Buah dari keikhlasan


Barangsiapa merelakan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik.
Dikisahkan dari Abu Bakar bin Abdul Baqi bin Muhammad al-Bazari al-Ansari (535 H) di Baghdad:

Aku tinggal tidak jauh dari kota Makkah. Suatu hari di tengah musim kemarau, aku merasakan lapar yang luar biasa, semua sisa perbekalan telah habis. Aku keluar mencari sesuatu yang dapat mengganjal rasa lapar ini. Di tengah perjalanan, aku menemukan sekantung penuh rumput yang terikat. Aku mengambilnya untuk kubawa pulang ke rumah.

Setiba di rumah aku membukanya, barangkali ada sesuatu yang dapat ku makan di dalamnya. Alangkah terkejutnya diriku saat menemukan kalung permata yang belum pernah ku lihat di dunia ini.

Aku keluar, barangkali ada seseorang yang mencari kalung tersebut. Aku melihatorang tua dengan kain bawaannya dan uang 500 dinar emas. Dia memanggilku dan berkata, "bagi siapa yang mengembalikan kepada kami sebuah kantung yang berisikan permata di dalamnya akan kami berikan kain dan uang ini."

Aku berkata, "saya membutuhkannya, saya sedang kelaparan!", dia memberikan kepadaku uang dan aku mengambilnya untuk membeli beberapa makanan.

Aku memintanya untuk datang bersamaku ke rumah, dia menyanggupinya. Sesampainya di rumahku, orang tua itu menceritakan perihal kantungnya yang hilang,dari bentuknya, isi, tali ikatannya juga mengenai permata tersebut. Kemudian aku mengambil kantung itu dan mengembalikannya. Orang tua itu memberikan kepadaku 500 dinar emas tapi aku menolaknya. Aku berkata," bukankah aku harus mengembalikannya kepadamu dan tidak mengambil apapun dari kantung tersebut".

"Kamu berhak mengambilnya dan memintaku apa saja!"

Namun aku menolaknya dan dia pun pergi tak pernah kembali.

Suatu ketika hal buruk menimpaku, aku keluar dari Makkah untuk berlayar di lautan. Namun kapal yang aku tumpangi pecah lalu tenggelam beserta penumpang lainnya, harta mereka jugabinasa di laut. Aku selamat di atas rongsokan kayu kapal yang hanyut di lautan, tidak tahu kemana aku harus berlabuh.

Aku terdampar di sebuah daratan yang tak ku kenali, di sana berdiri sebuah mesjid yang kokoh. Aku duduk di mesjid itu dan membaca beberapa ayat Al-Quran. Tidak ada seorang penghuni pun di kampung itu, kecuali laki-laki tua yang telah lanjut usianya, ia datang kepadaku dan berkata, " ajarkan aku tentang Al-Quran!", ia akan memberikan sebagian hartanya sebagai upah.

Di mesjid, aku melihat beberapa lembaran mushaf. Aku mengambil mushaf itu dan membaca setiap lembarannya. Orang-orang meminta kepadaku, "perbaikilah lembaran mushaf itu dan tulislah kembali!", aku menyanggupinya.

Kemudian mereka memintaku untuk mengajarkan Al-Quran. Lalu mereka berduyun-duyun datang untuk belajar padaku, dengan membawa anak-anak mereka, baik yang masih kecil ataupun dewasa. Mereka memberikanku harta sebagai upah.

Orang tua tadi berkata padaku, "kami memiliki seorang anak perempuan yatim yang tidak ada sanak-saudara, ia sebatangkara di dunia ini, maukah engkau menikahi dan menjaganya?"

Ketika ta’aruf, aku terkejut dan terpana melihatnya. Aku mendapati kalung yang pernah ku temukan dulu melingkari lehernya, pandanganku terus terpaku pada kalung tersebut.

Orang tua itu berkata,"wahai guru kami, engkau telah menyakiti hati perempuan yatim ini dengan pandanganmu, perihal apa yang membuat guru seperti itu?"

Aku menceritakan perihal kalung yang dikenakanan gadis itu. Mereka membenarkannya serta takjub lalu bertakbir mengagungkan nama Allah Swt. Aku bertanya, "ada apa dengan kalian?".

Seorang di antara mereka berkata, "orang tua yang meminta kembali kalung itu darimu adalah ayah kandung dari perempuan yatim ini.Dia berkata, "belum pernah aku menemukan seorang muslim yang bertakwa kepada Allah Swt. di dunia ini melainkan pemuda yang mengembalikan kalung permata ini kepadaku".  Dia berdoa, " Ya Allah dekatkanlah diriku dan dirinya, sehingga kelak akan kunikahkan dia dengan anak perempuanku".

Sekarang semua itu telah menjadi nyata. Laki-laki itu berkata, "aku hidup bersama istriku beberapa waktu. Allah menganugerahkan kami dua orang anak. Setelah istriku meninggal, aku dan anakku mewarisi kalung itu. Namun saat kedua anakku meninggal, kalung itu menjadi hartaku. Aku menjualnya senilai 1000 dirham. Itulah hartaku hingga akhir hayat.

Diambil dan diterjemahkan dari buku Sa'ah wa Sa'ah Nawadir wa 'Ajaib, Penyusun Mahmud al-Misr Abu
'Ammar, penerbit Maktabah al-Safaa:2007.

*Penerjemah (ZS)

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top