Profil Singkat Syekh Muda Waly Al-Khalidy, Ulama Pembaharu Pesantren di Aceh (2)

Oleh: Tgk. Rahmat Zul Azmi.
play.google.com 


Pulang ke Aceh.

Setelah beliau berjuang menuntut ilmu agama selama bertahun-tahun, merasakan asam-garam kehidupan. Pada akhirnya beliau merasa sudah saatnya pulang ke kampung halaman, mengembangkan agama Allah Swt. di tanah kelahiran. Sekitar tahun 1939 beliau kembali ke Aceh Selatan disambut dengan perasaan bangga orang tua beliau dan masyarakat. Setelah beberapa lama berada di desanya, beliau bertekad untuk membangun sebuah pesantren, yang akhirnya dikenal dengan nama pesantren Darussalam.

Dalam masa-masa awal meletakkan pondasi mengembangkan pesantren itulah orang-orang terhormat dari keturunan bangsawan di Kecamatan Labuhan Haji mengajukan tawaran kepada beliau untuk dijadikan sebagai menantu mereka. Tengku Muda Waly tidak keberatan demi kepentingan agama, apalagi istri-istri beliau yang lain dan keluarga masih berada di Padang.

Setelah beliau menikah lagi dengan seorang wanita bernama Raudhatun Nur. Maka beliau mulai mendirikan lagi sebuah pesantren di Ibu Kota Kecamatan.

Di pesantren yang beliau bangun seperti yang telah disebutkan di atas, beliau mengajar dan menghadapi masyarakat Islam yang ingin menimba ilmu pengetahuan agama darinya. Pada setiap bulan suci Ramadan mulai sepuluh hari sebelum sebelum Ramadan hingga hari raya Idul Fitri, Tengku Muda Waly mengadakan Khalwah bagi umat islam yang berminat. Berkhalwah dalam mengamalkan dzikrullah dan shalat berjama’ah selama 40 hari 40 malam. Oleh karena dalam berkhalwah itu merupakan perjalanan lahir dan batin, maka khalwah itupun disebut dengan suluk.

Adapun dalam pendidikan berbagai disiplin ilmu pengetahuan agama adalah sama seperti kebanyakan pesantren yang berkembang di Indonesia. Hanya saja daerah Aceh beliau telah membawa kemajuan pertama kali untuk dunia pendidikan pesantren Aceh, yaitu dengan membawa disiplin ilmu yang baru di kalangan pesantren di Aceh, seperti ilmu balaghah, ma’ani, bayan, badi’, ushul fiqh, musthalah hadis, ulumul qur’an, mantiq, ‘arudh, tasawwuf, dan lain sebagainya. Dan semuanya diajarkan secara sistematis dari kitab yang paling mudah sampai kitab yang paling tinggi tingkat kesukarannya.

Tengku Muda Waly juga melakukan reformasi sistem kepesantrenan, dimana beliau telah membaginya menjadi kepada dua bagian, yaitu sistem qadim dan sistem madrasah. Sistem qadim adalah sistem tradisional yang memfokuskan pada pengajian kitab tertentu sampai tamat. Sistem madrasah pula dapat disebut dengan sistem kuliah pada jaman sekarang ini. pada sistem ini pembelajannya bukan lagi di masjid, surau, dan dayah, tapi sudah memiliki pola dan gedung khusus untuk itu. Sistem ini tidak perlu menamatkan kitab, tetapi harus banyak diskusi dari guru yang mengajar.

Kesungguhan beliau dalam mengajar memang sungguh luar biasa, dimana hampir keseluruhan waktu beliau selain dari ibadah adalah penuh terisi untuk mengajar. Diceritakan, bahwa ketika beliau sudah mulai sakit-sakitan, beliau bersikeras untuk tetap mengajar. Mengingat akan kondisi kesehatan beliau yang demikian, maka murid-muridnya yang senior sepakat untuk tidak mendebat atau bertanya terlalu mendalam. Namun, tidak disangka hal ini malah membuat beliau marah. Rupanya pertanyaan dan debat adalah obat yang paling mujarab bagi beliau.


PUSA dan Jaman Jepang.

