Bapak Rumah Tangga dan Tragedi Kaum Hawa

Oleh; Azmi Abubakar*
image doc. google

Dua minggu lalu, Rekan-rekan buletin elasyi meminta kami untuk menulis tentang isu-isu wanita; peranan kaum hawa pada masa ini.  Jujur sebenarnya kami kurang berani menulis tema ini, pertama karena penulis masih lajang, kedua masih ada guru-guru kami yang sebenarnya sangat layak untuk menulis.  

Namun disisi lain kami berpikir bahwa inilah kesempatan  kami untuk mencurahkan apa sebenarnya yang berkecamuk  di kepala  ketika memandang sebuah konsep yang layak bagi kaum hawa era post modern.  Idea-idea yang muncul  selanjutnya adalah pandangan dari kami sendiri, sehingga ruang-ruang diskusi yang lebih dalam bisa tercipta.

Ada sebuah novel yang menginpirasi kami untuk menulis tema ini, novel yang berangkat dari pengalaman pribadi sang penulis; Sastri Bakri asal Minang. Beliau menulis perjalanan hidupnya dengan sangat dramatis. Tokoh Sastri adalah seorang wanita karir yang begitu jarang berada di rumah.

Dalam alur cerita tersebut, beliau bercerai dengan suami pertama karena adanya ketidak cocokan. Kisah berlanjut ketika Sastri dipertemukan dengan seorang  laki-laki  berhati mulia, bekerja sebagai PNS di kota Jakarta. Pada perjalanan selanjutnya,  sang suami memilih pensiun dini agar bisa selalu menemani istri tercinta yang berkerja sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat.

Jadilah setiap hari istri tetap bekerja, sang suami menjadi bapak rumah tangga yang baik, membersihkan gudang dan rumah. Tulisan ini sendiri menjadi anti tesis lain dari sebuah pergelokan batin Sastri Bakri dalam memandang konsep berumah tangga. Posisi Sastri dalam novel selalu berada di pihak yang tersalahkan karena telah  menyia-nyiakan suami dan gagal memuliakannya. Suami yang menurut tokoh Sastri sangat mulia dan sempurna. 

Tokoh Sastri akhirnya merasa tersadar ketika sebuah penyakit menggerogoti sang suami, Sastri merasa kehilangan. Pada akhirnya penyakit sang suami mencapai puncak, ia lumpuh. Tibalah hari ketika Allah menjemputnya ke alam keabadian. Tokoh Sastri pada alur ini merasa sangat kehilangan. Ghirah hidupnya telah sirna, ia begitu menyesal kenapa selama suami masih hidup tak banyak berperan mengabdi kepada sang suami. Waktu-waktu banyak dihabiskan di luar,dengan segala kesibukan sebagai politikus.

Ini adalah kisah nyata yang dinovelkan selain dari ribuan kisah nyata lain tentang tragedi wanita sekarang.  Kisah ini bukan berarti wanita karir gagal memerankan tugasnya sebagai istri.  Kita juga  melihat sosok-sosok yang sukses membangun karir, namun juga sukses mengasuh keluarga , namun penulis rasa hal ini sangat sedikit sekali  

Azmi Abubakar, Mahasiswa
tingkat akhir, Fak. Syariah,
Jur. Syariah Islamiyah,
Univ. Al-Azhar, Kairo
Di zaman penuh fitnah ini, kami sebenarnya sangat sepakat jika wanita harus dihargai dan dihormati dengan menempatkan wanita sebagai Rabbatul Bait atau Peureumoh. Wanita-wanita mulia akan menjadi pelindung keluarga dan menjadi pendidik bagi anak-anak.  

Sultanah-sultanah Aceh masa dulu sebenarnya juga menjadi Rabbatul Bait bagi sebuah rumah besar bernama Aceh Darussalam, sementara yang menjalankan pemerintahan tetap berada pada seorang laki-laki. Ada filosofi yang cukup menarik, dimana urueng inong Aceh diberi laqab sebagai Ti atau Ni, maknanya perempuan yang dihormati. Ti atau Ni ini harus lah menjadi Teue, Teue adalah daun yang berbentuk seperti payung. Filosofi payung adalah mengayomi. Maknanya para kaum hawa haruslah berperan sebagai Ti yang menjadi Teue bagi keluarga.

Para syaikhah-syaikhah selalu menjadi inspisrasi betapa ilmu pengetahuan tetap diutamakan untuk mendidik  buah hati. Kita juga  diingatkan dengan istri-istri para ulama, abu –abu Dayah dimana ummi- ummi berperan sebagai rabbatul bait  dengan sempurna. Sehingga ada pendidikan yang luas kepada anak-anak dalam University of Life rumah tangga yang sedemikian bersahaja.

Peureumoh yang dalam bahasa Aceh dimaknai sebagai pemilik rumah harus dipahami secara benar, jika peureumoh banyak menghabiskan waktu di luar berarti ini turut mengurangi kesakralan fungsi peureumoh itu sendiri. Kita begitu miris melihat ibu-ibu yang bekerja di luar misalnya menjadi PNS, fenomena yang terjadi adalah ketika waktu istirahat banyak para PNS perempuan duduk ngerumpi sehingga timbul nilai-nilai yang bertentangan dengan norma agama.

Zaman yang penuh dengan fitnah ini harusnya kaum hawa lebih aman berada di rumah, mendidik buah hati secara penuh. Realita Para kaum hawa yang bekerja di luar sering menitipkan anak-anaknya pada orang tua yang seharusnya ketika tiba hari tua kita muliakan. Belum lagi realita yang sering kita lihat ketika kaum hawa keluar rumah dengan aurat yang tak tertutup dengan sempurna sehingga turut menambah dan memperluas fitnah.

Kami terenyuh dengan kisah seorang ummi yang berhenti bekerja di sebuah Bank di ibukota Jakarta demi waktu untuk suami dan anak. Tentu saja  Ada banyak kreasi lain ketiba seorang  wanita  berada di rumah. Menulis hatta bisnispun bisa dilakukan di rumah.

Akhirnya kaum hawa harus tetap diposisikan pada tempat yang mulia,  karena kaum hawa adalah makhluk yang begitu mulia. Kaum hawa harus dilindungi bukan membiarkannya seperti ikon Yusniar atau Da Maneh yang begitu memalukan dan melabrak nilai-nilai agama dan pranata masyarakat Aceh. peureumoh atau Rabbatul Bait  adalah sosok yang luar biasa yang bersama suami berperan penuh menjaga dan mendidik keluarga sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat teladan yang agamis.

*Penulis adalah Mahasiswa Fak. Syari’ah Tk IV. Univ. Al-Azhar, Kairo-Mesir. Tulisan in telah dimuat pada buletin el-Asyi edisi 119.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top