Mengenal Penyair Hebat Imru' Al-Qais, Raja Sesat dari Najd
Oleh: Nada Thursina*
(Ilustrasi: okaz.com) |
Ia bernama lengkap Imru’ Al-Qais ibn Hajar ibn Al-Haris ibn Amru Al-kindi Al-Yamani. Nenek moyangnya berasal dari Yaman, dan kemudian merantau ke daerah utara Saudi Arabia yang berbatasan dengan Irak, yaitu Najd. Di sana, ia memiliki sebuah kerajaan yang sangat besar yang dipimpin langsung oleh ayahnya, Hajar.
Imru’ Al-Qais dilahirkan di daerah Najd pada tahun 500 M. Namun, menurut Imam Jahiz, yang merupakan pendapat paling kuat, menyebutkan bahwa ia meninggal dua ratus tahun sebelum Nabi Muhammad Saw. dilahirkan atau sekitar tahun 350-400 M.
Ayahnya Hajar merupakan seorang raja terhadap dua kabilah: Bani Asad dan Bani Gathfan. Semenjak kecil, Imru’ Al-Qais sudah dibiasakan hidup dengan kehidupan kerajaan, sehingga lambat laun kehidupan berfoya-foya sudah menjadi jati dirinya. Ia mempunyai talenta yang sangat baik dalam bersyair, sehingga dengan kemampuannya tersebut ia selalu sibuk ber-ghazal (mengarang puisi yang mengandung rayuan/menggombal) terhadap wanita. Bukan hanya pada satu wanita saja, tapi pada banyak wanita.
Di antara perempuan-perempuan yang pernah ia ghazal adalah istri dari ayahnya sendiri (ibu tirinya). Dari segi norma, baik agama maupun sosial hampir tidak ada hal yang dapat diambil pelajaran dari isi syairnya tersebut. Namun, jika ditinjau dari segi sastra, ia merupakan salah satu penyair sastra Arab Jahiliy yang menjadi rujukan utama dalam pembentukan sastra.
Mengetahui tabiat dari anaknya tersebut, ayahnya kemudian melarang Imru’ Al-Qais bersyair, karena ber-ghazal dan bersyair itu bukan merupakan tabiat dari keluarga kerajaan. Namun, Imru’ Al-Qais tak mau mengindahkan hal tersebut. Ia pun akhirnya diusir oleh ayahnya sendiri dari istana.
(Ilustrasi Imru' Al-Qais: copts-united.com) |
Semenjak terusirnya dari istana, ia benar-benar terlepas dari ikatan ayahnya. Dengan sepuas hati Imru’ Al-Qais kemudian mengembara ke berbagai wilayah. Ia berjalan bersama rombongan teman-teman yang juga setipe dengannya. Ia juga ikut mabuk-mabukkan. Mereka hidup dengan cara nomaden. Dalam pengembaraan tersebut, kerja mereka hanya minum khamar saja. Mereka makan dari apa yang mereka buru, dan bermalam di tempat-tempat yang menyediakan khamar.
Di setiap tempat peristirahatan, di sanalah Imru’ Al-Qais selalu mendendangkan syairnya. Isi syair-syair tersebut merupakan cerita tentang ratapan kisah cinta Imru' Al-Qais terdahulu terhadap para kekasihnya. Dan juga tentang sunda guraunya dan sahabat-sahabatnya di dalam pengembaraan.
Pada suatu ketika, saat ia sedang asyiknya-asyiknya berpesta pora dengan sahabat-sahabatnya di sebuah wilayah bernama Dumun. Datanglah seorang utusan yang memberi kabar sangat mengejutkan kepada Imru’ Al-Qais. Kabar inilah yang kemudian akan menjadi titik balik bagi kehidupannya. Utusan kerajaan berkata bahwa raja yang merupakan ayah dari Imru’ Al Qais telah mati terbunuh, dan saat ini Bani Asad sedang sangat gencar mencarinya untuk dibunuh.
Pada masa itu, sudah hal yang biasa jika seorang pemimpin dari sebuah kabilah mati, maka percekcokan antar kabilah pun pasti akan terjadi. Dalam hal ini, Bani Asad sangat berambisi untuk merebut kekuasaan dan ingin menjadi wali di wilayah tersebut. Sedang Bani Gathfan pun juga berambisi demikian.
