Di Pangkuan Bidadari (bagian 2)

Oleh; Tarian Langit
[buletin el-Asyi Edisi 112]
baca cerita sebelumnya; klik di sini



Benar-benar tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Tanggal satu bulan depan adalah hari wisuda S2 ku.

Ternyata aku hampir tujuh tahun tinggal di negeri menara kembar. Jika dulu Aku tidak lulus sarjana dengan predikat istimewa, mungkin skenario hidupku tidak akan seperti ini. Aku tak mungkin sanggup kuliah S2 di Universitas Malaysia dan tak akan selama ini Aku di negeri orang.

Malam itu begitu kelam, di luar apartemen terdengar suara Guntur terus mengganggu makhluk di bumi, angin bertiup tidak karuan, suasana begitu mencekam. Rintik-rintk hujan mulai membasahi bumi, sesekali kulirik keluar apartemen untuk memecahkan rasa galau di hati ini.

Hatiku begitu risau. Aku teringat tanah air, juga calon istriku di Aceh sana. Hari pernikahan kami semakin dekat. Namun, rasa-rasanya ingin aku menundanya. Karena jadwal pernikahan kami begitu dekat dengan jadwal sidang masterku.

"Ya Allah tenangkanlah hati hambamu." Ucapku.

Tiba-tiba saja Aku ingin menelpon calon istriku di tanah air. Tanpa pikir panjang Aku langsung menelpon Aya.

"Halo… salamu'alaimum"

"Walaikumsalam...kok tumben telpon malam-malam begini bang?" Tanya Aya.

"Adek sehat? tak tau ini dek abang risau kali malam ini.”

"Alhamdulillah adek sehat bang, abang shalat sunnah gi biar ilang rasa risaunya, abang fukus wisuda saja dulu jangan risaukan kami yang di Aceh ya, kami baik-baik saja di sini". Jawabnya.

"Ya sudah kalau begitu, adek jaga ibu ya. Insya Allah pertengahan bulan depan abang pulang ke Aceh".

"Ya bang, ya sudah abang jaga kesehatan ya. Salamu'alaikum..."

"Walaikumsalam..." Jawabku.

Selesai Aku berbicara dengan Aya, hand phone ku berbunyi lagi. Kulihat layar hp-ku, ternyata dokter senior di rumah sakit Aku bertugas menelpon.

"Salamu'alaikum... apa hal pak, tak biase malam-malam?"

"Walaikumsalam...macam ni dokte Asyraf, esok pagi I am waiting Asyraf di tempat biasa. Kawan Asyraf, Razzak sudah bapak call juga, pasal ape esok kita bicarakan okay."

"Ya pak, Saya datang esok Insya Allah."

"Sampai jumpa esok hari. Assalamu'alaikum..."

"Walaikumsalam..."

Keesokan harinya, Aku sengaja berangkat ke rumah sakit lebih awal dari pada hari-hari biasanya, ada tugas yang harus Aku kerjakan sebelum bertemu dengan bapak Direktur rumah sakit di Café KL.

***

Ditemani alunan musik jaz ditambah dengan secangkir kopi hangat. Aku, Razak dan Pak Ismail mulai larut dalam suasana café di  tempat Aku dan Razak menghilangkan penat selepas kerja.

"Macam ni nak Asyraf dan Razak," Pak Ismail memulai pembicaraan.

"Mengingat biadapnya perlakuan israel kepada rakyat Palestina, jadi rumah sakit kita mendapat surat dari Lembaga Kemanusiaan Negeri Malaysia untuk mengirimkan relawan dokte bedah sebanyak 8 orang. Tapi Saya hanya ingin mengutuskan lima saje dari dokte kita untuk berangkat ke Palestina, termasuk Asyraf dan Razak." Jelas Pak Ismail.

"Macam mana  Razak dan  Asyraf, awak bedua boleh ikot sekali?" Tanya Pak Ismail lagi.

