Khalid Muddatstsir, Ketua Keluarga Mahasiswa Aceh Mesir 2017-2018

Khalid Muddatstsir
Husein, pusat sejarah Islam klasik kota Kairo. Suara Al-Quran menyeruak dari ruangan sederhana melalui jendela lantai atas sebuah apartemen. Wajah-wajah pemuda dari berbagai negara begitu khusyuk melantunkan ayat-ayat cinta tuhan, Al-Quran.




Seorang bertubuh mungil dengan wajah melayu terlihat tengah khusyuk dalam lantunan Al-Quran. Ia sedang menunggu Syekh Abdul Qadir, guru tahsin dan tahfizh Al-Quran. Banyak mahasiwa Al-Azhar terdaftar di daurah tahsin dan tahfizh Syekh asal Djibauti ini, salah satunya Khalid Muddatstsir


Sebentar-sebentar pemuda kecil itu menghentikan bacaan Al-Quran dan melirik ke arah pintu masuk, wajahnya seperti menyiratkan rasa bersalah. Dua minggu ia absen dari daurah tahsin. Khalid sibuk dengan berbagai kegiatan di ikatan kekeluargaan asal Aceh. 

“Apa Syekh Abdul Qadir datang hari ini...?” Ia bertanya pada seseorang disampingnya.

“Datang insya Allah. Mungkin agak telat.”

“Saya ingin minta maaf kerana tidak pernah datang hampir dua minggu lalu, sekaligus ingin minta izin, mungkin ke depan saya akan jarang masuk daurah tahsin.”

Khalid baru saja dikukuhkan sebagai ketua Keluarga Mahasiswa Aceh Mesir periode 2017-2018. Daurah tahsin yang diikuti bersama Syekh Abdul Qadir hampir selesai, namun nampaknya menjabat ketua Keluarga Mahasiswa Aceh akan sedikit membuatnya selesai lebih lama.

Syekh Abdul Qadir yang terkenal cukup tegas. Ia tidak mentolerir siswa yang tidak disiplin dan setengah hati mengikuti daurah. Syekh Abdul Qadir tidak segan-segan mengeluarkan siswa yang melanggar tata tertib daurah. Satu kawan Khalid pernah dikeluarkan.

“Tidak apa-apa, tidak masalah. Yang penting jangan tinggalkan Al-Quran. Datanglah kapan bisa, yang penting jangan berhenti,” pesan Syekh.

Khalid tidak menyangka, Syekh Abdul Qadir memberinya izin. Ia boleh pulang dengan perasaan lega, namun tugasnya sebagai ketua baru Keluarga Mahasiswa Aceh masih di garis start.


***

Desember 2010. Matahari baru saja ditelan kegelapan langit-langit Kairo saat Khalid menjejakkan langkah pertamanya di sebuah flat daerah Madinat Nasr. Ia dan rombongan anak-anak baru yang akan melanjutkan kuliah di Al-Azhar di sambut dengan meriah di Meuligoe Keluarga Mahasiswa Aceh. Kenduri makan besar digelar. Khalid tak pernah menyangka, enam tahun lebih setelah itu ia dipercaya menjadi ketua ikatan mahasiswa Aceh Kairo. 

Saat itu azan magrib baru saja selesai menggema di seantero kota yang digelari negerinya para nabi itu. Air wudhu’ menyentuh kulitnya. Dingin. Tubuhnya yang kurus itu menggigil. Kota Kairo sedang dalam masa puncak musim dingin. Suhu minus 10 derajat menusuk tubuh mungil Khalid yang hanya terbiasa dengan iklim tropis menyengat khas wilayah pesisir Indonesia. Ia belum terbiasa.

Khalid hanya anak biasa dari keluarga sederhana. Ia lahir tahun 1991 dari pasangan Bapak Abdullah Abidin dan Ibu Nurmiar. Khalid dididik dalam keluarga islamis. Sejak menamatkan Madrasah Ibtidaiyah Negeri Tungkop, ia melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren Darul Ihsan selama enam tahun. 

Di Darul Ihsan inilah ia mulai menanamkan hasrat untuk kuliah ke Mesir. Khalid ingin mengecap aura ilmu keislaman di negeri Imam Syafi’i hidup dan meninggal dunia. Tahun 2009 ia mengikuti tes masuk Universitas Al-Azhar yang dilaksanakan di Banda Aceh. Saat itu dibuka dua jalur, beasiswa dan non-beasiswa. Khalid memilih jalur beasiswa. 

Pengumuman keluar. Teman-temannya yang memilih jalur nonbeasiswa semua lulus seleksi, namun Khalid gagal. 

Ia lantas memilih mendaftar di kampus Islam terbesar di Aceh, UIN Ar-Raniry. Ia lulus dengan predikat nilai cukup memuaskan di jurusan Bahasa dan Sastra Arab. 

