Sudah Amat Dekat!


Gerak laju perubahan yang mengusung kebebasan tanpa batas sepertinya  menurut segelintir orang merupakan solusi tunggal kesjahteraan dan kemapanan suatu bangsa. Nilai moral yang pada dasarnya senantiasa menyemat segala sistem juga telah perlahan dieliminasi banyak pihak dengan dalih pembangunan fisik tidak ada kaitannya dengan pembinaan moral. Betapa lucunya paham yang demikian, sebab semua agama yang ada dipermukaan bumi ini percaya bahwa sistem akan melaju optimal jika pembangunan infrastruktur berjalan sejajar dengan pembangunan moral. Krisis moral meruapakan wabah yang amat membahayakan rekontruksi pembaharuan dan regenerasi. Di samping itu, menjamurnya generasi yang tak mampu berevolusi, mudah terprovokasi, menelan asumsi, serta meyakini selentingan miring  sebagai berita konkrit yang seolah-olah bersifat mutawatir dan acuh akan fakta merupakan batu sandungan terbesar dalam menjalakan roda pemerintahan.

Beranjak dari tajuk ringkas di atas, sistem yang baik adalah sistem yang mengusung tinggi nilai moral serta jauh dari paham Liberalis. Serta diterapkan oleh individu berelektabilitas, memiliki etos kerja, cermat dan yang paling penting memiliki pondasi agama yang kuat. Imam Abu Hamid Muhammad Ghazali menyebutkan bahwa setiap muslim telah dikarunia empat hidayah oleh Sang Pencipta, yaitu: Akal, Naql (Alquran dan Hadits), At-tajarubbah (percobaan atau penemuan), dan yang terakhir Al-wijdan (perasaan). Jika keempat pilar ini dikolaborasikan secara optimal dan diletakkan sesuai posisi dan fungsinya, maka fleksibilitas umat akan semakin terealisasi dan individu akan semakin elastis dalam mengeksplor skill yang sarat akan nilai moral. Berbalik kondisinya, jika keempat pundi ini tidak disandingkan atau bahkan diabaikan, maka yang akan terjadi adalah sebaliknya, perpecahan,  lahirnya komunitas yang saling menyalahkan, selalu ingin mendapatkan hasil  instan dan jauh akan norma yang berlaku. Singkat cerita fitnah akan bertebaran, paham yang diciptakan untuk saling menjatuhkan pun membanjir, mengalir di setiap sisi rasa dan hela nafas yang silih berganti.

Kondisi seperti ini layaknya tengah menimpa banyak negara Islam. Bisa dikatakan, pada saat ini masing-masing negara Islam mendirikan karakter kebangsaannya sendiri sendiri seraya meninggalkan dan menanggalkan ikatan akidah serta akhlak Islam sebagai identitas utama bangsa. Ditambah lagi dengan krisis regenerasi dan bertaburnya  individu nonakademis yang jauh akan norma dan  etika. Sehingga tidak terelakkan lagi umat Islam yang jumlahnya kurang lebih setengah milyar dan tersebar di berbagai penjuru jagat raya tersebut semakin kehilangan wibawa. Bahkan dicap sebagai umat yang labil, tidak konsisten serta jauh dari kemajuan dan kemandirian. Rasulullah shallallahu alaihi was sallam sudah mensinyalir bahwa akan muncul babak keempat perjalanan umat Islam, yakni kepemimpinan para Mulkan jibriyyan (raja-raja yang memaksakan kehendak). Inilah babak yang sedang diarungi umat Islam dewasa ini.

Sedemikian carut-marutnya era yang sedang kita alami sekarang, sehingga seorang ulama Pakistan yang sempat tinggal lama di Amerika menyebutnya sebagai A godless civilization (peradaban yang tidak bertuhan). Ahmad Thompson, seorang penulis muslim berkebangsaan Inggris menyebutnya dengan sebutan sistem Dajjal. Ia mengatakan bahwa sejak runtuhnya khilafah Islam terakhir, dunia didomonasi oleh pihak kuffar (orang kafir). Perjalanan umat semakin jauh dari nilai-nilai kenabian. Berbagai sisi kehidupan diarahkan oleh nilai-nilai kekufuran. Sehingga kondisi yang seperti ini amat kondusif dan memuluskan datangnya fitnah akhir zaman yaitu Dajjal.

Jelaslah sudah, bahwa zaman sedang kita arungi adalah zaman yang sarat akan fitnah. Di mana banyak di antara manusia yang jauh lebih memilih cekokan luar, anekdot parau dan bisikan-bisikan kesesatan yang gencar disunggukan oleh para kuffar. Pada kondisi seperti inilah tersingkap perbedaan yang amat real antara mereka yang memiliki iman bak batu pualam nan mengkilap dengan mereka yang lebih memilih untuk menjadi hamba sahaya orientalis dan bernaung rasis di bawah ketiak Komunis.  Allah swt berfirman:

إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) kami pergilirkan di antara manusia itu (agar mereka mendapat pelajaran); Dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang orang yang zalim”.

Didalam ayat ini Allah Swt. menjelaskan bahwa kemenangan dan kekalahan akan berjalan seperti roda, silih berganti seperti malam dan siang. Ada di mana umat muslim berada di puncak kemenangan dan ada pula di mana umat muslim merasakan hal sebaliknya. Yang terpenting dari putaran roda ini adalah: Allah ingin melihat keteguhan hati hambanya, sebesar mana wujud cinta sang hamba terhadap tuhannya, sejauh mana kebenaran iman dan deklarasi kepercayaannya, dan sejauh mana ia mencintai saudaranya.

