BUNGA-BUNGA CINTA


Pernikahan, hari yang paling bersejarah dalam hidup. Saat itulah aku akan menjadi makhluk paling bahagia. Tiga hari lagi hari yang bersejarah itu akan hadir. Hari pernikahanku. Hari itu aku akan didandani secantik mungkin. Aku akan berubah laksana seorang permaisuri yang akan bertemu dengan sang pangeran. Owh, seriuskah! Sebentar lagi aku akan menikah?! Sedang bermimpikah aku?!

Rumahku sudah mulai dihias. Tampak tenda-tenda untuk menerima tamu sudah ditegakkan. Tempat pelaminan yang dikombinasi dengan warna merah, kuning dan hijau sudah ditata apik di ruang tamu. Kamar pengantin pun sudah tampak didandani dengan semarak. Semua anggota keluargaku dan sanak saudara kelihatan sangat sibuk, tak terkecuali aku pun tak kalah sibuk sendiri, mulai dari mempersiapkan segala surat-menyurat untuk KUA, undangan, sampai mempersiapkan pakaian pengantinku.

Hari ini juga tangan dan kakiku akan diwarnai dengan inai, yang akan menambah kecantikanku sebagai pengantin. Hatiku bertambah tak karuan saja, jantungku semakin berdegup kencang. Nafasku mulai tersenggal-senggal. Nervous. Tiba-tiba rasa ketidaksiapan menghampiri pikiranku. Rasanya aku belum siap menikah. Apa karena aku masih kuliah? Aku belum ingin mengakhiri masa remajaku secepat ini. Aku masih ingin bersama keluargaku, teman-temanku. Belum ada yang bisa kupersembahkan untuk keluargaku. Aku belum membahagiakan mereka. Aku masih ingin bercanda-tawa dengan teman-temanku. Haruskah kubatalin hari pernikahanku?! Owh, itu sungguh tidak mungkin. Apa kata Mama-Papaku. Pasti akan membuat mereka sedih dan malu. Aku hanya bisa mendesah. Bukankah dia pilihanku?! Bukankah kami sudah saling mengenal?! Apa yang perlu kutakutkan?!

“InsyaAllah kakak siap”. Ujarku saat orangtuaku menanyakan kesiapanku tiga bulan yang lalu.
“Kakak udah siap lahir bathin, Nak? Udah mantap kalau dia pilihan kakak?”
“InsyaAllah, Ma. Mohon doa juga dari Mama-Papa”.

“Alhamdulillah kalau begitu. Kami selalu berdoa moga hal ini baik bagi kita juga baik di mata Allah”.
Segera kutepis pikiran tak jelas itu. Aku menatap orangtuaku, mereka nampak bahagia.Ya, bahagia karena anak gadisnya akan menikah.

“Bang Faiz udah baik, ramah, penyayang, hafiz lagi. Apalagi yang kurang?! Beruntung kamu mendapatkannya”. Bisik sepotong hatiku. Aku terkejut mendengarnya. Lagi-lagi hanya helaan nafas yang bisa kulakukan.

Aku mematut diri di cermin kamarku. Kutatap lamat-lamat sosok yang ada di cermin itu. Hemm, gak ada yang terlalu istimewa. Sederhana. Tak ada yang terlalu bisa kubanggakan. Semua pas-pasan. Ya, betul apa yang dikatakannya.

*****
Hari minggu tiba, hari akadku dengan Bang Faiz. Aku pun mulai didandani. Kata orang, aku kelihatan lebih cantik dari sebelumnya. Ditambah dengan pakaian pengantin yang kukenakan. Bibirku terus saja tersenyum, menampakkan gigiku yang tidak putih ini. Kuharap tak ada yang menyadarinya.
Tiba-tiba rasa gelisah kembali menyapa hatiku. Detik demi detik kurasakan dengan ketidaktenangan. Padahal akad nikah baru akan dilangsungkan setengah jam lagi. Aku bingung mau mengerjakan apa. Hanya bolak-balik dari kamar pengantin ke ruang tamu. Tampak tamu sudah banyak berdatangan. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh, namun rombongan pengantin pria belum juga tiba. Seharusnya acara akan dimulai sekarang. Sudah kucoba menelpon berkali-kali tapi nomornya masih belum bisa dihubungi. Kutelpon keluarganya juga tidak ada jawaban. Aku pun bertambah lebih gelisah lagi. Keringatku mulai beranak sungai. Entah berapa banyak tisu yang sudah kuhabiskan, aku tak peduli. Semoga semuanya baik-baik saja, harapku.

