Mempertahankan Nilai- Nilai Islami Dalam Fotografi
Kamis 12 September 2013, Zawiyah KMA kembali menyapa
warga KMA. Dibawah komando Kepengurusan baru, Zawiyah menjadi acara perdana
dalam absensi kegiatan KMA periode 2013-2014. Tgk Abdul Hamid ketua LITBANG
terpilih, dalam kata sambutannya berharap semoga kajian zawiyah ini terus
berkembang, sekaligus menjadi ladang luas untuk warga KMA dalam mengembangkan
ilmu yang telah diperoleh dibangku kuliah.
Selain dengan semangat baru, Zawiyah kali ini juga hadir
dengan pembahasan yang berbeda. Adalah tgk Mujtahid, sang fotografer KMA mencoba
membahas Fotografi dari segi nilai- nilai islam yang terabaikan. Pembahasan ini
terbilang sangat menarik, selain aktual, ia juga dipaparkan oleh orang yang
ahli dibidangnya.
Oleh karena tidak semua warga KMA yang hadir, berikut ini
akan kami hadirkan sekilas isi dari makalah tersebut.
****
Pendahuluan
Saat ini semua orang sudah mengenal dunia fotografi, akan
tetapi kebanyakan dari kita tidak pernah memperdulikan siapa sebenarnya
pencetus fotografi tersebut. Sebagai seorang muslim yang hidup di zaman
sekarang kita lebih mengenal istilah kamera sebagai media fotografi dari pada Qumrah.
Sedikit dari kaum muslimin yang masih mengingat istilah Qumrah yang
pernah dipopulerkan oleh seorang ilmuwan muslim bernama Hasan bin Haitsam.
Dalam perjalanan sejarah, banyak karya ilmuwan muslim
yang terlupakan oleh kaum muslim sendiri. Sehingga banyak yang beranggapan
perkembangan teknologi yang kita temukan sekarang merupakan hasil karya
orang-orang barat nonislam. Ketidak tahuan kita terhadap sejarah memudahkan
kaum barat menggiring opini publik yang mengatakan islam sebagai agama
terbelakang, sehingga kita tidak sadar bahwasanya islam telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan
luar biasa di segala bidang termasuk dalam bidang sains.
Dalam perkembangan selanjutnya, fotografi yang mengalami
perkembangnnya di barat, sedikit banyaknya terpengaruh dengan kebudayaan daerah tersebut, seperti kebebasan
tanpa batas dan erotisme yang jauh dari kesan islami, sehingga para penggila
fotografi dari kalangan muslim terkadang mengkonsumsinya secara mentah tanpa
men-filter terlebih dahulu. Sehingga nilai-nilai fotografi yang mereka
konsumsi tidak sesuai dengan syariat islam.
Pengertian Fotografi
Fotografi (dari bahasa Inggris: photography, yang
berasal dari kata Yunani yaitu "photos" : Cahaya dan
"Grafo" : Melukis/menulis.) adalah proses melukis/menulis dengan
menggunakan media cahaya. Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau
metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam
pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat
paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera. Tanpa cahaya, tidak
ada foto yang bisa dibuat.
Prinsip fotografi adalah memokuskan cahaya dengan bantuan
pembiasan sehingga mampu membakar medium penangkap cahaya. Medium yang telah
dibakar dengan ukuran luminitas cahaya yang tepat akan menghasilkan bayangan
identik dengan cahaya yang memasuki medium pembiasan (selanjutnya disebut
lensa).
Untuk menghasilkan intensitas cahaya yang tepat demi
menghasilkan gambar, digunakan bantuan alat ukur berupa lightmeter.
Setelah mendapat ukuran pencahayaan yang tepat, seorang fotografer bisa
mengatur intensitas cahaya tersebut dengan mengubah kombinasi ISO/ASA (ISO
Speed), diafragma (Aperture), dan kecepatan rana (speed).
Kombinasi antara ISO, Diafragma & Speed disebut sebagai pajanan (exposure).
Di era
fotografi digital dimana film tidak digunakan, maka kecepatan film yang semula
digunakan berkembang menjadi Digital ISO.
