Hukum Belajar Mantiq

Oleh; Khalid Muddatstsir*


Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna. Mungkin semua manusia meskipun dengan latar belakang agama yang berbeda, akan mengakui hakikat ini. Hewan, tumbuhan dan makhluk lain adalah desain Allah yang hebat, tapi pastinya tidak sehebat dan sesempurna manusia. Hal tersebut disebabkan karena manusia Allah istimewakan dengan akal. Dengannya manusia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ya, akal adalah lampu. Akal adalah kompas. 

Adapun Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi akal, sangat menganjurkan umatnya untuk mendidik dan membimbing akal. Tujuannya agar tidak terjerumus kedalam kesesatan berlogika

Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah ilmu untuk menyelamatkan akal dari kesesatan, yaitu Ilmu Mantiq. Mantiq oleh sebagian kalangan disebut sebagai bapak segala ilmu. Saya rasa itu tidak berlebihan, mengingat Mantiq merupakan formula dan alat untuk menuju metode berfikir yang benar dan jernih sehingga sampai kepada kesimpulan yang benar pula. Imam al Akhdhari (1512-1575 M) dalam magnum opus nya Sullam Munawraq mengungkapkan urgensitas ilmu mantiq: 

و بعد فالمنطق للجنان ** نسبته كالنحو للسان
"Ilmu mantiq bagi akal ibarat ilmu nahu bagi lisan" 

Mantiq sebagai ilmu pertama kali disusun secara rapi oleh Aristoteles (384-322 SM), Seorang filosof Yunani. Ketika agama Islam telah tersebar di Jazirah Arab dan dipeluk secara meluas sampai ke timur dan barat, perkembangan ilmu pengetahuan pun mengalami kemajuan yang pesat. Puncaknya terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Di periode inilah terjadi penerjemahan ilmu-ilmu filsafat yunani kedalam bahasa Arab, termasuk ilmu Mantiq. 

Terus, bagaimana hukum mempelajari ilmu Logika/ Mantiq ini? Bukankah ia adalah ilmu baru dan berasal dari filosof Yunani?

Imam al Akhdhari menyebutkan hukum mempelajari mantiq dalam sullam nya : 

و الخلف في جواز الإشتغال ** به على ثلاثة الأقوال
فابن الصلاح و النواوي حرما ** و قال قوم ينبغي ان يعلما
و القولة المشهورة الصحيحة ** جوازه لكامل القريحة
ممارس السنة و الكتاب ** ليهتدي به الى الصواب

Menurut perkataan al Akhdhari diatas bisa kita simpulkan bahwa hukum mempelajari ilmu Mantiq ada 3 :

1. Haram, ini merupakan pendapat Imam Ibnu Shalah (643 H), dan Imam An Nawawi (631-676 H).
2. Boleh mempelajari ilmu Mantiq, ini adalah pendapat sebagian ulama, diantaranya Imam Abu Hamid Al Ghazali (450-505 H). Ia bahkan berkata, "Siapa saja yang tidak mengetahui mantiq, maka ilmunya patut diragukan". 
3. Apabila si pelajar mantiq mempunyai kecerdasan yang mumpuni, pemahaman yang kuat, dan intelektual yang tinggi, serta mereka yang memahami dan mengamalkan al Qur’an dan sunnah, maka boleh menyibukkan diri dengan mantiq (mempelajarinya). Jika tidak demikian, maka tidak boleh. 

Tapi ada hal penting yang harus diketahui, bahwa ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama-ulama  diatas hanyalah pada Mantiq yang disusupi kalam-kalam dan kesesatan filsafat, seperti yang tertuang dalam kitab Thawali'ul Anwar karya al Baidhawi (680 H). [1]

Alasan diharamkannya Mantiq yang seperti ini dikarenakan hal tersebut mengikuti dan menyerupai Yahudi dan Nasrani. Dan Juga ditakutkan akan terjadi penyimpangan aqidah bagi mereka yang mendalaminya, seperti kasus kaum Muktazilah. 

Syaikh Ibrahim al Bajuri (1783-1860 M) mengkritik pendapat diatas dengan bijak. Beliau berpendapat, jika belajar Mantiq haram dikarenakan mengikuti Yahudi dan Nasrani, maka dengan sendirinya ilmu kedokteran atau ilmu nahu juga haram, karena yahudi dan nasrani juga mempelajarinya. 

Nah, Adapun sebaliknya, jika Mantiq yang dipelajari tidak tersentuh dengan syubhat-syubhat filsafat, seperti kitab Mukhtashar karya al Sanusi, Syamsiyah karya Abi al Hasan al Qazwini, Isagoji, Sullam Munawraq nya al Akhdhari dan sebagainya, maka tidak ada alasan untuk mengharamkan Mantiq. Para ulama telah sepakat mantiq model ini boleh dipelajari. Bahkan hukumnya Fardhu Kifayah jika harus digunakan untuk melawan syubhat-syubhat yang ditujukan kepada agama Islam. WALLAHU A'LAM. 

===========
Sumber : 
1. Al Bayan lima Yusghilul Azhan, Dr. Ali Jum'ah.
2. Idhahul Mubham Min Ma'aani Sullam, Ahmad Abdul Mun'im Damanhuri.
3. Hasyiyah al Bajuri ala Matnis Sullam, Syaikh Ibrahim al Bajuri.



[1] Imam al Baidhawi dalam Thawali’ nya beliau mengutip kalam-kalam filsafat dan mengkiritisinya. Jika pelajar belum punya dasar yang kuat dan langsung berselancar kedalam Thawali’, ditakutkan akan membahayakan pemikiran si pelajar tersebut.


* Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir Fak. Ushuluddin Univ. Al-Azhar, Mesir

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top