“Rombongan pengantin pria tiba…” Terdengar teriakan aba-aba dari luar.
Alhamdulillah, segala puji bagiMu. Semoga akad nikah kami berlangsung khidmat.
*****

Hari pernikahan telah berakhir tiga hari. Sekarang aku resmi menjadi seorang istri. Namun tak banyak yang berubah dariku. Aku tetaplah si cerewet yang cuek dan manja. Selama ini Bang Faiz mengira hubungan kami baik-baik saja. Padahal aku selalu cuek padanya, tapi tampaknya dia berpikir aku hanya malu-malu saja. Entah apa salahnya padaku sehingga aku tega bersikap seperti itu padanya.
Tepatnya hari ini kami akan berpisah. Bang Faiz akan kembali ke rumahnya untuk mempersiapkan acara di rumahnya minggu depan. Satu sisi hatiku bersorak gembira karena aku akan bebas kembali biarpun hanya berpisah sejenak darinya tapi cukup membuatku senang.

“Nggak sedih nie ditinggal sendiri?”
“Nggak lah, kan banyak orang di rumah”. Jawabku santai. Bang Faiz hanya tersenyum.
“Berarti senang dong pisah. Kanda sedih lho pisah dengan Dinda, baru tiga hari juga kita bersama.”
“Kan minggu depan kita pasti bersama lagi Kanda!”

Bang Faiz menatapku dan tersenyum penuh arti. Aku hanya tersenyum kecut padanya, namun  lebih cocoknya mendekati seringaian. Kembali aku mendesah. Tak ada yang kurang padanya tapi mengapa aku seperti ini?!  Apa karena aku belum bisa menerima kebiasaan waktu tidurnya?! Kebiasaan Bang Faiz yang selalu tidur  lebih awal dariku, tepatnya setelah shalat isya mata beliau pasti seperti lampu kehabisan watt. Aku merasa dicuekin dan ditinggal seorang diri. Hal yang sangat sepele bukan?! Tapi apa peduliku, aku hanya ingin perhatian lebih darinya. Walaupun begitu Bang Faiz tetaplah seorang yang lembut.

Hari ini ­-seminggu setelah acara di rumah mertuaku, Bang Faiz akan terbang ke Negeri Seribu Menara. Kami kuliah di universitas yang sama, al-Azhar. Liburan musim panas kali ini kami sengaja pulang ke Indonesia untuk menikah. Kini waktu liburan pun telah habis. Bang Faiz berangkat lebih dulu dariku, karena pesawat yang akan membawa terbang kami kembali ke Negeri Anbiya itu berbeda.

Aku sibuk mengemasi barang-barang miliknya. Bang Faiz pun mulai bersiap-siap. Beliau memakai baju pilihanku. Saat-saat beliau mematung di depan cermin aku menikmatinya begitu saja. Bang Faiz kelihatan rapi. Tiba-tiba Bang Faiz nyengir melihatku dan mendadak aku menyadari bahwa sebenarnya suamiku itu ganteng. Bang Faiz punya alis yang tebal sama seperti diriku, mata yang coklat juga seperti mataku dengan bulu mata yang sama lentiknya. Semua itu sesuai dengan kulitnya yang lebih putih dariku. Ditambah lagi hidungnya yang mancung memberi nilai plus di mataku. Tapi kenapa aku baru menyadarinya?! Huuuh, bodohnya dirimu! Seru suara kecil di sudut hatiku. Aku pun hanya bisa menertawakan kebodohanku itu.

