Iraq. Lalu Fathimah pun berkata “Tolong sampaikan pada Syafi’i, bahwasanya saat ini, aku telah ridha dan mengizininya untuk pulang.” Mendengar hal tersebut, Imam Syafi’i pun merasa sangat bahagia, dan terharu karena pada akhirnya ia masih berkesempatan untuk menemui ibunya di dunia ini.
Demikianlah peran Fathimah dalam mendidik Imam Syafi’i yang selalu mempercayakan dan meniatkan segala sesuatunya untuk Allah ta’ala. Inilah sebuah karakter ibu sejati, yang telah memasrahkan seluruh jiwa raga anaknya untuk menuntut ilmunya Allah. Mulai dari mengandung, mengasuh Imam Syafi’i seorang diri tanpa sosok suami, serta bertahun-tahun mengikhlaskan kepergian putranya tersebut untuk menuntut ilmu agama.
Dedikasi Fathimah tersebut akhirnya benar-benar membuahkan hasil yang sungguh sangat memuaskan. Bahkan, Imam Ahmad bin Hambal pada suatu ketika juga pernah memberikan pujian terhadap Imam Syafi’i yang merupakan gurunya tersebut dengan sebuah sya’ir yang berbunyi :
"كان الشافعى كالشمشى للدنيا وكالعافية للبدان"
“Ia ibarat matahari bagi bumi, dan kesehatan bagi badan. Adakah yang bisa menggantikan keduanya?
Benarlah, menurut satu riwayat yang mengatakan, bahwasanya pada suatu malam di dalam tidurnya ketika Fathimah sedang mengandung Imam Syafi’i, ia pernah bermimpi melihat satu bintang keluar dari perutnya, yang kemudian bintang tersebut melambung tinggi mengangkasa, dan sesaat kemudian bintang tersebut tiba-tiba terpecah di angkasa dan kembali jatuh berpencar menyinari begitu banyak negeri dengan cahaya yang sangat terang benderang. Menurut pen-ta’bir mimpi yang ditanyai Fathimah pada saat itu, bahwa ia akan melahirkan seorang anak laki-laki yang cahaya ilmu pengetahuannya akan terang benderang menyinari seluruh permukaan bumi.
Hasan Al-Banna berkata, “Wanita merupakan tiang negara, jika baik wanita di dalam suatu Negara tersebut, maka baiklah ia seluruhnya. Akan tetapi sebaliknya, jika tidak baik wanita yang ada didalamnya, maka hancurlah ia seluruhnya.” Di sini, Fathimah bin Ubaidillah telah berhasil membuktikan, bahwasanya ia tidak hanya telah melahirkan serta mendidik seorang ulama besar pada masanya, akan tetapi ia juga telah berhasil mendidik seorang ulama besar, yang bahkan namanya tak akan pernah berkarat ditelan lajur zaman.[]
*Mahasiswi tingkat satu jurusan Bahasa Arab Universitas Al-Azhar.
terima kasih atas ilmu yg bermanfaat. sukses selalu kak Nada
BalasHapus