We are living  in the darkest ages of the Islamic history. Ya, kita memang sedang hidup dalam masa kegelapan. Di mana dunia morat-marit dan sarat fitnah. Dunia dikendalikan dengan nilai-nilai jahiliah modern, didominasi oleh paham Materialisme, Liberalisme dan Sekularisme diberbagai aspek. Baik di bidang perekonomian, sosial, budaya bahkan dalam bidang keagamaan.  Sungguh miris melihat kenyataan, bahwa masa di mana kita bertapak, menjalani sisa kehidupan merupan masa akhir zaman yang diindikaskan Rasulullah Saw. di dalam sabdanya:

Dari Abu Sa’id al-Khudri  Ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Akan turun kepada umatku di akhir zaman nanti cobaan yang dahsyat dari pemimpin mereka. Belum pernah terdengar yang lebih dahsyat darinya sehingga bumi yang luas itu terasa sempit bagi mereka karena bumi dipenuhi oleh kejahatan dan kezaliman. Seorang mukmin tidak mendapatkan tempat berpindah dari kezaliman itu…” (HR Hakim)

Menyelami lebih dalam hadits di atas tentunya tergurat jelas siluet konflik Mesir yang tak kunjung usai. Bahkan kepak sayapnya semakin melebar dan meninggalkan bercak merah yang tak mungkin hilang. Coba kita amati secara seksama, bagaimana rentetan episode permasalahan tersebut semakin hari semakin saja menuju titik akhir yang mengisyaratkan bahwa konflik yang terjadi merupakan konflik akhir zaman yang amat diwanti-wanti adanya oleh Rasulullah. Setiap harinya bertabur berita-berita bohong yang amat jauh dari fakta yang sengaja diracik untuk memperseru pergulatan yang terjadi. Konspirasi  bernaung di bawah topeng inspeksi, semua hal dibungkus dengan rapi hingga masyrakat awam tak dapat membedakan mana yang asli dan mana yang imitasi. Darah kaum muslimin dijadikan parsel ambisi segelintir kelompok yang bersembunyi dibalik label legitimasi.

Ingatlah walau kita terpisah oleh demografi dan topografi yang berbeda. Namun syariat dan akidah tidak ada yang berbeda, setiap poin yang tertera dalam Alquran baik yang tersurat maupun yang tersirat tidak ada yang dapat membenarkan peristiwa demi peristiwa yang terjadi. Islam senatiasa menyingkirkan segala sesuatu yang dapat memicu perpecahan dan pertikaian, dari hal yang terkecil hingga yang paling besar.

Banyak cendekia Arab dan tokoh tokoh berpengaruh dunia ikut berkomentar akan peristiwa tersebut. Di antaranya Imam Yusuf al-Qardhawi yang mengritik pembantaian sipil tak berdosa Sabtu, 27 juli 2013. Di antara poin yang diutarakan oleh sang Imam mengenai hal tersebut adalah: Sisi hanya mengaggap puluhan/ratusan ribu demonstran yang berada di Tahrir dan Ittihadiyah dan melupakan puluhan juta demonstran lain di jalan-jalan. Menumpahkan darah Abriya’ (sipil tak berdosa) adalah kriminal berat dalam agama. Apapun alasannya tidak dibenarkan membunuh orang yang sedang melaksanakan shalat tarawih dan qiyam. Dan ingatlah, mereka yang turun kejalan bukanlah semata-mata bahagian dari Ikhwan, melainkan banyak pula dari mereka yang bergabung menguatkan barisan hanya untuk mengembalikan kostitusi dan legitimasi.

Konflik Mesir bukan hanya sekedar konflik lokal, melainkan problematika umat Islam sedunia. Sudah layaknya negara-negara Islam lain memberikan bukti kepedulian konkrit akan permasalahan ini. Bagi para individu yang memiliki kecenderungan dalam menganalisa dan berperan aktif di dunia maya akan prihal tersebut,  selayaknya menjadi lentera penerang dan senantiasa memberikan kritik positif tanpa harus memperkeruh keadaan. Apalagi sampai mengeluarkan cibiran dan ketus pedas  yang nantinya akan menjulur kepada permasalahan baru.

Dalam kutipan perkataan Imam Ghazali tertera bahwa memahami ilmu pengetahuan layaknya memahami ilmu Matematika. Bilangan, rumus serta proses penjumlahan yang nantinya akan mewujudkan hasil akhir merupakan proses penjelajahan bilangan yang tidak terselip di dalamnya keraguan. Oleh karena itu, hati hati dalam berucap! Pahami sesuatu yang anda ingin amati, kemudian perdalam hal tersebut, baru setelah itu anda dapat berargumen! itupun jika argumen yang anda lontarkan dibalut dengan kode etik yang berlaku. Karena ditakutkan, jika hal di atas tidak diindahkan, anda hanya akan menjadi bahar bakar menyulut nyalanya kobar  fitnah akhir zaman. Naudzu billahi min dzalik.

Oleh: Tgk. Alwin Abdillah
Penulis: Mahasiswa Aceh, sedang menyelesaikan Program Master (S2) di Sudan

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top