Sementara di sisi lain, di antara kedua kabilah tersebut terdapat pihak netral atau bawahan dekat sang raja semasa hidupnya. Mereka sadar bahwa sang raja masih memiliki seorang anak kandung laki-laki. Ditinjau dari segi silsilah, maka sudah sepatutnya anak kandung raja lebih berhak untuk meneruskan tahta. Namun, Bani Asad sama sekali tak ingin mengindahkan hal tersebut, mereka sungguh ingin mengincar leher Imru’ Al-Qais.
Saat mendegar kabar buruk tersebut, Imru’ Al-Qais sedang dilanda mabuk berat. Sehingga dalam mabuknya tersebut, ia kemudian meracaukan sebuah kalimat yang amat sangat terkenal dalam sejarah atas bentuk respon dari kabar kematian Ayahnya:
"ضيعنى أبى صغيرا، وحملنى دمه كبيرا. لا صحو اليوم، ولا سكر غدا. اليوم خمر، وغدا أمر."
“Ayahku telah membuangku ketika aku masih remaja, lalu ketika besar aku dipaksa untuk menuntut balas darahnya. Aku tidak akan sadar dari mabukku hari ini, dan mungkin saja aku tidak akan mabuk lagi esok hari. Hari ini aku ingin mabuk-mabukkan sepuasku, dan besok baru aku akan bangun untuk menyelesaikan masalah ini.”
Benarlah, ketika bangun dari tidurnya di pagi hari, ia pun kemudian langsung kembali pulang ke kampung halamannya guna menuntut balas darah ayahnya. Kemudian terjadilah pertempuran sengit antara Imru’ Al-Qais dan Bani Asad. Ketika hendak diambang kekalahan, Bani Asad pun kemudian meminta berdamai. Sedang Imru’ Al-Qais sama sekali tak ingin berdamai.
“Enggak bisa main damai-damai aja, bapakku sudah mati!” ucap Imru’ Al Qais.
Akhirnya orang-orang dari Bani Asad lari ke Persia meminta pertolongan kepada Raja Hirah (Munzir As-salis) yang saat ini merupakan wilayah Irak untuk meminta pertolongan. Raja Persia pun akhirnya mengirimkan pasukan ke medan perang. Medan perang pun mulai memanas kembali, dan kini malah pihak Imru’ Al-Qais yang akhirnya kekurangan pasukan dan hampir kalah.
Tak ingin kehabisan akal Imru’ Al-Qais pun akhirnya lari ke Romawi guna meminta pertolongan pasukan kepada raja Romawi di daerah Damaskus. Sesampainya di sana, ia memang dijamu dengan baik sebagai seorang pendatang dan anak raja. Namun, pertolongan yang ingin diminta kepada raja Romawi tidak dikabulkan. Dan bisa jadi raja Romawi tersebut, juga sudah mempunyai pertimbangan dan siasat tersendiri.
Sedang di sisi lain, Imru’ Al-Qais merasa terhina dan tersinggung akibat penolakan tersebut. Ia akhirnya putus asa dan bertolak kembali ke kampung halamannya. Sesampainya antara perbatasan Najd dan Damaskus, Imru' Al-Qais terserang penyakit kulit yang menyebar ke seluruh tubuhnya. Penyakit tersebut menyebabkan banyak luka serta infeksi, yang pada akhirnya merenggut nyawa Imru’ Al-Qais.
(Ilustrasi: hekayat.me) |
Dalam beberapa riwayat disebutkan, penyakit kulit tersebut disebabkan oleh pakaian yang merupakan hadiah dari raja Romawi sebelum ia bertolak kembali ke kampung halamannya. Orang-orang menduga bahwa pakaian tersebut telah terlebih dahulu dilumuri racun mematikan yang dapat merusak kulit. Namun, hingga saat ini, dugaan tersebut belum dapat dibuktikan kebenarannya.
