Syariat; Brunei Kalheuh, Aceh Kalah?

Muhammad Najid Akhtiar


Oleh: Muhammad Najid Akhtiar

01 Mei 2014, Negara Brunei Darussalam resmi terapkan hukum Syariah bagi seluruh warga negara yang bermukim di negara tersebut. Penerapan qanun atas norma Islam ini tentu saja mengusik musuh-musuh Islam yang selama ini gencar merisik kekurangan dan merusak citra Islam. Terbukti dengan banyaknya kecaman yang diungkapkan oleh berbagai pihak baik di dunia maya maupun dunia nyata. 


Menepis semua suara sumbang dan respon negatif, Sultan Hassanal Bolkiah hanya menjawab tenang tapi tegas: “Keputusan untuk menerapkan hukum ini bukan untuk bersenang-senang tapi untuk mentaati perintah Allah seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an. Teori boleh saja menyatakan hukum Allah keji dan tidak adil, tapi Allah sendiri mengatakan hukumnya jelas adil.”

Satu sisi yang cukup menarik untuk kita soroti dalam perjalanan penerapan hukum Syariah ini, proses yang dilalui semenjak awal terbitnya ide penerapan sampai ke hari pertama pemberlakuan hanya berlangsung kurang lebih 2 tahun. Waktu yang relatif singkat untuk mengaplikasikan aturan besar untuk tingkat sebuah negara, terlepas dari berapa luas wilayah negara tersebut.

Terawang jauh ke negeri orang, kembali kita pandang negeri sendiri. Aceh, atau yang dulunya dikenal Nanggroe Aceh Darussalam, merupakan sebuah wilayah di muka bumi Allah yang masyhur dengan kekentalan suasana Islaminya.

Tersebutlah suatu kisah tentang Nanggroe Aceh dengan segala hukum syariatnya. Negara yang aman, damai dan tenteram. Tak ada teror. Tak ada kepanikan. Tak ada warung remang-remang. Tak ada anak yang tak bertuan. Letaklah emas di tengah jalan, akan anda temukan ia terpacak di tempat. Tak ada yang berani menyentuh, takut kepada Yang Maha Melihat. Benar-benar negeri idaman. Baldatun aminatun wa Rabbun Ghafur.

Seiring dengan perjalanan waktu, peperangan demi peperangan, runtuhnya kerajaan sampai terbentuknya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di bawah kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terkuburnya dewan dan kediaman di dasar tanah, turut mengubur norma-norma dan hukum yang dulu dibina. Aceh kehilangan identitas, sampai sekarang.

Termaktub semenjak merdekanya Indonesia, Aceh telah riuh dengan berbagai ajakan menuju negeri Islam. Mulai dari DI/TII sampai GAM, semua aliran bergerak atas basis Islam. Seluruh elemen masyarakat diajak untuk bersatu mendukung, bersama menciptakan negeri idaman, Darussalam. Sontak saja rakyat jelata Aceh yang cinta agama menyambut pelawaan tersebut dengan sukarela.

MoU Helsinki 11 Juli 2006, menjadi titik akhir perjuangan para prajurit Aceh memperjuangkan negeri merdeka. Di dalam genangan darah, Aceh bangkit membangun pondasi pemerintahan sebagai salah satu provinsi Indonesia.

Syariat Islam kembali diteriakkan. Kali ini oleh tokoh-tokoh yang maju sebagai calon kepala pemerintahan. Rakyat Aceh diiming-imingi kembali dengan penegakan Syariat Islam. Terbayang di mata rakyat betapa indahnya alam di bawah hukum yang dijanjikan Allah.

10 tahun berlalu. Aceh telah berbenah. Gedung-gedung konstruksi telah berdiri di mana-mana. Menunjukkan betapa Aceh telah maju di bidang pembangunan. Pengemis-pengemis masih berkeliaran, tapi sekurang-kurangnya mereka punya rumah tempat untuk bemalam. Tak membuat sakit mata ketika memandang.

Syariat Islam? Lucu kalau ditanyakan. Masih seperti 10 tahun yang lalu, Syariat Islam masih diteriakkan. Oleh tokoh-tokoh yang sama, diramaikan oleh beberapa figur tambahan. Penegakan pernah diadakan, namun hanya berjalan kalau ada kesempatan. Itupun tajam ke bawah tumpul ke atas. Masih bertanya tentang Syariat Islam? Jangan sering-sering. Lucu kalau ditanyakan.

