Meneladani Nabi


 Oleh Zahrul Bawady M. Daud*

ULAMA Islam pernah dikejutkan dengan tindakan Ali Abdul Razik yang menulis kitab Al Islam wa Ushul al Hikam. Abdul Razik yang memposisikan dirinya sebagai mujaddid (pembaharu) menolak ide politik Islam. Kitab ini dengan porsi yang sangat besar hanya menyebut kapasitas Nabi Muhammad saw sebagai Rasul. Pada dasarnya, pengakuan kerasulan saja memiliki makna bahwa Nabi memiliki seluruh kapasitas kepemimpinan, baik sebagai kepala negara, pemimpin perang dan terutama sisi kenabian.

Secara logika, jika Nabi Muhammad membawa sebuah agama yang kita sepakati kesempurnaannya, justeru tidak mungkin kita melupakan posisinya sebagai pemimpin negara. Namun interpretasi Ali Abdul Razik dan pengikutnya terhadap makna kerasulan sama sekali berbanding terbalik dengan pandangan di atas. Ia mengeritik habis-habisan pandangan Nabi sebagai pelaku politik dalam kapasitas sebagai pemimpin.

Pandangan Ali Abdul Razik hemat penulis tidak layak untuk dianggap sebagai pembaruan, tapi lebih tepat diberi sebagai pengaburan. Bagaimana kita bisa mengenyampingkan sebuah posisi yang amat penting dalam risalah kenabian? Siapa pula yang lebih pantas mengemban amanah itu kecuali Nabi? Beliau pula yang pernah bersabda: “Jika keluar tiga orang di antara kalian, maka pilihlah salah satunya menjadi pemimpin.”

Pemisahan agama dari negara versi Ali Abdul Razik akan terbantah jika kita teliti membaca sirah kenabian dan fikih Islam yang komprehensif. Putusan-putusan Nabi yang dijadikan sandaran hukum tentu berlaku dalam koridor Nabi sebagai pemimpin.

Dalam hal ini pula ahli fikih menetapkan sistem pengadilan dan tata cara memutuskan perkara. Semua bersandarkan kepada metode Nabi dalam menegakkan hukum. Tidak hanya terbatas dalam masalah ibadah, tapi juga mencakup masalah tata negara dan sosial kemasyarakatan.

Pandangan ‘Wasathiyah’

Akan tetapi kita juga tidak boleh memaksakan sebuah undang-undang Islam dengan ijtihad masa lalu. Setiap masa punya karakteristik dan keunikan tertentu. Oleh karena itu, pandangan wasathiyah (moderat) perlu lebih dikembangkan jika dirasa perlu, hal ini menjadi isu yang sangat penting agar rahmat bagi seluruh alam tak hanya teori, namun diaplikasikan secara nyata.

Nabi Muhammad diutus oleh Allah di tengah kondisi jahiliah yang berada pada titik nadir. Diskriminasi gender, penindasan ras dan tindakan amoral lain sedang merajalela. Stabilitas kabilah Arab secara internal dan antarkabilah pun memprihatinkan saat itu. Hampir tiada hari tanpa persengketaan, antara Auz dan Khazraj yang paling populer.

Di tengah kehidupan itu pula nabi dilahirkan. Tanda tanda kenabian dan kesucian nasab beliau menjadi benteng dari hal-hal yang berkaitan dengan kemusyrikan. Tepatlah janji Allah bahwa setiap Nabi akan dilahirkan dari keturunan suci, pun begitu dengan Nabi Muhammad saw. Pantas pula hari kelahirannya diperingati, karena Allah telah menjaga kesucian beliau sejak belum lahir hingga wafat.

Nabi tidak mendobrak bangsa jahiliah dengan hentakan yang mengejutkan. Beliau terlebih dulu membangun pilar-pilar peradaban. Mengokohkan akidah kaum muslimin pada periode Mekkah, selanjutnya membangun pondasi masa depan ketika tiba di Madinah.