Imru’ Al-Qais meninggal pada tahun 540 M. Dalam sejarah ia dijuluki dengan dua julukan, yang pertama "Mulku Ad-Dhalil" (Raja Sesat) disebabkan kekalahan dan juga kekacauannya di masa muda, dan yang kedua adalah "Zal Kuruh" (Orang yang mempunyai banyak luka) disebabkan oleh penyakit kulit yang menimpanya.
Di antara syair-syairnya tersebut, Imru’ Al-Qais termasuk salah satu dari tujuh penyair yang syairnya diabadikan dalam Mu’allaqat As-Sab’ah. Mu’allaqat As-Sab’ah merupakan qasidah panjang yang diucapkan oleh tujuh penyair hebat Jahiliy dalam berbagai kesempatan dan tema. Kemudian mua’allaqat tersebut ditulis dengan tinta emas dan diabadikan dengan cara ditempelkan di dalam dinding Kakbah sebagai bentuk penghargaan. Disebut mu’allaqat (kalung), karena keindahan syair-syair tersebut sehingga diumpamakan oleh para Arab Jahiliy dengan kalung perhiasan yang dipakaikan pada leher seorang wanita.
Di antara para penyair hebat yang juga termasuk ke dalam Mua’llaqat As-Sab’ah adalah Zuhair bin Abi Sulma, Tharafah bin Abdul Bakry, Nabighah Az-Zubyani, Antarah ibn Syadad Al-Absyi, Kharits Ibn Khillizah, dan Labid ibn Rabi’ah Al Amiri.
Bukan kaleng-kaleng, semua syair-syair tersebut bersertifikat. Ini membuktikan tingginya prestise mu’allaqat pada zaman tersebut. Namun, saat ini mu’allaqat-mu’allaqat tersebut sudah tidak ada lagi peninggalannya, karena Ketika Fathu Makkah (pembukaan kota Makkah) pada zaman Nabi Muhammad terjadi, semua mu’allaqat tersebut telah dibuang bersamaan dengan berhala-berhala yang berada di sekitaran Ka’bah.
Di antara bait mu’allaqat Imru’ Al-Qais yang paling terkenal adalah (Bait 1-9) :
قفا نبك من ذكر حبيب و منزل # بسقط اللوى بين الدخول فحومل
Marilah kita berhenti sejenak (wahai kawan-kawanku) untuk mengingat bekas rumah sang kekasih # di daerah Siqtilliwa yang terletak antara kota Dukhul dan Haumal
فتوضح فالمقراة لم يعف رسمها # لما نسجتها من جنوب و شمال
Kota Tudhah dan Miqrah belum terhapuskan jejaknya # yang mana tempat tersebut telah tertutupi pasir yang terbawa dari angin selatan dan utara
ترى بعر الأرام فى عرصاتها # وقيعانها كأنّه حبّ فلفل
Lihatlah bahwa di tempat-tempat tersebut hanya tertinggal sisa-sisa kehidupan binatang # dan bekas dari tempat-tempat tersebut seakan menjadi butiran-butiran yang sangat kecil
كأنى غداة البين يوم تحملوا # لدى سمرات الحي ناقف حنظل
Aku bagaikan biji-bijian yang pahit # dari sebatang pohon yang dimiliki sebuah kabilah yang telah tersakiti cinta maupun kepercayaanya
وقوفا بها صحبى عليّ مطيّهم # يقولون لا تهلك أسى وتجمّل
Kawan-kawanku pun berhenti dan turun dari kendaraannya # mereka berkata, "Janganlah berputus asa dan bangkitlah!"
و إنّ شفائ عبرة مهرقة # فهل عند رسم دارس من معوّل
Sesungguhnya obatku hanya dengan menangis # apakah ada manfaatnya ketika Kamu menangisi hal-hal yang sudah berlalu? (tanya mereka)
كدابك من أم الحويرث قبلها # و جارتها ام الرباب بماسل
Sudahlah! Kamu memang kurang beruntung, seperti sebelum ini Kamu juga telah mengejar Ummul Huwairis # dan Ummu Ar-ribab di Ma’sal (nama gunung) dan kamu juga tidak bisa meluluhkan keduanya
إذا قامتا تضوّع المسك منهما # نسيم الصّبا جادت بريا القرنفل
Jika mereka berdua lewat maka akan tercium dari keduanya # wewangian yang berasal dari Qaranfil (jenis bunga atau wewangian)
ففاضت دموع العين منّى صبابة # على النهر حتى بلّ دمعى محملى
Air mataku sungguh amat bercucuran saking mereka begitu merindukan # sungguh begitu banyak, hingga air mataku membasahi sarung pedangku.
