Zaid Bin Tsabit Sang Pencatat Wahyu


Hingab-bingar alunan kalam ilahi menggema memenuhi seluruh bumi. Alunan indahnya memainkan nada-nada murni penyejuk kalbu. Untaian kata demi kata yang mengandung makna yang mendalam bagi mereka yang mau mentadabburinya.

Al-Quran, dialah dustur yang membimbing manusia menuju kebahagiaan hakiki. Al-Furqan jualah yang patut dijadikan pedoman dalam mengarungi kehidupan ini. Ia pula yang dapat menyejukkan kalbu dan penawar bagi segala macam penyakit. Al-Kitab, sebagai rujukan dari segala macam cabang ilmu.

Berbicara tentang al-Quran, kita akan terkenang pada sebuah nama yang ditulis dengan tinta emas dalam sejarah. Dialah orang yang paling berjasa dalam penulisan dan pengumpulan al-Quran. Seorang sahabat nabi, Zaid bin Tsabit. Umurnya hanya terpaut 11 tahun lebih muda dari Ali bin Abi Thalib.

Sejak kecil, Zaid sudah memiliki loyalitas yang tinggi kepada Rasul dan agama Allah. Hal ini terlihat pada saat tersiar kabar bahwa Rasulullah Saw. akan hijrah ke Madinah. Zaid lah satu-satunya pemuda dari kaum anshar yang sangat cemas menanti kedatangan junjungan tercinta. Zaid sering pergi ke pinggiran, menanti beliau dengan penuh pengharapan.

Kedatangan Rasulullah bak purnama yang menerangi kelamnya malam. Hadirnya laksana setetes air yang membasahi tenggorokan musafir yang kehabisan bekal di tengah padang pasir.

Hijrah Nabi beserta rombongan disambut gembira oleh penduduk Madinah. Banyak diantara kabilah- kabilah menawarkan rumah untuk ditempati Nabi. Akan tetapi, kabilah al-Najjar menawarkan seorang sahabat kecil yang cerdik dan pintar untuk selalu mendampingi perjuangan kekasih Allah, dialah Zaid.

Zaid memang dapat diandalkan. Selain memiliki ingatan yang kuat, juga mahir dalam menulis dan membaca al-Quran. Sehinggga tanpa ragu, Rasulullah mempercayakannnya menjadi sekrataris pribadinya.

Bila ada wahyu turun, Rasulullah selalu memanggil Zaid dan memerintakannnya untuk menulis ayat tersebut sesuai bimbingan dan arahan dari beliau. Sehingga dia menjadi rujuukan mengenai ihwal al-Quran setelah wafatnya Rasulullah.

Khalifah Umar pun mengakui kehebatan Zaid. Pada sebuah kesempatan, Umar berkata, “Hai manusia, barangsiapa yang ingin bertanya tentang al-Quran, datanglah kepada Zaid bin Tsabit. Siapa yang ingin bertanya tentang fikih, temuilah Mu’adz bin Jabal dan siapa yang ingin bertanya soal harta kekayaan datanglah kepadaku”.

Selain menuliskan wahyu, Zaid juga dipercayakan untuk mempelajari bahasa Ibrani dan Suriani. Diriwayatkan olah Zaid bin Tsabit RA.  Bahwa Rasulullah Saw. bekata kepadanya bahwa, “Aku berkirim surat kepada orang dan aku khawatir mereka akan menambah atau mengurangi surat-suratku itu, maka pelajarilah bahasa Suriani”. Kemudian aku mempelajarinya selama 17 hari dan bahasa ibrani selama 15 hari.

Pada masa khalifah Abu Bakar, Zaid mendapat kepercayaan untuk mengumpulkan al-Quran. Dia tidak pernah menduga mendapatkan amanah sebesar itu. Ia pun perkata: “Demi Allah, mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah? Sungguh ini berat bagiku. Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka itu tidaklah seberat tugas yang ku hadapi ini.“

Tapi setelah bermusyawarah, Abu Bakar dan Umar dapat meyakinkan Zaid dan sahabat-sahabat yang lain tentang urgensi pengkodifikasian (pengumpulan) al-Qur’an.

