Gadis Apartemen Seberang


Ilustrasi
Oleh: Farhan Jihadi

Salah satu jendela flat apartemen di hadapanku terbuka. Dari celah jendela yang terbuka itu tampak seseorang dengan kerudung jingga. Kerudung besarnya terurai hingga dada. Wajahnya putih, begitu menyegarkan. Matanya bulat. Alisnya tebal dengan hidung mancung melekat di bawahnya. Jarak apartemen itu hanya beberapa meter, tidak terlalu jauh. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Cantik.

"Kenapa Agam tidak memberitahukan padaku tentang gadis ini. Ia sering duduk di balkon ini. Agam pasti pernah melihatnya juga. Pasti itu."

***

Matahari mulai beranjak terbit dari ujung paling timur, segala jenis warna mulai jelas terlihat. Pemandangan indah bermunculan. Birunya langit luas di angkasa dihiasi sedikit percikan awan susu, apartemen bertingkat di seberang berwarna kecoklatan serupa warna kulitku, sebatang pohon penuh dedaunan hijau dengan sekelompok burung gereja hinggap di dahannya.

Pagi memang awal segala keindahan. Mata sebagai indra penglihat akan berfungsi maksimal setelah cukup beristirahat. Penikmat mentari pagi seperti diriku tentu sulit mengambarkan betapa indahnya pagi hari. Yah, walaupun tidak sesulit usaha Agam membersihkan balkon belakang yang sudah bertahun-tahun tidak terawat ini.

"Sudahlah Gam, tidak ada gunanya kau membersihkan balkon angker ini. Pemandangan di belakang inipun tak ada yang menarik. Sia-sia saja kerjamu itu, buang-buang tenaga."

Minggu lalu aku melihat Agam sedang bersusah payah merapikan dan membersihkan balkon belakang yang tak pernah dijamah ini. Balkon penuh benda-benda rongsokan yang ditinggalkan pemilik sebelumnya.

"Jangan lupa Allah itu indah dan mencintai segala keindahan". Ia menjawabnya dengan begitu religius seolah sedang menceramahiku.

Balkon angker yang tidak pernah tersentuh selama bertahun-tahun tiba-tiba dibersihkan Agam, layaknya ia membersihkan motornya yang setiap minggu dicuci, disampo, dilap dan disemir dengan Kit. Cuma yang terakhir yang tidak digunakan. Tak bisa kubayangkan bagaimana jadinya balkon seandainya dilap lagi menggunakan Kit, pengilap body motor. Bisa-bisa kakiku terpeleset berdiri disini.

"Gam, sesekali jangan cuma dicuci. Pakailah motormu itu membonceng seorang gadis, bawa dia ke mana gitu. Pantai Lhoknga atau air terjun Samahani atau bisa juga kau bawa ke tempat lain, Gam. Jalan-jalan, happy-happy."

"Atau jangan-jangan kau ingin menikah dengan motor butut peninggalan prasejarah itu. Jika iya, Kau tak perlu mengundangku ke pesta nikah. Aku pastikan tidak akan datang," begitulah sindirku padanya hampir tiap pekan. Motor antik yang saban minggu disemir dengan Kit itu memang tak pernah tersentuh seorang wanita pun. Hanya ibu dan kakak perempuan Agam yang selalu dibawa keliling, selebihnya hanya teman laki-laki tanpa termasuk teman waria.

"Terserah kau saja, Min. Aku nggak mau mengikuti jejakmu. Saban hari membawa anak gadis orang yang berbeda tiap minggu bahkan tiap hari. Hari ini si A, besok si B. Besoknya lagi si C, si D atau mungkin sampai si Z"

"Hei... Hei... Tidak ada si D, ya. Cuma sampai si C, semuanya-pun kau mengenalnya," aku menolak jika Agam menyebutku memiliki banyak perempuan. Apa salahnya sih memiliki banyak kekasih? Jika satunya membuatku pusing, aku bisa memilih yang lain. Simple.