Wihdah Fanniyah (Corak Pembahasan dalam Syair)
Mengapa Imru' Al-Qais menazamkan mu’allaqat ini? karena ia sedang jatuh cinta terhadap seorang wanita yang bernama Unaizah, yang merupakan sepupunya sendiri (anak pamannya). Imru' Al-Qais tidak pernah bisa langsung bertemu dengan anak pamannya tersebut. Karena seperti yang kita ceritakan tadi, bahwa ayah Imru’ Al-Qais itu merupakan seorang raja. Maka pamannya pasti juga termasuk ke dalam silsilah kerajaan. Sudah menjadi adat kerajaan, anak gadis dari keluarga kerajaan pasti memiliki penjagaan keamanan yang ketat.
Mukadimah pertamanya, merupakan mukadimah yang sudah menjadi budaya syair Arab Jahiliy, yaitu tentang zikrul atlal al-mahbubah (bait yang mengingat sang kekasih), mengenang puing-puing masa lalu yang telah hancur dan lain sebagainya. Akan tetapi secara tindakan, ia sama sekali tidak mengungkapkan bahwa ia benar-benar menangisi sang kekasih.
(Ilustrasi: blue-nil.net) |
Imru' Al-Qais juga menceritakan tempat di mana ia mengajak kawan-kawannya untuk menangis dan meratapi kekasihnya dengan sangat detail. Saking detailnya, ia juga menceritakan tentang gerakan atau tiupan angin yang ada pada momen tersebut. Imru' Al-Qais juga ingin menggambarkan bahwa rumah yang dahulu ditempati sang kekasih masih ada bekasnya, sehingga membuat ingatannya seakan kembali pada kesedihan di masa lalu.
Ketika kita membaca mu’allaqat Imru’ Al-Qais secara keseluruhan yang berjumlah 81 bait, maka secara umum kita akan menemukan dua sisi aliran pemikiran dan pola perasaan yang bertentangan.
Pertama, kita akan menemukan adanya hasrat-hasrat bejat dan naluri tidak baik. Baik hasratnya kepada wanita, maupun hasratnya dalam berburu kuda. Di dalamnya juga terdapat fenomena alam yang disampaikan, seperti bencana alam dan banjir yang melanda Yaman pada saat itu. Ternyata, bencana alam tersebut pernah benar-benar tercatat di dalam sejarah negeri Yaman.
Kedua, adanya perasaan ditinggal sang kekasih. Itu akan membuat munculnya rasa kehilangan, rasa tidak dianggap, dan sebagainya. Imru' Al-Qais menyimbolkan dalam syairnya tersebut sebagai rahilul habibah (perginya sang kekasih), yang kemudian ia ceritakan di dalam syairnya tersebut akibat-akibat yang dirasakannya paska kisah cintanya tersebut pupus.
Ditambah lagi dengan malam yang gelap, membuat kegalauannya semakin mendalam (bait 44-47). Hatinya semakin pekat, dan rasa sakit yang ia rasakan terasa semakin membatin dan tak terputus. Kedua perasaan tadi, antara nafsu dan kehilangan kemudian bercampur dalam satu waktu. Ditambah lagi mungkin ada faktor-faktor lain, yang menambah kegalauannya menjadi berlipat ganda.
Antara kedua pola perasaan tadi plus faktor-faktor tambahan lain, kemudian membuat bingung para kritikus sastra. Seandainya para kritikus sastra tidak dapat memunculkan problem solving di dalam pembahasan ini, maka mereka akan mengatakan bahwa mu’allaqat-nya Imru’ Al-Qais merupakan potongan-potongan syair yang digabung menjadi satu.
