Meneladani Nabi
ULAMA Islam pernah dikejutkan dengan
tindakan Ali Abdul Razik yang menulis kitab Al Islam wa Ushul al Hikam. Abdul
Razik yang memposisikan dirinya sebagai mujaddid (pembaharu) menolak ide
politik Islam. Kitab ini dengan porsi yang sangat besar hanya menyebut
kapasitas Nabi Muhammad saw sebagai Rasul. Pada dasarnya, pengakuan kerasulan
saja memiliki makna bahwa Nabi memiliki seluruh kapasitas kepemimpinan, baik
sebagai kepala negara, pemimpin perang dan terutama sisi kenabian.
Secara logika, jika Nabi Muhammad membawa sebuah agama
yang kita sepakati kesempurnaannya, justeru tidak mungkin kita melupakan
posisinya sebagai pemimpin negara. Namun interpretasi Ali Abdul Razik dan
pengikutnya terhadap makna kerasulan sama sekali berbanding terbalik dengan
pandangan di atas. Ia mengeritik habis-habisan pandangan Nabi sebagai pelaku
politik dalam kapasitas sebagai pemimpin.
Pandangan Ali Abdul Razik hemat penulis tidak layak untuk
dianggap sebagai pembaruan, tapi lebih tepat diberi sebagai pengaburan.
Bagaimana kita bisa mengenyampingkan sebuah posisi yang amat penting dalam
risalah kenabian? Siapa pula yang lebih pantas mengemban amanah itu kecuali
Nabi? Beliau pula yang pernah bersabda: “Jika keluar tiga orang di antara
kalian, maka pilihlah salah satunya menjadi pemimpin.”
Pemisahan agama dari negara versi Ali Abdul Razik akan
terbantah jika kita teliti membaca sirah kenabian dan fikih Islam yang
komprehensif. Putusan-putusan Nabi yang dijadikan sandaran hukum tentu berlaku
dalam koridor Nabi sebagai pemimpin.
Dalam hal ini pula ahli fikih menetapkan sistem
pengadilan dan tata cara memutuskan perkara. Semua bersandarkan kepada metode
Nabi dalam menegakkan hukum. Tidak hanya terbatas dalam masalah ibadah, tapi
juga mencakup masalah tata negara dan sosial kemasyarakatan.
Pandangan ‘Wasathiyah’
Akan tetapi kita juga tidak boleh memaksakan sebuah
undang-undang Islam dengan ijtihad masa lalu. Setiap masa punya karakteristik
dan keunikan tertentu. Oleh karena itu, pandangan wasathiyah (moderat) perlu
lebih dikembangkan jika dirasa perlu, hal ini menjadi isu yang sangat penting
agar rahmat bagi seluruh alam tak hanya teori, namun diaplikasikan secara
nyata.
Nabi Muhammad diutus oleh Allah di tengah kondisi
jahiliah yang berada pada titik nadir. Diskriminasi gender, penindasan ras dan
tindakan amoral lain sedang merajalela. Stabilitas kabilah Arab secara internal
dan antarkabilah pun memprihatinkan saat itu. Hampir tiada hari tanpa
persengketaan, antara Auz dan Khazraj yang paling populer.
Di tengah kehidupan itu pula nabi dilahirkan. Tanda tanda
kenabian dan kesucian nasab beliau menjadi benteng dari hal-hal yang berkaitan
dengan kemusyrikan. Tepatlah janji Allah bahwa setiap Nabi akan dilahirkan dari
keturunan suci, pun begitu dengan Nabi Muhammad saw. Pantas pula hari
kelahirannya diperingati, karena Allah telah menjaga kesucian beliau sejak
belum lahir hingga wafat.
Nabi tidak mendobrak bangsa jahiliah dengan hentakan yang
mengejutkan. Beliau terlebih dulu membangun pilar-pilar peradaban. Mengokohkan
akidah kaum muslimin pada periode Mekkah, selanjutnya membangun pondasi masa
depan ketika tiba di Madinah.