"Bukannya masalah si A, si B atau si C. Masalahnya kau membawa-bawa mereka tanpa ikatan pernikahan. Tidakkah kau mengerti hal itu...? Aku tidak tahu apa yang kau lakukan saat berdua saja bersama mereka. Pegang tangan, ciuman atau bahkan..."

Aku langsung menghentikan perkataannya itu, Agam terkadang kelewatan batas menghakimiku. Ia selalu berceramah hal yang sama setiap saat, katanya berpegang tangan yang bukan muhrim itu haram, apalagi sampai berpelukan dan ciuman. Aku sudah tahu, bahkan sudah hafal isi nasihat rohaninya itu. Seharusnya ia mengganti topik khutbah, agar jamaah sepertiku tidak bosan.

Ia juga menceramahiku tentang zina. Kalau hal itu, tanpa diceramahinya semua orang juga tahu. Saban Jum'at ustaz tetangga berkhutbah masalah zina; mulai dari zina mata, telinga, tangan, hati dan zina-zina yang lain termasuk zina pikiran dan zina pemikiran. Yang aku khawatirkan malah Agam, aku berharap ia tidak menganggap dirinya lebih suci daripada diriku karena inilah salah satu ciri orang-orang yang mulai terkena zina pemikiran, begitulah kata pak ustaz tempo hari. Seharusnya zina pemikiran ini juga diutamakan sehingga orang-orang yang menganggap dirinya suci dan menuduh orang lain penghuni neraka berkurang.

"Hari ini kau membawa Susi, besoknya Sasa, esoknya lagi kau membawa Sisi. Pada akhirnya mereka hanya akan jadi sisa bagi orang lain," katanya seperti biasa menutup kuliah tujuh menit itu.

Aku memang tidak pernah berbuat lebih dari yang disangkakan Agam, biarpun ilmu agamaku minus setidaknya aku tidak pernah melebihi batas bercumbu dengan anak gadis orang. Kalaupun iya, itu pun kami lakukan bukan dengan paksaan tapi kemauan, jadi tidak ada pihak yang tersakiti. Agam terlalu kuno. Tidak berpikir maju. Kolot.

Ia tidak mengerti bagaimana indahnya memegang tangan wanita, memeluk dan sebagainya yang lazim dilakukan orang pacaran. Baginya memegang tangan wanita yang bukan muhrim itu berdosa, apalagi jika dilakukan lebih dari itu. "Haram tingkat tinggi," begitulah Agam mengistilahkan dosa besar.

Ia memang terlalu berpikiran buruk tentangku, aku tidak pernah sekalipun berbuat hingga ke tingkatan dosa besar seperti itu. Walaupun sejujurnya aku paham maksud Agam, semua nasihatnya benar. Tidak ada yang salah tapi ia terlalu berlebihan.

Begini-begini aku juga mengerti sedikit tentang agama. Setiap gadis yang kuajak mingguan selalu kuminta untuk membawa mukena, karena biasanya jika azan berkumandang, kami singgah ke mesjid untuk shalat sejenak. Walaupun ada juga gadis yang selalu enggan kuajak shalat dengan berbagai alasan. Saat ngedate kami pasti menghabiskan waktu yang lama dan tentu melewati banyak waktu shalat, tapi ia sekalipun tak pernah shalat. Gadis ini selalu beralasan; lagi tidak suci, lagi berhalangan, lagi datang bulan dan macam-macamnya. Menurutku ini tipe gadis penyakitan. Entah kapan gadis itu punya waktu suci hanya untuk sekedar shalat atau mungkin ia memang benar-benar tidak suci lagi, entahlah. Aku bernasihat, namun bagi sebagian orang terkadang nasihat itu percuma, termasuk bagiku.

Seharusnya Agam bersyukur punya sahabat yang mengajak orang lain kepada kebaikan sepertiku, seperti nasihatnya itu. Siapa tahu gadis yang bersamaku itu bertambah baik, tambah rajin shalat misalnya. Perubahan memang membutuhkan waktu, manusia tidak bisa berubah secepat kilat. Manusia jelas bukan seperti balkon yang dalam satu hari bisa kinclong, bersih mengkilat tanpa noda dalam sekali sentuhan Agam.

