Ada Cinta di Metro Anfaq

METRO Anfaq adalah transportasi kereta bawah tanah milik Pemerintah Mesir. Dibangun melalui kerja sama Mesir dengan Prancis, sarana transportasi ini mulai beroperasi tahun 1987. Terdapat tiga jalur metro yang menghubungkan wilayah-wilayah di Kairo. Namun, baru dua yang sudah sempurna digunakan, yaitu jalur Helwan-El Marg Gadidah dan jalur El Kheima-El Mounib. Adapun jalur ketiga, Imbaba-Cairo International Airport, masih dalam masa konstruksi dan baru hanya dibuka dari Stasiun Atabah ke Abbasiyah.

Setiap harinya Metro Anfaq mulai beroperasi sekitar pukul enam pagi hingga pukul satu dini hari. Di antara kebijakan Egyptian Railway Authority selaku pengendali metro, bagi kaum Hawa yang tidak ingin bercampur baur dengan pria, gerbong keempat dan lima setiap kereta dikhususkan untuk wanita. Jika pria masuk ke salah satu gerbong ini sebelum jam sembilan malam, maka akan dikenai sanksi.
Adapun setelah jam sembilan, metro tidak lagi sepadat sebelumnya, sehingga gerbong kelima sudah diperuntukkan untuk umum.
Karena jarak rumah yang jauh dari tempat kuliah, Metro Anfaq menjadi pilihan wajib bagi kami yang berdomisili di Distrik Matareyah. Selain karena biayanya ekonomis, hanya 1 pound (sekitar 1.500 rupiah) per sekali jalan, juga karena memang tidak ada angkutan umum khusus menuju kampus dari tempat tinggal kami. Berbeda dengan teman-teman yang tinggal di daerah Hay Asyir, Hay Sabi’, dan Qattamea, biasanya ada bus langsung ke arah kampus. Tentunya ada kelebihan dan kekurangan tersendiri naik metro. Kelebihannya, antara lain, penumpang metro tak terjebak macet.
Setiap berangkat kuliah, setidaknya sembilan stasiun pemberhentian harus kami lewati. Pada jam-jam sibuk, metro menjadi sangat padat. Karena kalah postur badan dari orang Mesir, tak jarang kami terimpit di antara mereka. Pedagang asongan yang kadang-kadang singgah pun tak mau kalah lalu lalang di tengah kepadatan.
Pada musim dingin seperti sekarang rasanya biasa saja, namun di musim panas yang bisa mencapai 35 derajat Celcius dapat Anda bayangkan betapa tak mengenakkan keadaan seperti ini. Kedengarannya melelahkan, namun kami selalu mendapati pengalaman menarik setiap perjalanan. Setiap hari dapat bersapa dan menyaksikan interaksi penduduk pribumi, menjadikan kami lebih mengenali watak dan budaya mereka.
Tak jarang karena berdesak-desakkan, secara tak sengaja kami menginjak kaki orang Mesir. Kalau sudah terjadi begini, maka satu kalimat ‘sakti’ harus Anda ucapkan. “Ma’alaisy...” (maaf), maka amarahnya akan mereda atau malah tidak jadi marah.
Uniknya, di dalam metro sering kami jumpai penumpang yang duduk atau berdiri memegang mushaf. Sambil menunggu tiba ke tujuan, durasinya digunakan untuk membaca Alquran. Bedanya, dulu mereka melantunkannya secara jahar, namun seiring perjalanan waktu mereka mulai membacanya cukup untuk didengar sendiri. Sebagai gantinya, sebagian orang ada yang menyetel keras-keras Quran di speaker ponselnya sehingga semua penumpang dapat menyimak khidmat tilawah Quran.
Memang kecintaan muslim Mesir terhadap Alquran sangatlah tinggi. Di lain waktu pernah kami dapati sepeda motor yang dipasangi speaker. Pemiliknya dengan santai berkendara sambil mendengarkan lantunan ayat suci Alquran dari speaker motornya. Lantunannya mengalun ke segala arah.
Akhirnya, ada cinta kepada Alquran di Metro Anfaq yang layak kita teladani. Selain di tempat-tempat yang diharamkan, membaca Quran dapat dilakukan kapan dan di mana saja. Bukankah ada hadis Nabi Muhammad saw yang berbunyi, “Bacalah Alquran, karena ia akan datang pada hari akhirat kelak sebagai pemberi syafaat kepada tuannya.” (HR. Muslim)
Mencintai Alquran bagi umat Muhammad adalah mutlak. Sebab, beliau diutus sebagai rahmat bagi seru sekalian alam dengan membawa Kitabullah dan sunnah sebagai pedoman.
Aceh sebagai provinsi syariat, tentu akan sangat relevan jika menerapkan simbol-simbol keislaman seperti ini. Suatu saat kita berharap dapat juga melihat orang-orang yang membaca Quran di minibus labi-labi atau Damri sembari menuju tempat kerja atau tempat menuntut ilmu. Semoga.

Tulisan Tgk. Muhammad Fakhrul Arrazi
Mahasiswa Fakultas Syariah Islamiah, Al-Azhar Kairo

Sumber: Harian Serambi Indonesia, Citizen Reportase, 27 Februari 2012

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top