Ketika pertama tiba di Madinah, Nabi dengan cepat
membangun masjid yang kini dikenal dengan nama Masjid Nabawi. Sebagai sentral
kehidupan, masjid ini menjadi mercusuar dan tiang-tiang kemajuan di kemudian
hari. Dalam kacamata modern, pantaslah jika revitalisasi mesjid menjadi tumpuan
masa depan Islam di Aceh.
Masjid menjadi simbol pendidikan. Di sini pusatnya pengajaran
Nabi. Maka sangat mencemaskan jika kita meremehkan pendidikan dalam membangun
syariat Islam, terutama pendidikan karakter dan jatidiri dengan nilai-nilai
Islam yang luhur.
Pengaruh syariat Islam dalam dunia pendidikan masih
sangat minim. Padahal sejatinya di tangan merekalah bangsa ini memegang
harapan. Jika mereka saja sudah bimbang dan terombang-ambing dengan arus
globalisasi, maka pasak Aceh yang telah ditanam oleh ulama terdahulu siap
tercabut.
Kita tidak bisa menghindari kaitan Islam dengan tatanan
kehidupan sosial yang integral. Pandangan ideal ajaran Islam akan sangat
kentara ketika kita melihat dinamika hukum Islam yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesamanya.
Sangat banyak keteladanan Nabi yang terawat di dalam
bilik sejarah. Sejarawan mencatat, suatu ketika Nabi Muhammad saw pernah
mengirim surat, melarang riba kepada raja Kisra. Potret yang mempertegas posisi
beliau dalam menjalin hubungan bilateral sebagai kepala negara. Setelah
mengambil hati masyarakat melalui sikapnya yang mulia, Nabi mendapat
kepercayaan penuh melalui kharismatik yang dibangun.
Gelar al-Amin yang disematkan kepada beliau bukan
sembarang gelar. Maka citra buruk Islam tidak mutlak kita timpakan kepada
kalangan pembenci. Harus dikaji kembali sejauh mana sikap kita menjadi cerminan
teladan Nabi. Apakah Islam ditakuti karena ajarannya yang jumud, atau orang
Islam itu sendiri yang membuat Islam terlihat begitu sempit?
Demikian juga dalam masalah pemerintahan. Bagaimana
sebuah pemerintahan mampu menganyomi masyarakat sehingga memperoleh kepercayaan
rakyat. Atau malah pemerintah yang menjadi biang sikap apatis masyarakat.
Kewajiban Pemimpin
Tak salah jika ulama kemudian hari menetapkan pengambilan kebijakan dengan pertimbangan maslahat bagi rakyat merupakan kewajiban pemimpin. Mungkin ada sedikit kesamaan antara pemimpin bijak di kantor pemerintahan dengan mujahid di medan perang, mereka sama-sama sedang berjuang mewujudkan keagungan ajaran Islam.
Kebijakan yang dicontohkan Nabi melalui “Piagam Madinah”
tidak hanya mengakomodir kepentingan umat Islam, melainkan seluruh ras dan
agama turut dilindungi pula. Jangankan umat Islam, rakyat dari agama lain pun
rela diputuskan perkaranya oleh Nabi, yang semuanya berlandaskan pada nilai-nilai
agama.
Menjelang Pemilu 2014, kita tentu merindukan sosok-sosok
yang siap meneladani Nabi Muhammad saw. Pemimpin dan wakil rakyat yang secara
jujur menjadi tumpuan kesejahteraan masyarakat. Bukan hanya model baliho yang
hanya mengunjungi masyarakat menjelang pemilu lima tahun sekali.
Mungkin agak pragmatis jika kita mengharapkan pemimpin
kita meninggal layaknya Nabi wafat pada umur 63 tahun, pada bulan dan hari yang
sama beliau dilahirkan, yakni pada 12 Rabiul Awal. Beliau tidak meninggalkan
harta, namun karya nyatanya terus menjadi warisan bersejarah yang tidak
ternilai harganya.
Sungguh kita merindukan figur-figur pemimpin terbaik ke
depan, yang mewarisi teladan Nabi Muhammad saw. Semoga!
*Zahrul Bawady M. Daud, Mahasiswa Pascasarjana Univ. Al Azhar, Kairo, Mesir.
Posting Komentar