MENANTU UNTUK BUNDA



Aku melirik arlojiku, jam 18.15. sebentar lagi magrib, aku harus pulang untuk berganti pakaian dan bersiap-siap ke masjid. Sebenarnya aku masih betah berlama-lama duduk di pinggir sawah ini. Menatap indahnya langit sore sambil menikmati semilir angin menyapu wajah  ditemani oleh jagung bakar pedas manis favoritku. Ini adalah tempat yang selalu aku tuju jika aku sedang ingin sendiri. Sawah yang terhampar luas, irigasi, rangkang-rangkang tua, orang-orangan sawah, semuanya berkolaborasi membuat pemandangan menjadi tenang dan damai.

Aku pun tak ingin meninggalkan Bunda sendirian terlalu lama di rumah. Sebagai anak tunggal, hanya aku satu-satunya yang bisa menemani Bunda di rumah setelah Ayah meninggal setahun lalu. Ayah berpesan kalau aku harus menjaga Bunda baik-baik. Aku merogoh kunci motor di kantong celanaku, lalu menyalakan motorku dan pulang.

Saat makan malam di rumah sepulangku dari masjid, Bunda kembali bertanya pertanyaan yang selalu ku coba hindari selama ini. Pertanyaan yang hampir tiap hari ditanyakannya.

“Ris, jadi kapan kamu nikah, sudah dapat calon belum?”

“Belum tau Bun.” Jawabku.

“Ris, Bunda iri lho sama ibu-ibu di pengajian komplek, mereka itu kayaknya seru banget cerita masalah menantu perempuan mereka.”

“Waduh Bun, kalo cuma mau diomongin ke ibu-ibu pengajian, kasihan istri Haris nanti Bun.” Jawabku sambil tertawa mencairkan suasana.

“Bukan begitu Ris, kamu kan tau Bunda tak punya anak perempuan. Jadi paling tidak menantu bisa menggantikan anak perempuan buat Bunda. Kamu cepat-cepat menikah ya Ris. Kamu kan tampan Ris, sudah punya pekerjaan tetap juga. Atau mau Bunda yang carikan?”

“Gak usah Bunda, insyaallah Haris usahakan memenuhi keinginan Bunda secepatnya.” Jawabku dengan senyum yang sedikit ku paksakan. Wajah bunda terlihat sedikit muram mendengar jawabanku.

“Ya sudah, tapi jangan lama-lama ya. Bunda juga sudah kepingin nimang cucu Ris. Kalau bukan dari kamu, Bunda berharap dari siapa lagi. Bunda juga sudah tua Ris,mungkin tak lama lagi akan menyusul Ayahmu. Kamu harus segera cari istri, biar ada yang menemanimu kalau Bunda dipanggil Allah.”

“Lho Bunda, jangan ngomong aneh-aneh gitu ah. Iya, nanti Haris carikan menantu yang baik dan cantik buat Bunda deh. Bunda sekarang senyum ya.” Ujarku berusaha menenangkan hatinya. Bunda tersenyum sambil membelai kepalaku lembut, lalu bergegas membereskan meja makan.

***
Malam semakin merayap, menyelimuti bumi dengan hitamnya. Jam pun sudah menunjukkan angka 12.45. Aku belum bisa memejamkan mata. Padahal sudah satu jam lebih aku merebahkan tubuhku setelah lelah memeriksa tugas murid-muridku. Akhirnya ku buka jendela kamar. Semilir angin yang membawa aroma asin membelai wajahku. Terdengar lembut debur ombak dari pantai yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah.

Ku tatap langit, sedikit mendung, tak ada bintang. Hanya awan hitam bergelayutan. Aku  terpekur, teringat kembali percakapanku dengan Bunda saat makan malam tadi. Menantu, Bunda begitu menginginkannya. Tapi aku belum bisa memenuhi keinginannya yang satu ini. Memoriku melayang, beberapa waktu yang lalu sahabat karibku Amin juga menanyakan hal yang sama.

“Kau kenapa belum menikah Ris? Kudengar Bundamu sudah sangat menginginkan menantu dan cucu.” Tanyanya.

“Mana ada yang mau denganku Min” Timpalku sambil tersenyum dan disambut tawa khasnya.

“Kau ini ada-ada saja. Aku mengenalmu sudah lama Ris. Dari dulu banyak wanita yang suka padamu. Kau saja yang tak peduli. Dan aku tau persis, kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Saat ini sudah ada yang mengisi hatimu kan?” Tanyanya seolah Ia bisa membaca pikiranku. Aku hanya tersenyum singkat. Ku lihat Amin menarik nafas panjang.

“Sebaiknya segera kau lamar dan jadikan menantu Bundamu.” Ujarnya sambil menepuk pundakku dan berlalu.

Kata-kata Amin mengakhiri lamunanku. Tak terasa  tiga puluh menit telah berlalu setelah aku membuka jendela kamar tadi.  Besok jadwal mengajarku penuh. Aku menutup jendela kamar lalu kembali membaringkan badan dan tidur.
***
Aku memacu motor menuju pesantren tempatku mengajar. Sepuluh menit lagi bel akan berbunyi, dan aku tidak ingin terlambat. Sesampai di sekolah aku langsung memarkirkan motor dan menuju ke ruang guru untuk mengisi absensi. Setelah bel berbunyi, aku segera melangkah ke kelas XII IPA 1 untuk mengajar maddah Fiqh.