Fotografi Dalam Pandangan
Islam
Permasalahan fotografi erat kaitannya dengan masalah tashwir,
sebagian ulama mengharamkan tashwir berdasarkan hadits-hadits yang
melarang tashwir tersebut, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dari Ibnu Abbas
( كلّ مصوّر في النار,
يجعل له بكلّ صورة صوّرها نفس فيعذبه في جهنم
)
Artinya : " setiap
mushawwir akan masuk neraka, setiap gambar yang dihasilkannya akan dihidupkan,
dan dengannya ia akan diazab" (H.R. Muslim)
Dan sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Bukhari dari Aisyah
( أشدّ الناس عذابا يوم القيامة الذين يضاهئون بخلق الله )
Artinya : '' Orang yang paling
kuat siksaanya di hari kiamat adalah para pelukis yang meniru-niru penciptaan Allah
'' (H.R. Bukhari)
Juga masih banyak hadits lainnya
yang menjelaskan tentang pengharaman tashwir, akan tetapi dua hadits
tersebut sudah mewakili dalil para ulama yang mengharamkan tashwir
dengan illah Al mudhahah atau Tasyabuh bikhalqillah dan
setiap mushawwir akan diazab di dalam neraka Jahannam.
Adapun mengenai fotografi terjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama, sebagian ulama berpendapat bahwasanya fotografi sama hukumnya
dengan tashwir. Namun diantara para ulama yang menyamakan hukum
fotografi dengan tashwir ada yang mengharamkannya secara mutlak dan ada
juga yang membolehkannya hanya untuk keperluan darurat, seperti untuk foto
paspor ataupun kartu tanda pengenal.
Diantara ulama yang mengharamkan fotografi secara mutlak
adalah Syeikh Bin Baz, beliau mengatakan dalil-dalil yang mengaramkan tashwir
juga berlaku dalam fotografi. Karena fotografi dapat menimbulkan sifat al
ghuluw dari seorang fotografer yang merupakan sifat tidak terpuji, juga
awal dari sebuah kemusyrikan dan fotografi juga menyerupai perbuatan orang musyrik. Sebab pengharaman lainnya adalah,
fotografi merupakan sebuah perbuatan yang sia-sia dan menghabur-hamburkan uang.
Sedangkan Syeikh Ali Al Shabuny dalam kitabnya Tafsir
Ayat Al Ahkam mengatakan, walaupun secara sharih dalil-dalil yang
mengharamkan tashwir tidak mengandung
pengharaman fotografi, akan tetapi secara adat dan bahasa fotografi
masih dalam ruang lingkup tashwir, seorang fotografer juga disebut mushawwir
dan foto yang dihasilkan disebut shurah. Oleh karena itu fotografi hanya
dibolehkan dalam kepentingan darurat dan untuk kemaslahatan saja, mengingat ada
efek negatif sangat besar yang ditimbulkan oleh fotografi sebagaimana yang kita
lihat selama ini foto-foto yang tidak layak terpampang di berbagai majalah.
Adapun jumhur ulama muakhkhirin seperti
Syekh Bakhit Muthi'i, Syekh Jadul Haq Ali Jadul haq, Syekh Muhammad Ali Al
Sais, Syekh Yusuf Al qardhawi, Syekh Mutawalli Sya'rawi, Syekh Ramadhan Bouty
dan Syekh Ali Jum’ah, mereka menghalalkan fotografi selama tidak menyimpang
dari syariat islam.
Para ulama yang berpendapat bahwasanya fotografi tidak
haram mengatakan, dalil-dalil pengharaman taswir tidak mencakup kepada
pengharaman tashwir. Sebagaimana kita ketahui bahwasanya foto yang
dihasilkan oleh proses fotografi merupakan rekaman bayangan, dan lebih
menyerupai dengan video. Oleh karena itu illah mudhahah dan attasyabuh
bikhalqillah tidak terdapat dalam fotografi.