“Pandangnya jangan lama-lama, nanti bisa jatuh cinta Lho!” Godanya padaku. Bang Faiz tersenyum sangat manis padaku.

“Huuu… geer amat jadi cowok”. Balasku sambil mencibirnya. Aku pun segera menyibukkan diri dengan barang-barangnya. Kurasakan pipiku bersemu merah, sangat merekah. Bibirku tersenyum manis, sangat tulus. Hufh, ada apa ini?! Cepat kutepis semua itu. Aku tak ingin Bang Faiz mengetahuinya. Sungguh, aku sangat malu saat ini.

Aku kembali merdeka, status single untuk sementara waktu. Tapi kesendirianku kali ini tidaklah seperti yang terpikirkan olehku. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya hidup seorang diri tanpa suami sangatlah tidak enak. kesepian. Padahal di rumah ada Mama-papa dan adik-adikku yang siap menemaniku. Segala rutinitas yang kulakukan jadi kurang bergairah. Bahkan selera makanku pun berkurang. Makan tanpa kehadiran suami bagaikan masakan tanpa garam, itulah yang kurasakan saat ini. Beginikah rasanya jatuh cinta itu? Kenapa bunga-bunga cinta itu baru tumbuh saat ini?! Sungguh aku merinduinya. Aku ingin berada di sisinya. Seminggu lagi aku baru akan bertemu dengannya. Owh, waktu yang sangat lama. Kurasakan mataku mulai basah. Baru kusadari cinta itu begitu indah, penuh warna-warni. Ya, cinta yang halal.

*****
Hari ini seperti biasanya. Matahari masih bekerja menyinari bumi tapi tampak malu-malu di balik awan. Sinarnya tidak begitu terasa. Udara pun sedikit menyogang dahan dan dedaunan. Langit mulai menghitam. Mendung. Di sini mendung belum tentu hujan. Dingin. Ya, hanya dingin saja.
Akhirnya saat yang kunanti tiba juga, aku kembali ke Mesir. Dengan perasaan yang bercampur aduk, tangis yang hampir  tumpah, aku menunggu jemputan darinya. Saat ini rasa rinduku padanya begitu membuncah. Bunga-bunga cinta itu tak akan kubiarkan begitu saja di hatiku. Akan kusemai ia agar tumbuh bersemi. Akan kupupuki dengan ketulusan agar akarnya tetap kokoh.

Lelaki yang kunanti pun datang. Bang Faiz tersenyum manis ke arahku. Tiba-tiba saja pipiku kembali bersemu merah. Mataku berpijar bagaikan lampu neon. Otakku sibuk merangkai kata-kata tapi tak ada satu katapun yang keluar dari mulutku. Aku hanya menarik nafas.

“Udah lama nunggunya, Nda?”
“Nggak, baru ja nyampe.”

Hening. Kami saling membisu. Tapi aku bisa merasakan cinta begitu besar dari Bang Faiz. Sangat besar sehingga aku bisa merasakannya hanya lewat tatapan matanya, sentuhan tangannya, atau cara dia meladeniku. Hal-hal yang sangat sederhana itu membuatku bahagia yang seharusnya dari dulu kusadari.
Kini kami akan menjalani hari-hari indah bersama. Yupz, cuma kami berdua. Aku harus beradaptasi dengan posisiku sebagai istri dan Bang Faiz sebagai seorang suami. Kami akan belajar membuat hari-hari kami selalu indah, belajar saling mengerti dan melengkapi. Kuliah tidak akan jadi penghalang bagi kami untuk melukiskan cinta dan cita kami di langit yang tinggi.
Penghujung Januari
Di saat-saat putik-putik cinta kami tumbuh mekar, Mesir pun bergejolak. Revolusi yang melanda beberapa Negara Timur Tengah akhirnya sampai juga ke Mesir. Sehingga membuat pemerintah mengevakuasi warganya termasuk kami para mahasiswa di sini.
Dua minggu kemudian setelah ketibaan di tanah air.