Tekad Khalid untuk bisa berkuliah di Universitas Al-Azhar Kairo belum sirna. Ia tidak berputus asa. Sambil belajar di UIN Ar-Raniry, ia terus mengasah ilmu agama dan bahasa Arab agar bisa secepatnya berkuliah di Al-Azhar.

Setahun kemudian Khalid mengikuti tes lagi. Kali ini tes tidak dibuka di Banda Aceh, tes dilaksanakan di Medan. Orang tuanya mendukung langkah Khalid untuk mengikuti seleksi lagi. Ia langsung berangkat ke Medan. Usaha dan doa orang tua membuatnya lulus tahun itu juga.

Cita-citanya berangkat belajar di Universitas tertua di dunia terwujud.

Khalid mendaftar di Fakultas Ushuluddin dan memilih jurusan Aqidah Filsafat. Kebenciannya pada kelompok radikal, mujassimah dan takfiriyah sudah mengakar di dalam hati. Ia berpendapat, kelompok radikal dan takfiriyah ini muncul karena kesalahan dalam memahami dalil-dalil agama terkait aqidah dan tauhid. Khalid ingin mendalami aqidah Islam yang benar dengan tujuan menangkal paham radikal yang sangat meresahkan dunia saat ini.

Selama kuliah di Al-Azhar, Khalid aktif mengikuti pengajian talaqqi khususnya yang berkaitan dengan aqidah dan tauhid. Sebelum begitu aktif di Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA), belajaar di berbagai mesjid dan madhiafah tempat talaqqi menjadi rutinitas hari-hari baginya.

Pemuda yang dilahirkan di Aceh Besar itu anak yang pintar dan berbakat. Ia menjadi murid kesayangan Syekh Ayyub al-Jazairy. Khalid bahkan mendapat legalitas langsung dari Syekh asal Aljazair itu untuk mengajar kitab Kharidah—kitab tauhid yang menjadi pegangan ahlussunnah wal jamaah— di Keluarga Mahasiswa Aceh. 

“Kamu itu unik! Kuliah di jurusan Aqidah Filsafat, anti takfirisme, tapi doyan musik Barat. Lebih baik Kamu itu mencintai produk Cina daripada produk Barat,” guyon temannya saat mendengar suara grup musik dari negeri Barat menggema di ruangan KMA. Grup seperti One Direction dan Cold Play dipaksa menyanyi dengan volume tinggi. Selera musik Khalid lumayan tinggi, ia tidak begitu menyukai lagu-lagu lokal.

“Bagiku, musik itu masalah selera, selera itu sulit dimengerti. Yang jangan kamu menganggapku melakukan amalan bid’ah atau kafir,” balas Khalid.

Pemuda langsing yang mengaku tidak menyukai ikan ini aktif hampir di seluruh kegiatan KMA, khususnya berkaitan dengan dunia tulis menulis. Khalid aktif menulis sekaligus menjadi editor di website Kmamesir.com dan buletin el-Asyi. Ia juga menjadi bagian utama dalam kru KMA TV.

***

Hampir tengah Malam. Sekelompok pemuda terdengar riuh di luar Meuligoe KMA, wajah mereka tampak letih. Khalid, Thaiburrifqi dan pengurus harian KMA baru saja pulang bersilaturrahmi. Silaturrahmi menjadi fokus utama Khalid untuk saat-saat ini. 

“Untuk saat ini, kita belum punya agenda besar. Sementara ini, KMA hanya menjalankan program lanjutan Publik Speaking dan kita juga sedang membuka pendaftaran baru sekolah menulis.” Ujar Khalid saat ditanya program yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.

Khalid dan Badan Pengurus Harian sedang giat menjalin silaturrahmi ke rumah orang-orang yang dituakan di KMA. Hampir setiap hari setelah shalat Ashar mereka bergerilya. Ia ingin memperkenalkan pengurus yang baru, sekaligus untuk membina jalinan komunikasi yang baik. 

“Silaturrahmi ini masalah rasa. Dan rasa kekeluargaan dan silaturrahmi ini harus benar-benar dijaga. Agar rasa memiliki KMA bisa dirasakan semua warga KMA. Nilai kekeluargaanlah yang membedakan KMA dan organisasi lain. KMA harus selalu seperti keluarga, ” ungkapnya. 

Khalid menghela nafas panjang. Besok, ia dan pengurus harian masih akan disibukkan dengan kunjungan silaturrahmi. Khalid berjiwa sosial tinggi, ia tidak ingin ada satu rumah pun yang luput. Baginya, ini langkah awal yang mesti dilakukan untuk membangun rasa kekeluargaan dan rasa sosial dalam tubuh Keluarga Mahasiswa Aceh. Khalid menyebut ini sebagai kunjungan kenegaraan.[]

Farhan Jihadi


Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top