Syeikh Muhammad Ali Al Sais mengibaratkan foto yang
dihasilkan oleh media fotografi, ibarat seorang yang berdiri di depan cermin
lalu cermin tersebut memantulkan sebuah gambar. Apakah gambar yang dipantulkan
oleh cermin tersebut bisa dikatakan sebuah gambar yang dilukiskan oleh
seseorang? Tentunya tidak. Demikianlah gambaran cara kerja sebuah kamera yang
menyerupai cara kerja cermin dalam memantulkan gambar.
Dari pendapat ulama di atas kita bisa menyimpulkan
bahwasanya pendapat ulama yang menghalalkan fotografi lebih dekat dengan
realita fotografi yang berbeda dengan tashwir. Oleh karena itu, hukum
dasar fotografi itu adalah mubah (tidak haram) selama tidak melanggar
nilai-nilai yang ada di dalam syariat islam.
Mempertahankan
Nilai-Nilai Islam
Selaku muslim kita harus sadar akan kemajuan yang pernah
dicapai oleh ilmuwan kita di masa lalu. Kita melihat bagaimana orang-orang
barat dulu berkiblat ke timur sampai-sampai pakaian yang mereka gunakan juga
meniru ala timur, namun yang disayangkan di zaman sekarang kaum muslim berbalik
berkiblat ke barat.
Dengan alasan kemajuan, kaum muslim dengan mudah
mengikuti budaya fotografi yang berkembang di barat, tanpa men-filter-nya
terlebih dahulu. Sebagai seorang muslim kita harus menjaga jati diri ketika
dihadapkan dengan perkembangan yang mengusung kebebasan, erotisme dan lain
sebagainya yang jauh dari kesan islami.
Selayaknya media fotografi kita manfaatkan dalam hal
kebaikan dan juga kemaslahatan. islam bukanlah agama yang mengekang pemeluknya
dengan perkembangan zaman, islam tidaklah demikian. Islam memberikan kebebasan
bagi pemeluknya dalam mengikuti zaman akan tetapi dengan syarat tidak
bertentangan dengan nilai-nilai dalam syariat islam itu sendiri.
Apakah dengan mempertahankan nilai-nilai islam dalam
fotografi dapat menghambat kreatifitas seorang fotografer? Tentu tidak. Justru
dengan nilai-nilai islami tersebutlah kreatifitas kita tersalurkan dengan baik
dan diridai Allah, sehingga setiap kreatifitas muslim berjalan di atas rida
Allah.
Seorang fotografer yang bergerak di bidang modeling,
jika ia mengikuti modeling ala barat, maka ia akan mengagungkan
kebebasan dan tidak menghiraukan batasan aurat yang boleh dieksploitasi oleh
fotografer tersebut dari seorang model. Namun tentunya sebagai seorang
fotografer islam, kita memang tidak dilarang untuk berkreasi, namun kita
mempunyai batasan- batasan kemuliaan yang harus dihortmati. Demikianlah Islam
mengajarkan umatnya, berkreasi tanpa harus menumbalkan nilai-nilai islam.
Oleh karena itu wajarlah para ulama islam berbeda
pendapat dalam memandang hukum fotografi itu sendiri. Walaupun mereka berbeda
akan tetapi tujuan mereka sama, yaitu menjaga kaum muslim dari nilai-nilai
islam itu sendiri. Namun diantara mereka ada yang mutasyaddid dan aja juga yang
tasamuh.
Sebagai kaum muslim kita patutlah berbangga telah memeluk
agama yang mengajarkan kita sebuah jati diri yang harus kita jaga di manapun
kita berada.]
****
Makalah yang berisi sekitar tiga belas halaman ini
mendapat sambutan hangat dari anggota Zawiyah, ini terlihat dari partisipasi
anggota dalam menyimak dan berargumen, menanggapi isi tulisan yang disampaikan
oleh penulis.
Menjelang maghrib tiba, diskusipun ditutup dengan arahan
dari Musyrif Zawiyah. Tgk. Azwani Putra salah satu peserta yang hadir
berujar ”Banyak ilmu dan maklumat-maklumat baru yang bias dipetik dari zawiyah,
semoga Zawiyah terus eksis dan iltizam kedepannya insya Allah”.
Semoga. (HN)
Semoga. (HN)
Download Makalah Mempertahankan Nilai- Nilai Islami Dalam Fotografi
Posting Komentar