“Hoek…”
Apa yang terjadi padaku? Belum pernah kurasakan badanku benar-benar lelah seperti ini. Padahal kerjaanku hanya santai-santai saja. Aku tidak pernah melakukan hal yang berat. Kalaupun masuk angin tapi tidak pernah sampai muntah seperti ini. Kepalaku terasa berat. Pusing yang mendadak.
“Napa Dinda?” Tanya lembut Bang Faiz.
“Nggak tahu ni, mungkin hanya masuk angin saja.”
“Dinda sakit, mungkin salah makan tadi, Kita ke dokter aja ya, atau tanya Mama dulu?” Serbunya dengan beribu pertanyaan. Mendengar pertanyaannya itu semakin membuat kepalaku pusing dan membuatku sebal.
“Cuma masuk angin aja kok Kanda, nggak usah cerita ke Mama.”
“Serius…?” Tanyanya tampak tak yakin.
“Muntah biasa aja, ngak heboh banget kok!”

Esoknya keadaanku justru makin parah. Indra penciumanku semakin sensitif. Setiap ada bau yang tidak sedap masuk ke lubang hidungku langsung membuat isi perutku seperti dikocok. Mama sudah mengetahui keadaanku. Kali ini beliau menyarankan untuk ke dokter. Mungkin aku hamil, begitu katanya.

Di ruangan ber-AC yang serba putih, seorang dokter cantik sedang memeriksaku. Wajahnya terlihat serius. Menit kemudian dia tersenyum ke arahku.

 “Selamat ya! Sekarang Adek udah hamil 6 minggu.” Ujarnya sambil menutup stetoskop.
Haaa…Aku hamil?

Bibirku tersenyum sangat lebar. Horeee… Aku hamil!!! Inginku meloncat kegirangan sambil berteriak aku hamil. Akan kuberitahu pada dunia tentang kabar bahagia ini agar dunia ikut bahagia. Ops, tapi itu aku yang dulu. Sekarang bukan saatnya lagi aku bersikap seperti itu. Sosokku sekarang adalah seorang mahasiswa, seorang istri juga calon seorang ibu.

“Alhamdulillah. Semoga ini menjadi kabar gembira buat suami saya juga. Makasih dokter…”
Segera kupercepat langkah keluar dari ruangan sejuk yang penuh obat-obatan itu. Kuambil langkah seribu menuju ke arah Bang Faiz berada. Tujuanku hanya satu, memberi tahu kabar gembira ini padanya secepat mungkin.

“Puji syukur atas nikmatMu ya, Rabb!”
Bang Faiz tersenyum padaku, begitu tulus. Lebih tulus dari sebelumnya. Senyum kebahagiaan. Belum pernah aku melihat wajahnya secerah ini, sangat bahagia. Tanpa kusadari Bang Faiz mendekapku erat.
“Makasih Dinda ya!” Ujarnya berbisik pelan .
Tuhan, bantu hamba jaga kebahagiaan ini, senyum miliknya. Aku hanya ingin dia bahagia, untuk harga sebuah tiket ke surgaMu.

Kekasihku, terima kasih telah memilihku sebagai pendamping hidupmu. Aku mencintaimu seperti kamu mencintaiku. Dalam keadaan apapun dan bagaimanapun jua kamu adalah kekasih yang halal bagiku. Kamu selalu aliri kecintaanmu di dalam hatiku dengan kelembutan dan senyumanmu. Kamu tidak pernah takut akan cemberutku dan terkadang emosiku yang membuatmu kesal padaku. Maafkanlah aku atas segala kekuranganku.Ya Allah, satukanlah ruh kami supaya terus bersatu. Saksikanlah cinta kami selalu dalam keridhaanMu. Jadikanlah cinta kami seperti air yang terus mengalir dan menyirami bunga-bunga cinta agar terus subur dan bersemi di hati.
Oleh : Erna Dewi Sulaiman
Mahasiswa Lulusan Al-Azhar University

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top