"Bagi kami waktu pak, esok hari kami buat keputusan, Sebab kite orang tak nak gegabah dalam memutuskan pekare yang pelek ini seorang-seorang", balas Razak.

"Baik-baik, saya faham. Saya tunggu jawaban awak bedua. Tapi jujur saya katakan, saya sangat berharap kalian bersedia menerima panggilan umat Islam yang tersiksa di Palestina", tutup Pak Ismail.

***

Palestina, 20 September 2010.

Sore ini tak seperti hari-hari sebelumnya. Setelah sepuluh hari kelam ditemani alunan peluru, rudal dan bom. Tangis, jerit, darah, dan kehilangan orang yang dicinta, kini seolah menjadi hal yang biasa.

Teringat ketika pertama kali Aku injakkan kaki di tanah al- Quds ini, suasana asing sangat mewarnai perasaanku. Semua terlihat gersang dan terasa sulit digambarkan.

Hari-hari Aku lalui dengan berbagai tantangan. Setiap harinya Aku harus menangani sepuluh sampai lima belas pasien korban kekejaman zionis. Tak kenal usia, bahkan kebanyakan korban dari kalangan anak-anak.

Pernah suatu malam ketika tubuhku terasa seperti hilang rasa. Aku sangat ingin memejamkan mata sejenak untuk memulihkan stamina setelah seharian penuh mengobati para korban.

Tapi, ketika Aku hampir terlelap, "Asyraf, Asyraf…", suara Razak membangunkanku.
Dia memintaku untuk membantunya membedah seorang pasien terkena ledakan bom di bagian kaki kirinya. Sungguh nyawa tak berharga di sini.

Terkadang, ingin rasanya berdiri di depan sana, mengakhiri perang tak berprimanusiaan ini. Lelah rasanya Aku harus melihat mereka yang seharusnya bermain ceria dan berlari untuk menggapai cita-cita tapi harus merasakan pahitnya kehilangan. Setiap saat dalam genangan air mata bercampur darah.

Sepertinya Aku, Razak juga dokter-dokter lain dari seluruh dunia sangat dibutuhkan di sini. Meskipun begitu, Aku berharap semoga semua yang kulakukan ini menjadi jihadku di jalan Allah. Seandainya ajal menjemputku, semoga matiku dalam keadaan syahid di jalan-Nya.
''Allahumma amin'' doaku dalam hati.

Tiba-tiba sekelebat banyangan dari atas lewat dan jatuh tak jauh dari tempatku berdiri.
"Dhuuuuummmm…", suara ledakan membuyarkan lamunanku.

Samar-samar terlihat bayangan ibuku dan Aya tersenyum lebar kepadaku. Senyuman kali ini beda sekali. Kemudian semuanya menjadi putih.

***
''Razzak…'' lirihku.
Samar-samar terlihat seorang ibu duduk di sampingku, ia membaca Al-Quran. Kalau tak salah ibu dari anak yang kami operasi dengan Razzak. Di samping kiri berjejer kantong infus. Seperti mati rasa, Seluruh badanku terbalut perban dan tak dapat digerakkan.

''Razzak…'' panggilku lagi.
Ibu itu menunjuk ke luar jendela. Sepertinya Razzak sedang sibuk mengobati pasien lain. Pandanganku semakin kabur. Perasaanku pun terasa asing sekali.
''Qalam…'' kataku.
Ibu itu memandangku tak berkedip. Diambilnya secarik kertas dan pulpen. Dengan sekuat tenaga, kucoret kertas yang diberikan ibu itu.
''Razzak…'' kataku padanya.
Diambilnya kertas pemberianku. Mataku kembali berkunang-kunang, kepala berat, pulpen di tangan terjatuh.

Terlihat beberapa orang masuk ke kamar, mereka kukenal.  Ada ibu, ayah, adikku Leha yang sudah meninggal, nenek dan yang terakhir Aya, Calon bidadariku. Mereka memegang tangan, dan menarikku bangun membawa pulang kembali ke Aceh.


---Tamat---

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top