Kalau Brunei Darussalam berhasil menerapkan hukum Syariah hanya dalam kurun waktu 2 tahun, Aceh Darussalam terhitung sejak kesepakatan damai 10 tahun lalu masih berupa untaian kata. Belum lagi tahun-tahun yang berlalu sebelum itu, semenjak awal masa kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Duhai, masalah ini telah dibahas di berbagai forum di pelbagai kesempatan. Coba saja anda log in Facebook dan search tentang penerapan Syariah Islam di Aceh, akan anda temukan berbagai ulasan berikut makalah yang dibuat secara sangat bijaksana oleh berbagai pihak.

Orang Aceh, Jawa, Sulawesi sampai luar negri semua ikut berpartisipasi meramaikan diskusi ini. Menertawakan Aceh yang tak lagi muda, masih berkutat pada hal-hal yang sama namun tak pernah ada ujungnya. Sementara rakyat Aceh sibuk mengkritisi pemerintah atas kegagalan mereka menerapkan syariat yang selama ini dikoar-koarkan. Pemerintah bodoh. Pemerintah tidak becus. Pemerintah gagal. Seraya membanding-bandingkan pemerintah Aceh dengan Brunei yang telah sukses dari awal rancangan mereka.

Di sinilah letak salah satu pokok masalahnya. Satu hal yang perlu digarisbawahi dan diperhatikan dalam membandingkan Aceh dan Brunei, siapakah masyarakat atau warga yang diterapkan ke atas mereka hukum Islam itu sendiri?

Warga Brunei, jikalau anda pernah bertemu dengan mereka, sungguh akan anda temukan anak Melayu yang sopan dan santun. Lembut dalam perkataan, juga perbuatan. Berdiri perintah anda, mereka akan berdiri. Duduk, mereka akan duduk. Berlari dan begitu seterusnya. 

Mereka adalah suatu kaum yang patuh. Tatkala keputusan hukum Syariah dikeluarkan, mereka hanya mengangguk patuh. Justru warga luar dan pendatang yang riuh mempersoalkan. Bahkan jauh sebelum diterapkan hukum Syariah, tingkat kriminalitas di Brunei sudah cukup minim. Pertanda betapa warga Brunei telah membentengi diri mereka sendiri akan segala jenis tindak pidana yang durjana.

Bagaimana pula kita bandingkan dengan warga kita, warga Aceh? Perwatakan rakyat yang sudah lama terbiasa hidup dalam peperangan yang berlarut, hidup dalam kesusahan, tentu saja berbeda dengan watak mereka yang hidup bergelut dengan kenyamanan. 

Keras kepala. Tak mau menerima. Ketika Syariat Islam yang telah lama dicanangkan tidak juga berhasil, yang salah tetap pemerintah. Jauh sebelum pemerintah menerapkan syariat, kita selalu berkoar-koar meminta syariat, sedangkan diri kita masing-masing terus berbuat maksiat. Ketika pemerintah hendak menerapkan syariat, kita bersembunyi di balik tabir diam-diam berharap syariat tidak diadakan. Bermunculan pula akun-akun fiktif di dunia maya menyoraki syariat yang ketinggalan zaman.

Salah pemerintahkah? Kita tidak pungkiri adanya salah pemerintah. Namun yang tidak dapat kita nafikan juga, bahwa setiap individu di muka bumi Aceh bertanggungjawab atas berjalannya syariat tersebut. Bentengi diri sendiri dari maksiat, itulah jalan utama untuk menegakkan syariat. Tatkala semua orang di Aceh sadar akan hinanya suatu maksiat dan berusaha untuk menghindarinya, ketika itu syariat telah ditegakkan dengan sendirinya.

Kembali ke pembahasan penegakan oleh pemerintah, tentu saja pemerintah memegang peran yang sangat penting dalam hal ini. Karena penegakan hukum pidana bukanlah tugas yang bisa dilaksanakan oleh semua orang. Pemerintah telah diberi amanah untuk menunaikan impian tersebut, maka sudah sudah sepantasnya mereka selaku pemimpin yang memiliki wewenang dalam hal tersebut melaksanakan sedaya upaya untuk mewujudkannya. Tentu saja dengan catatan, tajam ke semua pihak.

Pemerintah menunaikan kewajibannya, demikian juga rakyat berjalan pada porosnya. Pemerintah menegakkan hukum syariat, rakyat bentengi diri dari maksiat. Berkoar-koar, semua orang juga bisa. Syariat; Brunei kalheuh, Aceh kalah?


Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top