Ketika pertama tiba di Madinah, Nabi dengan cepat membangun masjid yang kini dikenal dengan nama Masjid Nabawi. Sebagai sentral kehidupan, masjid ini menjadi mercusuar dan tiang-tiang kemajuan di kemudian hari. Dalam kacamata modern, pantaslah jika revitalisasi mesjid menjadi tumpuan masa depan Islam di Aceh.

Masjid menjadi simbol pendidikan. Di sini pusatnya pengajaran Nabi. Maka sangat mencemaskan jika kita meremehkan pendidikan dalam membangun syariat Islam, terutama pendidikan karakter dan jatidiri dengan nilai-nilai Islam yang luhur.

Pengaruh syariat Islam dalam dunia pendidikan masih sangat minim. Padahal sejatinya di tangan merekalah bangsa ini memegang harapan. Jika mereka saja sudah bimbang dan terombang-ambing dengan arus globalisasi, maka pasak Aceh yang telah ditanam oleh ulama terdahulu siap tercabut.

Kita tidak bisa menghindari kaitan Islam dengan tatanan kehidupan sosial yang integral. Pandangan ideal ajaran Islam akan sangat kentara ketika kita melihat dinamika hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesamanya.

Sangat banyak keteladanan Nabi yang terawat di dalam bilik sejarah. Sejarawan mencatat, suatu ketika Nabi Muhammad saw pernah mengirim surat, melarang riba kepada raja Kisra. Potret yang mempertegas posisi beliau dalam menjalin hubungan bilateral sebagai kepala negara. Setelah mengambil hati masyarakat melalui sikapnya yang mulia, Nabi mendapat kepercayaan penuh melalui kharismatik yang dibangun.

Gelar al-Amin yang disematkan kepada beliau bukan sembarang gelar. Maka citra buruk Islam tidak mutlak kita timpakan kepada kalangan pembenci. Harus dikaji kembali sejauh mana sikap kita menjadi cerminan teladan Nabi. Apakah Islam ditakuti karena ajarannya yang jumud, atau orang Islam itu sendiri yang membuat Islam terlihat begitu sempit?

Demikian juga dalam masalah pemerintahan. Bagaimana sebuah pemerintahan mampu menganyomi masyarakat sehingga memperoleh kepercayaan rakyat. Atau malah pemerintah yang menjadi biang sikap apatis masyarakat.

Kewajiban Pemimpin

Tak salah jika ulama kemudian hari menetapkan pengambilan kebijakan dengan pertimbangan maslahat bagi rakyat merupakan kewajiban pemimpin. Mungkin ada sedikit kesamaan antara pemimpin bijak di kantor pemerintahan dengan mujahid di medan perang, mereka sama-sama sedang berjuang mewujudkan keagungan ajaran Islam.

Kebijakan yang dicontohkan Nabi melalui “Piagam Madinah” tidak hanya mengakomodir kepentingan umat Islam, melainkan seluruh ras dan agama turut dilindungi pula. Jangankan umat Islam, rakyat dari agama lain pun rela diputuskan perkaranya oleh Nabi, yang semuanya berlandaskan pada nilai-nilai agama.

Menjelang Pemilu 2014, kita tentu merindukan sosok-sosok yang siap meneladani Nabi Muhammad saw. Pemimpin dan wakil rakyat yang secara jujur menjadi tumpuan kesejahteraan masyarakat. Bukan hanya model baliho yang hanya mengunjungi masyarakat menjelang pemilu lima tahun sekali.

Mungkin agak pragmatis jika kita mengharapkan pemimpin kita meninggal layaknya Nabi wafat pada umur 63 tahun, pada bulan dan hari yang sama beliau dilahirkan, yakni pada 12 Rabiul Awal. Beliau tidak meninggalkan harta, namun karya nyatanya terus menjadi warisan bersejarah yang tidak ternilai harganya.

Sungguh kita merindukan figur-figur pemimpin terbaik ke depan, yang mewarisi teladan Nabi Muhammad saw. Semoga!

*Zahrul Bawady M. Daud, Mahasiswa Pascasarjana Univ. Al Azhar, Kairo, Mesir.

Tulisan ini telah dimuat pada http://aceh.tribunnews.com tanggal 13/01/2014



Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top