In Memoriam: Aku dan Duktur Abdurrahman (1)

Catatan untuk warga New elmarg

Kenangan Ketika Walimahtul Ursy, Putra duktur di Medan Tahrir  

“Jenazah gopnyan jino ka trok u rumoh…darah mantong meu jein-jein bak rinyeun”. (Fb : IjubKhan Tripa)

Foto setelah khutbah
Ied tahun lalu 
Menit pertama setelah diberitahukan bahwa duktur (panggilan kami terhadap ayahanda Dr. Abdurrahman Uwais) telah berpulang ke rahmatullah, yang kurasakan adalah laju bumi ini sedikit melambat. Dan rongga dada seperti disesaki raungan dan auman kesedihan.

Bola mata seperti akan basah, namun tetap harus kutahan. Teman-teman disampingku tau kalau berita ini sangat membuatku terpukul. Mereka tidak banyak bertanya, hanya mendengarkan kalimat perkalimat saja. Setelah itu kami kembali terdiam.

Sesaat aku tersenyum, beristhigfar dalam hati ,mencoba agar rasa sesak sedikit demi sedikit hilang. “beliau pantas mendapatkannya, beliau pantas mendapat pahala syahid, menuju pangkuan ilahi rabbi”.

Ayah rohani

Beliau itu, ayah rohani kami. Ayah yang selalu mengisi hati dengan mutiara suci, mengasah lidah kami dengan zikir dan menutup mulut kami dikala dunia dan seisinya saling menghujat serta mengkafirkan. Jikalau ada yang bertanya kepadaku kenapa penghuni rumah kami sangat berhati-hati menulis tetang konflik mesir, sepi hujatan-hujatan keji dan pengkafiran adalah karena beliau selalu menasehati kami untuk menjaga lidah dari keburukan dunia akhirat.

Beliau itu ahli ibadah, hafiz dan alhi tafsir. Bacaan disetiap shalat fardhu satu rubu dan setiap tarawih atau witir satu juz dengan bacaan beliau pun sangat lambat demi menjaga tajwid dan harakah agar tidak salah. Sangat sedikit jamaah di mesjid kami, hanya beberapa orang saja yang menjadi jamaah wajib.
Almarhum sangat zuhud, sederhana dan bersahaja. Aku tidak pernah meilihat beliau berpergian dengan mobil pribadi. Sepertinya beliau tidak punya mobil. Yang terparkir didepan rumah hanya mobil tetangga yang menyewa flat beliau. Berpergian untuk mengajar di Universitas Al-Azhar saja beliau tempuh dengan Metro (kereta api listrik). Tidak ada bedanya dengan kami yang mahasiswa.

Aku hidup bersamanya dalam tiga huru-hara, mulai dari masa Mubarak, Dr. Mursi dan As-Sisi. Namun yang kurasa adalah sikap dan kepribadian “mengajak kepada kebaikan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” beliau tetap tidak selangkahpun goyah. Beliau itu sudah berkali-kali keluar masuk penjara, namun Allah Swt. Selalu menyelamatkannya hingga ajal menjemput menemui rabb-Nya kemarin di medan rab’ah.

Beliau tidak pernah memberiku izin untuk mencium tangannya ketika kami bersalaman disetiap selesai shalat lima waktu, hingga subuh kedua hari raya kemarin, Ia memberikanku hadiah spesial yaitu mencium tangannya sambil dengan wajah tersenyum melihatku. Sebelumnya subuh 29 Ramadhan beliau mengajak kami (via kawan) untuk Shalat Ied di Medan Rab’ah. Namun kawan kami (fitra) menolaknya dengan halus karena kondisi memang betul-betul tidak memungkinkan.

Terus membekas

Duktur, kenangan ini tidak bisa kuhapus, air mata tidak bisa kubendung. Sungguh aku juga tidak bisa menjadi pribadi sepertimu. Namun aku akan terus menjaga pesan, kesan dan pelajaran berhargamu sebagai bekalan kehidupan dunia dan akhirat. Aku bukan seorang hafiz sepertinmu, penyabar yang ketika ditangkap dan diborgol hanya tersenyum manis sambil mengucabkan ‘hasbunallah wa ni’mal wakil’. Tapi diketika berkhutbah suaramu membesar meneriaki kezaliman, layaknya singa yang siap menerkam mangsanya.

Sungguh air mataku berderai ketika membaca komentar “Jenazah gopnyan jino ka trok u rumoh…darah mantong meu jein-jein bak rinyeun”. Tak kuasa aku menahan tangis. Aku yakin, Allah melahirkan Abdurrahman-abdurrahman yang lain untuk menyambung risalahmu.

Aku tidak bersedih atas kepulanganmu kehadhirat ilahi rabbi karena itu janji-Nya, namun akan sangat menyakitkan bagiku jika tidak bisa mencium keningmu untuk terakhir kali.

**Hanya kepada Allah saja harapan ini kusandarkan.

  •  Qatamea, 15 Agustus 2013.
Oleh: Muhibbussabri Hamid (mahasiswa Aceh yang tinggal di rumah sewaan milik almarhum)

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top