Cinta, Kamu Adalah Seorang Penulis [Bagian 1]



Foto Ilustrasi: Google Image

Oleh: Muhammad Daud Farma


Mayoritas orang menganggap bahwa menulis itu adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan, apalagi memulainya. Hal itu akan membuat menulis mejadi kegiatan yang sulit dan membosankan.

Namun jika kita mulai menuliskan apa yang ada di benak kita, kita akan terbawa dan larut di dalamnya. Melebur menjadi satu bagian indah yang terungkap dengan rentetan kata-kata indah nan membius pembacanya. Sungguh betapa indahnya menulis.

Tapi masing-masing kita adalah orang yang berbeda, kita terlahir mempunyai hobi dan bakat tersendiri dan juga cenderung berbeda satu sama lain.

Ada yang mempunyai bakat menulis, tetapi ia tidak menjadikannya hobi dalam kesehariannya. Ia hanya menulis saat mood-nya sedang bagus dan ketika ada waktu yang menurutnya luang, tetapi sekali ia menulis, hasilnya memuaskan dan menaraik minat pembaca. Itulah yang dikatakan bakat.

Ada yang hobi menulis, hari-harinya diisi dengan menulis dan terus menulis, namun amat disayangkan, tulisanya tidak karuan dan tidak selalu memikat hati orang yang membacanya.

Dan yang amat kita sedihkan ialah seseorang yang sama sekali tidak pernah mau menulis dan tidak pernah mau memulainya, ia adalah siswi SMA Negeri 1 Ngkran desa Simpang 4. Namanya Laila, dia adik kelasku sekaligus anak dari pamanku.

Ketika suatu sore aku bertanya kepadanya, "La..., kamu suka nulis gak?" Hal itu aku tanyakan padanya lima tahun yang lalu.

"Bang Qois, Laila tidak suka nulis. lebih baik Laila menanam satu hektar padi di sawah, dari pada menulis!" Jawabnya dengan nada sedikit ketus.

Aku mencoba meyakinkanya, aku ingin bilang kepadanya bahwa ia mempunyai bakat menulis yang alami.

"La, dengarkan aku baik-baik! Abang jujur ke kamu, Abang tidak sedang gombalin kamu...! Kamu itu mempunyai bakat menulis La, kamu itu adalah seorang penulis, kamu adalah penulis yang sebenarnya!" Kataku dengan nada yang keras, agar dia tahu bahwa aku sedang marah padanya.

Namun ia tidak peduli, ia malah menjawab pernyataan ku dengan nada lebih ketus dari sebelumnya.

"Bang..., please deh, jangan gombalin Laila biar mau menulis! Abang lihat sendiri kan, bahwa memang aku tidak hobi menulis. Pelajaran Biologi yang disuruh meringkas pun aku mengerjakannya dengan terpaksa, karena aku tidak suka menulis. Jadi tolong jangan gombalin Laila untuk yang ke sekian kalinya biar mau menulis." Jawabnya dengan penuh harap, agar aku tidak menggombalinya lagi.

Di saat aku mengungkapkan hal itu ia selalu menganggapku menggombalinya, padahal aku sudah jujur mengatakan kepadanya bahwa ia adalah seorang penulis yang mempunyai bakat asli.

Hari demi hari kucoba meyakinkannya tanpa ada kata menyerah dan putus asa, namun ia tetap saja memarahiku dan dengan ketus menanggapi nasihatku dengan acuh tak acuh.

Bulan-demi bulan kucoba terus meyakinkan dirinya, namun ia tetap tidak menggubris nasihatku. Bahkan ia bilang, "Bang, kalaulah Abang bukan kakak kelas dan kakak sepupuku, aku sudah gampar Abang bolak-balik!" Katanya dengan nada keras dan dengan mimik wajahnya yang memerah padam, seakan aku yang telah menggamparnya duluan ketika melihat wajahnya yang memerah.

Mulai saat itu, aku tak pernah lagi mencoba meyakinkan dan menasehatinya untuk menyukai dunia tulis menulis, karena aku tidak mau tangannya itu menyentuh wajahku untuk yang pertama kalinya.

Sedikit tentang Laila, dia orangnya agak tomboy. Tapi ia sholehah dan menutup diri, tidak mau dekat laki-laki. Kecuali dengan aku yang memang masih terhitung saudaranya. Gayanya funky seperti gaya seorang remaja yang siap tampil ngeband acara sekolah.

Ayahnya orang Batak Toba, ibunya orang Jawa tulen. Mungkin ia mengikuti jejak bapaknya yang funky dan trendi, karena aku sempat menyimak kisah bapaknya ketika masih bujangan dulu. Aku dekat dengan bapaknya, karena bapaknya adalah pamanku sendiri, aku sangat akrab denganya. Sehingga hampir tak ada rahasia yang disembunyikan beliau dariku.

Waktu kita kecil dulu, kami sering dicomblang-kan satu sama lain. Tapi saat itu kami masih bau kencur, jadi tidak begitu paham dengan apa yang orang dewasa katakan.

Begitu kita sudah tumbuh dewasa dan sudah duduk di bangku SMA, kami malah dilarang berteman, bahkan bertemu saja seperti hal yang sulit terjadi. Karena keluarganya khawatir aku suatu saat nanti akan mencintai anaknya Laila, karena bapaknya telah menganggapku seperti anak kandungnya sendiri.

