Politik Pemersatu Umat


(Dilaporkan oleh Husni N.)
Carut-marut perpolitikan nusantara, serta amburadur kepemimpinan di hampir seluruh negara Islam dunia, menimbulkan pertanyaan: Ada apa dengan sistem politik di negara-negara Islam?

Barangkali ada yang salah atau ada timpang yang perlu diperbaiki. Tentu ini bukan masalah kecil. Perlu akal tambahan untuk menampung beratnya beban dari kondisi ini. Butuh seribu rujukan dan ribuan satuan jam merapikannya untuk menyelesaikan masalah dan menarik sebuah kesimpulan akhir.

Tgk. Fakhrurrazi Usman, mahasiswa tingkat III Universitas Al Azhar, Kairo, mencoba memahat kata kunci tersebut dalam sebuah makalah yang berjudul “Politik Pemersatu Umat”.

Jangan tertipu dengan kata-kata politik, karena yang beliau maksud bukanlah politIk yang sedang membuah bibir di kalangan media nasional saat ini. Politik yang beliau maksud di sini adalah “taktik” atau “strategi” untuk menyatukan umat yang sedang dirundu perpecahan. Menurut penulis, politik atau perpolitikan itulah sutradara dari perpecahan yang ada.

Dalam pendahuluan makalah beliau menyampaikan, bahwa umat Islam setelah mendiang Turki Usmani runtuh, bagaikan seonggok daging segar di depan gerombolan harimau tersesat yang sedang kelaparan, santapan segar tanpa perlu diburu. Umat Islam lemah, menjadi boneka Barbie kecil , bahan permainan bocah-bocah politik Barat.

Sadar akan keterpurukan, umat Islam pun bangkit. Berbagai gerakan yang mengatasnamakan Islam unjuk kepala di mana-mana, bagai jamur di musim hujan.

Namun, meskipun tujuan sama, ideologi, cara pandang dan bentuk gerakan berbeda-beda. Nah, perbedaan ini betul- betul menjadikan muslim dunia ketimpa tangga yang kedua kalinya. Umat Islam tidak hanya lemah, namun juga terpecah belah kedalam organisasi-organisasi tertentu. Bukan malah meringankan, tapi menambah beban umat Islam secara keseluruhan.

Taktik untuk menyatukan umat inilah yang ingin disampaikan pemateri di depan puluhan aktifis forum kajian Zawiyah Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir, Selasa, 19 Februari 2013.

Hemat pemateri, ada lima hal yang perlu didahulukan oleh kaum muslim yang ingin mengembalikan kejayaan umat Islam seperti dahulu kala. Kelima aspek tersebut adalah Imaniah, ‘Ubudiah,  Mu’amalah, Mu’asyarah dan Akhlak.

Kelima hal ini merupakan mukaddimah untuk mendapatkan dua natijah (hasil) yang diincar umat Islam saat ini, yaitu Imam ‘Adil dan pemberlakuan Syariah Islam.

Kenapa harus mendahulukan lima dari dua? Karena, inilah yang telah dilakukan Rasulullah Saw. dan para sahabat awal-awal Islam tempo dahulu. Ketika Rasulullah sampai di Quba dalam rangka hijrahnya ke Madinah, yang pertama kali Rasulullah lakukan adalah membangun masjid. Masjid di bangun bukan hanya untuk ibadah, tetapi merupakan basecame-nya Rasulullah dan para Sahabat r.a. untuk berdakwah, mengatur urusan umat dan strategi perang.

Penulis menyatakan “Jangan pernah bermimpi suatu bangunan yang sudah rapuh akan kembali kuat, kokoh dan indah hanya dengan merenovasi atapnya saja. Sedangkan pondasinya tidak diperbaiki. Justru itu membawa kepada kehancuran. Mari kita perbaiki dulu pondasi-pondasi yang sudah lama lapuk. Setelah pondasi membaik dan kuat, maka merek apapun atap yang akan kita letak, insya Allah pasti akan membawa keindahan”.

Menurut Tgk Fahrur, sang pemateri, realita pun akan mengatakan bahwa kegagalan partai-partai politik Islam saat ini (apalagi yang bukan Islam) adalah akibat belum siapnya tokoh-tokoh politik itu serta umat untuk menguatkan pondasi itu. Maka untuk saat ini, politik bukanlah hal yang paling urgen, namun yang sangat penting adalah bagaimana membangkitkan pondasi iman umat.

Pendapat penulis dibantah keras oleh beberapa peserta  diskusi Zawiyah yang hadir. Soalnya, partai-partai Islam juga telah banyak berperan dalam menislamisasikan hukum-hukum kenegaraan, baik itu di Indonesia maupun negera-negera lain yang manyoritas penduduknya muslim. Bukankah ini sesuatu yang besar?

Salah satunya Tgk. Maulidin, Ketua Departemen Litbang KMA 2013, yang menyatakan tidak setuju dengan apa yang disampaikan pemateri. Menurutnya, dengan power (partai politik) pengaruh kebaikan itu akan menyebar dengan lebih luas.

Tgk. Muhibbusshbari bahkan bertolak belakang dengan penulis. Beliau mengatakan bahwa untuk saat ini berpolitik menjadi pilihan satu-satunya wasilah untuk melawan kekuatan yang bisa mengancam umat dalam beragama dan bernegara.

Diskusi pun semakin alot, masing-masing sepakat dengan pendapat masing-masing. Hujan dalilpun jatuh bertimpangan.

Sampai Tgk. Hasan Bashri menengarai diskusi. Inti permasalahnya ada pada bagaimana kita menerima perbedaan. Masing-masing dari tokoh politik Islam dan pendakwah mempunyai metodenya tersendiri dan cara berkhitmah dalam mengayomi umat. Berpolitik lewat partai politik atau parlemen penting, karena itu corong efektif merubah suatu masyarakat secara struktural. Berdakwah dari rumah ke rumah juga satu langkah yang lebih dekat dengan objek. Ini lebih efektif mengubah umat secara kultural.

Setelah masing-masing dari peserta menemui titik kesepakatan (antara politik dan dakwah itu harus sejalan) berakhirlah diskusi dengan pengambilan kesimpulan oleh penulis berikut dengan perbaikan dari Musyrif Zawiyah.

Kesimpulannya: Dakwah dan politik itu sama pentingnya. Namun kalau berbicara siapa yang lebih baik , lebih baik kita kembali kepada kaidah.
من كان أكثر فعلا كان أكثر أجرا

Siapa yang lebih banyak berbuat dialah yang lebih banyak menuaikan hasil. Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top