Minggu lalu, balkon masih sangat berantakan. Barang-barang tak berguna berserakan tak beraturan. Kayu-kayu lapuk bertumpuk bersama kumpulan besi-besi berkarat, puluhan botol minuman kosong berjajar di antara goni penuh baju dan sepatu bekas. Kardus-kardus yang berhimpitan dengan plastik berwarna bertaburan. Buku-buku serta majalah kuno yang entah milik siapa. Semuanya barang peninggalan penghuni lama yang sekarang entah di mana.

Beruntung, ia masih bisa menemukan beberapa barang layak pakai. Sebut saja, satu periuk nasi yang masih bagus setelah dibersihkan dengan susah payah dan satu set meja-kursi yang tengah kududuki ini.

Sebenarnya, baru kali ini aku duduk di balkon ini. Tempo hari, setelah balkon bersih, Agam sering memakai balkon sebagai tempat mengulang-ulang hafalan. Ia telah terdaftar di kelas menghafal Al-Qur'an yang baru dibuka pihak kampus untuk mendukung mahasiswa yang ingin mendalami dan menghafal Al-Qur'an, mungkin ini juga yang menggerakkannya membersihkan balkon.

***

Matahari kini kian meninggi. Kelompok burung gereja terbang, menghilang, meninggalkan pohon sendiri. Warna kecoklatan apartemen seberang semakin cerah terpantulkan. Langit tidak lagi dihiasi percikan awan susu seperti biasa. Mungkin awan susu sudah melebur bersama kopi hangat di tanganku.

Setelah melihat gadis dari sebuah flat apartemen seberang beberapa hari lalu aku jadi sering duduk di balkon ini. Ya, tentu saja setelah Agam selesai mengulang hafalan Al-Qur'annya. Biasanya ia mengulang hafalannya siap subuh hingga matahari keluar. Aku sengaja tidak menanyakan tentang gadis apartemen seberang, bisa-bisa ia memberiku tausiyah dan aku harus mendengarnya seperti terdakwa di majelis persidangan.

Setelah beberapa hari dalam pantauan, gadis apartemen seberang yang kutunggu itu membuka jendela tepat pukul 8 pagi. Selalu dia yang membuka jendela di flat tersebut; bukan ibunya, ayahnya atau siapapun yang lain yang tinggal bersamanya. Aku tidak tahu, ia melakukan itu karena memang rutinitas atau karena gadis itu tahu bahwa aku merindu untuk menatapnya setiap hari. Keduanya mungkin benar atau yang kedua mungkin lebih tepat.

Salah satu pintu belakang flat di apartemen seberang terbuka bersamaan dengan bibirku yang menyentuh gelas kopi. Gadis itu keluar dengan membawa ember penuh kain. Wajahnya tampak lelah. Ia mungkin baru saja selesai mencuci pakaian. Kerudungnya terurai hingga dada. Keringat di wajahnya seolah membentuk make-up alami yang membuatnya semakin terlihat anggun.

"Hei... Namamu Putri ya...?" teriakku dari arah balkon saat ia sibuk menjemur pakaian. Ia tidak melihat, bahkan tidak menoleh sedikitpun. Rasanya aku telah salah memanggil nama. Putri, nama yang kutebak ternyata bukan dirinya.

"Heeei, namamu Putri ya...?? Aku mengulang dengan nada lebih jelas. Ia belum menoleh. Putri memang bukan namanya. Wanita senang dipanggil dengan nama yang indah dan "Putri" menjadi pilihanku. Biasanya wanita yang kusapa begitu pasti menoleh walaupun itu bukan nama aslinya.

Aku mulai memanggil dengan nama lain, mungkin salah satu ada namanya. Segala nama wanita dalam pembendaharaan kamusku kusebutkan. Mulai dari huruf A seperti huruf Z, mulai dari Anita hingga Zebra (maksudku Zenab, Zebra itu nama motor butut belang-belang Agam). Gadis itu tak mendengar, tak melihat. Percuma.