Alasan yang melatarbelakangi pengumpulan al-Qur’an yaitu mengingat banyak dari para hufadz yang syahid dalam pertempuran “ Harb Riddah” (kaum murtad) yang dipimpin oleh musailamah al-kadzzab.

Maka mulailah Zaid memimpin tugas ini. Zaid membuat dua butir out-line persyaratan pengumpulan ayat-ayat dan kemudian khalifah menambahkan satu persyaratan lagi. Ketiga persyaratan tersebut adalah :
  1. Ayat / surat tersebut harus dihafal minimal oleh dua orang.
  2. Harus ada dalam bentuk tertulis (dibatu, tulang , kulit, dll.)
  3. Untuk yang tertulis, minimal harus ada dua orang saksi yang melihat saat dituliskannya.
Akhirnya dengan taufik dan inayahAllah, Zaid berhasil mengumpulan al-Quran. Dan para sahabat menerima kumpulan tersebut dengan kata sepakat.

Zaid bin Tsabit al-Dohhaq al-Najjariy al-Anshari, begitu nama lengkapnya. Selain sebagai tempat rujukan mengenai al-Qur’an dia juga menajadi sumber solusi suatu persolan. Misalnya, ketika umat islam di Madinah berbeda pendapat tentang siapa khalifah yang akan menggantikan Rasulullah, kaum Muhajirin berkata, “pihak kami lebih berhak menjadi khalifah.” Sementara kaum ansar berkata, “ pihak kami dan kalian sama-sama berhak. Kalau Rasulullah mengangkat seorang dari kalian untuk suatu urusan, maka beliau mengangkat pula seorang dari pihak kami untuk menyertainya.“

Perbedaan pendapat hanpir saja memicu konflik fisik. Padahal jenazah Rasulullah masih terbaring.  Ditengah kemelut ini, Zaid muncul dan berkata kepada kaumnya, “wahai kaum anshar, sesungguhnya Rasulullah Saw. adalah seorang Muhajirin. Karena itu, sudah sepantasnyalah penggantinya orang Muhajirin pula. Kita adalah pembantu-pembantu (anshar) Rasulullah. Maka kita pula yang ikut membantunya memperkuat kedudukan menegakkan agama”. Setelah mengatakan hal itu, Zain bin Tsabit mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar, seraya berkata, “inilah khalifah kalian, bai’atlah dengannya!”

Kepribadian yang luhur dan kedalaman ilmu yang ia miliki, menempatkan Zaid sebagai sosok yang sengat disegani dan dihormati. Dalam riwayat di katakan: “pada suatu saat Zaid hendak pergi berkuda, lantas Ibnu Abbas memegangi tali kuda Zaid, lantas Zaid berkata, “tak usah wahai putra paman rasul!“ Ibnu Abbas menjawab, “tidak, memang begini seharusnya kami lakukan terhadap ulama kami”.

Sosok Zaid patut kita teladani. Kecedasan yang dikolaborasikan dengan akhlak yang luhur, membuat Ia selalu dikenang sepanjang masa. Kaberanian dan kepribadiannya menjadikannya sebagai syuhada.

Tidaklah kita ingin mengikuti jejak beliau? Masihkan kita malas untuk membaca, mentadabburi dan menjaga kemurnian al-Qur’an serta mengamalkannya? Pernahkah kita bayangkan bagaimana usaha beliau untuk menjaga kemurnian al-Quran? Dimanakah usaha kita sebagai seorang muslim? Mari kita merenung dan menycikan diri, kemudian berlari menuju dustur Ilahi yang mulia ini.

Tulisan Tgk. Yusri Noval Syukri, Lc.
Ketua KMA Periode 2008-2009
Telah dimuat pada buletin El-Asyi edisi 86. Disalin ulang oleh Tgk. Muhajir Sanusi

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top