Aku pun sulit menerima kenyataan itu, ketika aku bertanya pada ibuku jawaban yang sama juga aku dapati. Beliau juga melarangku untuk menemuinya agar aku tidak mencintainya. Karena Ibu sudah menganggap Laila sebagai anak kandungnya sendiri, karena sejak kecil Laila sering main ke rumahku. Begitu juga diriku, aku sering main ke rumahnya.

Jarak rumah kita hanyalah tiga puluh meter saja, mungkin tiga kali loncat harimau lansung sampai. Hal itulah yang membuat kita dekat satu sama lain, karena seringnya bertemu dan bercanda bersama.

Ayahnya sempat bercerita, "Nak Qois, dulu waktu paman masih muda, Paman ini adalah seorang gitaris, funky dan puitis. Tapi Paman tidak nakal seperti teman Paman yang lain. Dulu Paman sering baca puisi di dalam kelas waktu SMA, Paman sering bermain gitar di bawah pohon kayu yang tumbuh di pojok halaman sekolah. Paman juga tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu, paman akan dipukul kakekmu kalau tidak pergi ke masjid untuk menunaikan shalat fardhu berjama'ah.”

Sempat paman berhenti menghela nafas dan meneguk teh yang ada di depannya, sebelum beliau melanjutkan cerita itu.

“Di acara wisuda paman dulu, paman ditunjuk sebagai pembaca puisi yang berjudul, “Guruku” dan itu puisi karya paman sendiri. Setelah paman selesai membaca, semua yang menyimak menyapu air mata yang tiba-tiba megucur dari sudut mata yang basah, paman juga tanpa disadari sempat menitikkan air mata. Jarak beberapa menit, paman tampil kembali membawakan sebuah lagu karangan paman sendiri judul lagunya, "Senyumlah Sahabatku". Alhamdulillah, paman mampu menghipnotis dan membuat mereka yang mendengar dendang paman tersenyum, ceria dan riang gembira, bernyanyi mengikuti lantunan lagu paman.” Lanjutnya sumringah.

“Dan tiga tahun setelah wisuda, Paman sudah duduk di bangku kuliah, ada sepucuk surat yang datang untuk Paman. Dan ternyata penulis sepucuk surat itu ialah gadis cantik dan sholehah yang bernama Sulastri, yang sekarang menjadi ibunya Laila." Paman bercerita panjang lebar tentang masa lalunya kepadaku, karena ia menganggapku sudah sebagai anak kandungya. Karena Paman tidak punya anak laki-laki, dan Laila adalah anak gadis semata wayangnya.

Berbeda dengan diriku, aku adalah anak terakhir dari 4 bersaudara, dan semuanya laki-laki. Makanya ibuku sudah menganggap Laila seperti anak gadisnya sendiri.

Setelah mendengar cerita paman, aku baru memahami bahwa ternyata Laila adalah titisan darah daging dari seorang bapak yang puitis dan pujangga perangkai kata yang memang bakatnya menulis. Tapi sayangnya, paman tidak melanjutkan karyanya. Mungkin itulah sebabnya Laila tidak suka menulis, walaupun ia mempunyai bakat warisan dari bapaknya.

Waktu tak pernah berenti berputar, dan ternyata waktu telah berjalan kurang lebih dua tahun. Dua tahun sudah aku tidak pernah berjumpa Laila lagi, aku mencari-carinya ke mana pun. Tapi aku tidak pernah menemukannya. Setelah lulus aku merasa bahwa Laila menjauh dariku dan ingin menghindar dariku, mekipun aku selalu mencari keberadaannya tetapi nihil, aku tak menemukan jawaban.

Setelah lelah dan putus asa, akhirnya kuputuskan untuk bertanya pada ibuku. Meskipun awalnya beliau enggan menjawab pertanyaan ku, tapi kali ini beliau menjawab dengan mata berkaca-kaca. Ibuku memberitahukan bahwa Laila melanjutkan kuliah ke Pakistan.

Kabar yang menurutku ganjil dan tidak masuk akal, karena selama ini Laila tidak pernah menceritakan hal itu kepadaku, setelah gamang beberapa hari akhirnya aku memberanikan diri bertanya pada paman tentang kepastian dari puterinya. Paman pun menjawab pertanyaanku dengan ekspresi datar dan nyaris tak memandangku sedikitpun. Beliau bercerita bahwa dua tahun terakhir ini memang Laila kuliah di Pakistan karena mendapatkan beasiswa yang telah ia idan-idamkan sejak kelas dua SMP.

Sementara aku melanjutkan kuliah ke School Fullday yang letaknya didaerah terpencil, yaitu Kuta Cane, Kabupaten Aceh Tenggara. Kuliah di School Fullday, tidak jauh beda dengan masuk pesantren, hanya saja nama lembaganya yang bukan Pesantren. Salah satu peraturanya ialah, tidak boleh memegang handphone, dan mahasiswanya wajib tinggal di asrama.

Tiga bulan ke depan adalah hari libur untuk Mahasiswa School Fullday. Setelah berkutat dengan berpuluh-puluh diktat tebal yang menjadi bahan ujian akhir para mahasiswa Scool Fullday. Aku pulang ke rumah.

Bersambung...

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top