Mungkin gadis ini berbeda, selama ini belum ada wanita yang tidak menoleh saat mendengar suara indahku. Gadis ini menarik, tidak biasa. Ia istimewa. Gadis ini pasti tuli.

Dari balkon seberang terlihat ia hampir selesai menjemur pakaiannya. Tali jemuran di balkon seberang itu tampak hampir penuh, tanpa berpikir panjang setelah dicampakkan begitu saja, jiwa kesatriaku tumbuh. Allah masih menganugerahkan karunia kekuatan yang luar biasa untukku dan ini tidak boleh disia-siakan. Entah bagaimana caranya, aku melompat. Tanpa sadar telapak kakiku menyentuh permukaan tanah. Aku sekarang berada di luar balkon.

"Assalamualaikum, Ukhti" sapaku sambil bergerak ke arah balkon di flat apartemen seberang, tempat gadis itu menjemur pakaian.

Meskipun menjawab salam hukumnya wajib, yang disapa tak menunjukkan gelagat apapun. Sapaan pamungkas "Akhi-Ukhti" yang biasanya digunakan jamaah rohani kampus juga tidak membuatnya bergeming. Ia masih fokus dengan kesibukannya. Menoleh tidak, melirik pun tidak, apalagi melempar sebuah senyuman.

Sekarang jarakku dengan gadis itu sangat dekat. Aku berusaha menyapanya dengan salam yang masih sama. Hasilnya nihil. Dengan jarak dekat seperti ini mustahil ia tidak mendengar, kecuali jika ia memang mengalami masalah pendengaran seperti dugaanku sebelumnya.

"Hei Putri, menjawab salam hukumnya wajibkan...? Apalagi salam dari pria keren." Lagi-lagi aku berbicara sendiri, layaknya artis yang melakukan monolog di atas panggung. Tanpa seorang pun yang menonton. Kosong, sepi. Monolog pagi hari yang sangat menyedihkan.

Sesaat sempat terbesit dalam pikiranku untuk memanggil namanya dengan lebih indah, lebih manusiawi, seperti saat memanggil adik-adik mahasiswa baru di masa orientasi, "brengsek". Kata yang sebenarnya tidak manusiawi dan bernada provokasi ini terkadang berhasil. Tidak hanya dalam urusan cinta, dalam politik negeri ini juga sering demikian.

Kata seperti brengsek, jahannam dan semisalnya lazim digunakan di negeri ini. Politikus menebar cinta saat pemilu tapi menciptakan kebrengsekan demi kebrengsekan ketika berkuasa. Menjahanamkan etika dan estetika. Tapi, aku bukanlah politikus, bukan juga pemuda brengsek. Aku hanyalah pencinta. Kata brengsek itu tidaklah cocok bagi jiwa-jiwa pencinta sepertiku dan tentu saja lebih tidak manusiawi untuk seorang wanita.

Gadis itu kini balik badan. Tali jemuran penuh, tidak menyisakan celah sedikit pun, bahkan untuk seekor burung yang biasa hinggap di atasnya. Gadis itu berlalu, masuk ke dalam flat. Pintu balkon kini tertutup. Sedang aku masih di tempat. Mematung tidak bergerak beberapa lama, tanpa alas kaki. Layaknya orang bodoh.

"Hei Min, Hei... Ngapain disana nggak pakek selop, lagi ngejar maling ya...?"

Panggilan Agam dari arah belakang membuyarkan lamunanku. Ia benar, aku memang sedang mengejar maling. Maling yang sangat cantik. Agam terlihat tertawa, sangat langka rasanya melihat ia tertawa keras seperti itu.

"Astaghfirullah, Miiin, kalau mau keluar, pakek baju dulu."

Teriakan Agam mengingatkan sesuatu, ternyata ia sedang melihatku; menggunakan celana pendek, tanpa baju, tanpa alas kaki dan rambut panjang yang masih acak-acakan. Benar-benar sempurna.[]

***

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top