Jantungku berdegup sedikit lebih kencang dari biasanya. Aku berusaha bersikap tenang dan santai senatural mungkin. Padahal sudah hampir tiga bulan aku mengajar di kelas ini. Aku bukanlah laki-laki pemalu yang tak berani berdiri dan berbicara di depan banyak orang. Aku sudah terbiasa berbicara di muka umum sejak duduk di bangku sekolah dulu. Bukan juga karena ini kelas khusus santriwati. Tapi yang berbeda dengan kelas ini, Syarifah Rahmah. Ya, dialah yang membuat kelas ini berbeda dengan kelas-kelas lainnya.

Di awal-awal pertemuan dia tak tampak begitu spesial dibandingkan santriwati-santriwati lain. Dia sedikit pendiam dan tak begitu suka bertanya seperti beberapa temannya. Hanya sesekali ia bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan. Tapi lama-kelamaan aku bisa menangkap jelas bahwa dia adalah anak yang cerdas. Ditambah lagi jantungku sering berdegup tak teratur jika berhadapan dengannya.

Lama-kelamaan aku menyadari, sepertinya aku mulai suka dengan anak ini. Bukan hanya karna kecerdasannya, atau karna parasnya yang elok dengan hidung mancung dan bulu mata lentik khas Arab, atau sikapnya yang baik dan menyenangkan. Bukan kekaguman seorang guru terhadap muridnya. Lebih dari itu, rasa suka dari seorang laki-laki terhadap perempuan.

Timbul suatu kekhawatiran di hatiku. Bukan masalah perbedaan usia. Karena usia kami hanya terpaut enam tahun, bukan jarak yang terlalu jauh. Aku juga sudah memiliki penghasilan tetap walaupun tak seberapa, wajahku juga tak terlalu menyedihkan. Ada hal lain yang mengganjal. Melihatnya aku terbayang wajah Bunda, bisakah aku menjadikan Rahma menantu untuk Bunda?

Aku mengucapkan salam dan mulai mengajar seperti biasa. Aku berusaha mentransfer ilmuku dengan penyampaian yang menarik agar murid-muridku bisa menangkapnya dengan baik, serta sesekali kuselingi dengan humor agar mereka tak merasa jenuh. Di akhir pertemuan aku biasa melemparkan mereka beberapa pertanyaan, untuk menguji sejauh mana pemahaman mereka terhadap maddah yang ku sampaikan.

Di akhir pertemuan aku bertanya kepada murid-muridku, pertanyaan yang beberapa waktu ini bergelut di pikiranku.

“Selama ini ustaz mendengar, bahwa masih ada adat di Aceh di mana wanita dari keturunan-keturunan tertentu seperti Cut atau Syarifah hanya boleh menikah dengan Teuku atau Said. Apa benar begitu?”
Kelas mulai riuh. Ada yang membenarkannya, ada juga yang menjawab bahwa itu tidak benar. Aku menenangkan mereka agar keriuhan kelas kami tak terdengar sampai ke kelas lain.

“Baiklah, coba semuanya tenang dulu. Berhubung di kelas kita tidak ada Cut, kita tanyakan kepada yang Syarifah saja. Bagaimana Rahma?” tanyaku memancingnya.

“Hmm.. Tergantung keluarga masing-masing Ustaz. Ada yang masih mensyaratkan pernikahan sesama Said dan Syarifah, ada juga yang tidak.” Jawabnya singkat.

“Kalau keluarga Rahma sendiri bagaimana?” tanyaku lagi.

“Masih Ustaz.” Jawabnya tersipu malu dan disambut riuh teman-temannya yang menggodanya.
Saat itu juga aku merasa ada sesuatu yang hancur di rongga dadaku, hatiku. Ya, aku merasakannya remuk, aku patah hati. Aku harus mundur sebelum benar-benar bertempur.

Di perjalanan pulang aku terus memikirkan kata-kata Rahma tadi. Itulah yang selama ini ku khawatirkan. Pertanyaan itu bukan timbul begitu saja di benakku. Tapi sudah lama aku menunggu saat yang tepat untuk menanyakannya, agar tak terdengar janggal di telinga murid-muridku. Aku bukan keturunan Said. Kriteria wajib dari keluarganya, aku tak punya. Untuk berpindah ke lain hati aku pun belum sanggup.

Aku tak langsung pulang ke rumah. Kuhentikan motorku sejenak di pinggir sawah, tempat favoritku menyendiri, berfikir, merenung dan menenangkan diri dari problem-problem yang ku hadapi, mendengarkan dialog-dialog tanpa suara yang berkecamuk di hatiku. Setelah ku rasa sedikit tenang, aku pulang.

Sesampaiku di rumah, aku mematikan motorku dan melangkah masuk ke rumah sambil mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Aku mencari Bunda. Ku lirik pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Bunda sedang tidur siang. Pasti kelelahan setelah mengajar di kampus seharian. Aku berdiri di pintu kamarnya. Ku tatap wajahnya yang masih tetap cantik walaupun kerutan telah muncul satu-persatu. Percakapan terakhirku dengannya tentang menantu dan kata-kata Rahma tadi silih berganti hadir di benakku.

“Maaf Bunda, Haris belum bisa memberikan Bunda menantu secepatnya. Luka di hati Haris masih terlalu basah. Maaf Bunda.” Lirihku.

**************
Yasmin Thahira Al-Ghazi

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top