Jika kita membahas dari segi wihdah fanniyah, maka mu’allaqat tersebut semestinya harus mengandung satu alur cerita. Karena keterikatan alur tersebut sebenarnya merupakan syarat sah dari sebuah kasidah. Dan menurut para nuqqad (kritikus sastra) era modern, Jika sebuah kasidah tidak memiliki wihdah fanniyah, maka kasidah tersebut dihitung memiliki aib dan cacat.
Jika tidak mendalaminya secara serius, maka kita akan berkata bahwa syair milik Imru’ Al-Qais ini mufakkakah (terpotong-potong), dan jika telah divonis terpisah-pisah, maka kasidah tersebut biasanya tidak akan bernilai lagi.
Walaupun barusan kita berbicara tentang sisi mental dari penyair, tapi itu sifatnya merupakan suatu hal yang abstrak dan jangan sampai dicampuradukkan. Sisi mental itu bukanlah suatu hal yang bisa dijadikan hukum dasar, karena hal tersebut bukanlah suatu hal yang dapat kita jadikan penelitian di dalamnya.
Sebagian hasil penelitian mengatakan demikian, dan bisa jadi hal tersebut merupakan pengaruh dari faktor kekacauan yang terjadi pada keluarganya. Sebelum kita memvonis yang macam-macam terhadap kasidah tersebut, hendaklah kita mempertanyakan terlebih dahulu akan keafsahan dari kejadian yang dialami sang penyair di masa lalu.
Seperti mempertanyakan tentang kisah cintanya yang merupakan kenyataan atau bahkan hanya sebuah khayalan semata. Kemudian juga, apakah betul kisah yang diriwayatkan orang-orang terdahulu. Seperti terusirnya ia dari istana, ataukah benar nama sang kekasih benar-benar Unaizah, dan lain-lain. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang harusnya dimunculkan untuk menyingkap sisi nafsiyyah, sisi jiwa Imru’ Al-Qais. Namun, kita tentu punya batasan untuk tidak melampaui batas dalam mempertanyakan.
Di antara semua riwayat yang menceritakan Imru’ Al-Qais, riwayat yang lumayan lengkap merupakan riwayat Abu Al-Faraj yang sudah kita ceritakan pada biografi di atas. Sehingga jika dari segi waktu, dapat kita simpulkan bahwa mu’allaqat ini muncul paada fatrah zamaniyah (periode waktu) yang pertama, yaitu ketika Imru' Al-Qais masih muda, sampai ia mendengar kabar kematian ayahnya. Semenjak kematian ayahnya dan seterusnya dihitung sebagai fatrah zamaniyah yang kedua.
Secara gamblang dapat kita simpulkan bahwa, awal bait dari mua’llaqat-nya Imru’ Al-Qais ini sangat jelas, saling berkaitan satu sama lain. Mulai dari bait pertama, kedua, dan ketiga saling berkesinambungan. Sampai pada pada bait ke 43, ia kemudian berpindah cerita, tentang maqta’ al-lail (syair yang mengisahkan tentang malam), dan itu sama sekali seperti tidak ada hubunganya dengan 40 bait sebelumnya.
Hal inilah, yang kemudian dijadikan dalil bagi beberapa kritikus sastra yang menyatakah bahwa kasidah tersebut terpotong-potong. Jika dilihat secara lahir, pada keseluruhan bait kasidah tersebut, maka kita tidak akan menemukan kesinambungan alur cerita pada keseluruhan baitnya. Namun, beberapa kritikus sastra yang lain juga mencoba untuk mengaitkan dan menemukan titik temu antara bait-bait kasidah tersebut. Sehingga pada akhirnya mereka dapat menyimpulkan bahwa kasidah milik Imru’ Al-Qais ini tidak terpotong-potong dan sah wihdah fanniyah-nya.[]
Artikel di atas disarikan dari kitab "Nusus Adab ‘Arabiy Fil Asri Jahiliy" yang merupakan diktat kuliah Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Al-Azhar Kairo.
*Penulis adalah mahasiswi Al-Azhar Jurusan Bahasa dan Sastra Arab.
Terima kasih admin yang telah membagikan ilmunya..
BalasHapusBarakallah
Dari Turki
Pecinta şiir