Ulumul Hadis: Pembagian Hadis (Bagian II)

Google Image
Oleh: Mustafa Ahmad
(Alumnus Ponpes.Darul Azhar Kutacane, Aceh Tenggara)

Ulama – ulama terdahulu dan masa saat kini bermaksud membantu semaksimal mungkin umat Islam dalam membedakan kesahihan dan sakimnya suatu hadits, mengetahui mana riwayat yang diterima dan yang tertolak. 

Mengingat bahwa hadits merupakan marja’ (rujukan) kedua dalam Islam setelah Al-Qur'an, para ulama telah berusaha semaksimal mungkin untuk memperjelas hal tersebut agar tidak masuk sesuatu yang bukan merupakan dari agama ini.

Secara umum Hadis dibagi kepada dua bagian; Hadits Maqbul dan Hadits Mardud. Hadits Maqbul adalah Hadis yang memenuhi syarat-syarat Hadits Maqbul yang akan dijelaskan secara rinci berikutnya, insya Allah. Sementara Hadits Mardud hanya ada satu syarat atau lebih dari syarat-syarat Hadis Makbul. Namun pada kesempatan ini hanya akan dijelaskan seputar Hadits Maqbul saja.

Hadits Maqbul terbagi dalam dua bagian, yaitu Hadits Shahih dan Hadits Hasan. Hadits Shahih itu sendiri ada dua bentuk: Shahih menurut zatnya dan Shahih untuk yang lainnya. Begitu juga dengan Hadits Hasan ada dua: Hasan menurut zatnnya dan Hasan untuk yang lainnya .

Hadits Maqbul harus memiliki syarat-syarat yang sempurna sehingga Hadis tersebut benar-benar bisa diterima. Jika hilang satu syarat atau lebih maka Hadis tersebuat akan ditolak alias mardud.
Adapun syarat- syarat Hadis Maqbul adalah:
  1. Tersambungnya Sanad; 
  2. Adilnya Rawi;
  3. Dhabid-nya (terpercaya) Rawi;
  4. Selamat dari syadz (ketimpangan);
  5. Selamatnya dari illah (cacat). 
Berikut pembahasan secara rinci kelima syarat di atas.

Tersambungnya Sanad, yaitu perawi dalam sanad telah membawa suatu Hadis dari perawi sebelumnya secara langsung. Maka ini bisa dikatakan sanadnya belum jatuh (putus) satu Rawi atau lebih.

‘Adilnya Rawi. Syarat bagi para perawi yang diterima riwayatnya adalah adilnya Rawi. Pengertiannya secara bahasa: kebalikan dari curang, ada juga yang mengartikan pertengahan dalam suatu urusan tidak lebih dan tidak kurang. Sedangkan pengertian adil menurut para Fukaha adalah orang yang kukuh ketakwaannya serta maruahnya, tidak pernah melakukan dosa besar. 

Adapun pengertian adil menurut para Muhaddits adalah Rawi yang memenuhi unsure-berikut: muslim,balig, berakal, tidak fasik, dan tidak rusak akhlaknya.

Yang dimaksudkan dengan muslim ialah harus dalam keadaan Islam ketika menyampaikan suatu Hadis. Maka, riwayat orang kafir tidak diterima, karena mereka bukan ahli riwayat dari Rasullullah Saw. Ini sudah menjadi ijmak para ulama. Jadi, perawi yang diterima riwayatnya harus Islam saat membawakan Hadis, bukan saat meriwayatkannya.

Baligh, yang dimaksud dengan balig di sini adalah balig secara fitrah. Biasanya balignya seseorang itu pada usia 15 tahun, pada usia balig itu seseorang menjadi mukallaf. Syarat balig ini menurut jumhur ulama. Di samping itu, ada juga ulama berpendapat bahwa diterima riwayat anak yang mumayyiz (dapat membedakan sesuatu secara sempurna) untuk mereka berhujjah.

Dalam praktiknya, ijmak sahabat menerima riwayat Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Nukman bin Basyir, dan lainnya. Para sahabat ketika itu tidak membedakan mereka yang kecil dan yang telah balig.

Berakal. Sudah tentu, mereka yang diterima riwayatnya harus berakal, tidak mungkin orang gila. Sementara yang dimaksud dengan tidak fasik adalah orang yang tidak melakukan dosa besar.

Terakhir, tidak rusak akhlaknya. Yaitu orang yang meriwayatkan hadits haruslah memiliki akhlak yang bagus dan kebiasaan yang baik pula.

Cara menetapkan seseorang itu adil 

Ada dua cara menetapkan seseorang itu adil, yaitu: Tansis dan Syuhrah. Tansis adalah ada seorang ulama yang melakukan jarh wa ta’dil (meneliti secara mendalam tentang pribadi) terhadap seorang Rawi.

Sementara Syuhrah ialah perawi tersebut terkenal keadilannya di antara ahli Hadis dan lainnya, banyak pujian orang-orang kepadanya dengan sifat-sifat terpuji seperti amanah. Maka hal itu cukup untuk menetapakan ke-adil-annya .

Dhabith-nya Rawi. Arti dhabith menurut bahasa adalah perlunya sesuatu. Sedangkan menurut istilah: hendaklah Rawi itu kuat hafalannya, tidak pelupa. Ia Dhabith dari segi hafalannya dan kitabahnya (tulisannya). Dhabith dibagi dua; Dhabith Shadri dan Dhabith Kitabah.

Dhabith Shadri adalah Rawi menghafal apa yang ia dengar dari orang lain dan memungkin bagi dia untuk menghadirkan apa yang dia hafal disuatu saat tanpa melebihi dan mengurangi dari yang dihafalnya .

Dhabith Kitabah ialah Rawi mampu menulis apa yang ia dengar dari orang lain bersama buku yang dimilikinya serta mampu memperbaikinya semenjak ia mendengarnya.

Untuk mengetahui seseorang Dhabith atau tidaknya biasa dengan dua cara, yaitu dengan membandingkankan riwayat Rawi dengan riwayat yang lainnya, dan dengan menguji para Muhaddits 

Secara urutan Dhabith dalam Rawi ada tiga tingkatan, yaitu Martabatul Ulya: perawinya disifati dengan tamamud dhabthi, tingkatan ini untuk Hadis Shahih. Kedua Martabatul Wustha: perawinya disifati dengan khaffud dhabthi, martabat ini untuk Hadits Hasan Lidzatihi. Terakhir, Martabatul Dunya yaitu perawinya disifati dengan dhaif dhabthi atau lemah, tingkatan ini untuk Hadits Dhaif.

Selamat dari Syadz. Pengertian Syadz adalah berlawanan yang diriwayatkannya dengan diriyawatkan orang lain yang lebih kuat hapalannya, dan tidak mungkin menggabungkan pendapat perawi yang Syadz dengan perawi yang Tsiqqoh atau kuat. Jika digabungkan maka akan rusak suatu rawi. Wallahu ‘A'lam.

Selamat dari Illah, yaitu bebas dari aib. Di dalam bidang Hadis dilarang berhujjah dengan orang yang memiliki aib.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top