PUSA (Perserikatan Ulama Seluruh Aceh) didirikan pada tahun 1939, sebagai hasil dari muktamar ulama-ulama Aceh di Glumpang Dua, Aceh Utara. Para ulama PUSA lebih dikenal dengan sebutan “kaum muda”, sedangkan ulama non-PUSA disebut “kaum tua”. Diantara para ulama yang merupakan pucuk pimpinan PUSA adalah Tengku Daud Beureueh, Tengku Abdurrahman Meunasah Meucap, Tengku Abdul Wahab Seulimum, dan lain-lainnya. Sedangkan Tengku Muda Waly dan Tengku Hasan Krueng Kale merupakan diantara ulama yang termasuk dalam ketegori “kaum tua” atau non-PUSA.

Perbedaan utama antara kaum tua dan kaum muda adalah dari segi politik, dimana kaum tua lebih memfokuskan pada segi pendidikan, bagaimana membentuk para santri menjadi ulama. Sedangkan kaum muda terjun langsung dalam dunia perpolitikan. Inilah di antara faktor yang menjadi jurang pemisah diantara ulama PUSA dan non-PUSA, ditambah lagi dengan perbedaan cara pandang antar kedua kubu itu. 

Sungguh pun demikian, dalam menghadapi kaum penjajah baik itu kolonial Belanda ataupun Jepang, semua ulama Aceh pada saat itu berusaha menanggalkan baju PUSA atau non-PUSA, dan bersama-sama menyusun barisan mengobarkan semangat jihad untuk menangkis serangan penjajah.

Maka para ulama Aceh pada waktu itu, termasuk Tengku Hasan Krueng Kale dan Tengku Muda Waly telah mengeluarkan fatwa jihad fi sabilillah, membentuk laskar-laskar hizbullah untuk melawan penjajah.

Peristiwa berdarah di Aceh.

Pada tanggal 21 September 1953 telah meletus di Aceh peristiwa berdarah, menurut sebutan rakyat Aceh atau pemberontakan Daud Beureueh, menurut sebutan pemerintah Indonesia.

Tengku Muda Waly dan beberapa orang ulama Aceh pada waktu itu termasuk Tengku Hasan Krueng Kale berlainan ijtihad dengan Tengku Daud Beureueh, sehingga mereka tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh Daud Beureueh dan pengikutnya. Tanpa perlu mengubah fakta sejarah, kita harus memahami bahwa perbedaan pendapat dikalangan para ulama adalah perkara biasa, maka hendaklah kita tetap menghormati dan memuliakan mereka, menempatkan mereka di posisi yang sesuai dengan kesucian dan keluhuran niat mereka semua.

Wafat dan Wasiat.

Pada hari Selasa, tanggal 11 Syawal 1381 Hijriah, atau bertepatan dengan 20 Maret 1961, pada jam 15.30 WIB., bumi Aceh kehilangan seorang tokoh besar, sekaligus ulama pembawa nafas pembaharuan sistem pendidikan pesantren. Tengku Muda Waly berpulang ke rahmatullah, dishalatkan oleh para ulama dan murid-murid beliau yang sangat mencintainya.

Setelah bertahun-tahun menjadi sumber referensi umat, beliau kembali ke hadirat tuhannya meninggalkan jasa-jasa yang akan terus dikenang oleh masyarakat Aceh, terutama kalangan ulama dan santri. Pondok pesantren Darussalam yang beliau dirikan dengan usaha keras berhasil menelurkan ulama-ulama kenamaan. Bahkan sekarang kenyataannya dapat kita lihat bahwa hampir semua pesantren-pesantren di Aceh tidak terlepas kepemimpinannya dari alumni pondok pesantren Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan.

Diantara wasiat-wasiat beliah adalah:

1. Kita harus sungguh-sungguh dalam memperjuangkan agama Islam, berpegang kepada akidah ahlu al-sunnah wa al-jama’ah (Asya'irah dan Maturidiyah), mempertahankan mazhab yang empat terutama mazhab Syafi’i.

2. Mempelajari ilmu syariat hendaklah disertai dengan mendalami ilmu tasawwuf.

3. Sewaktu anaknya Tengku Muhibbuddin Waly ke Mesir, beliau mengingatkan anaknya itu agar jangan lupa membawa 3 buah kitab; I’anah At-Thalibin, Ihya’ Ulumuddin, dan Al-Hikam.

Demikianlah sejarah ringkas perjalanan kehidupan Tengku Muda Waly sebagaimana yang dinarasikan oleh Tgk. Muhibbuddin Muda Waly, anak beliau yang juga seorang ulama besar Aceh yang meraih gelar doktor dari Universitas Al-Azhar dalam bukunya yang berjudul “Ayah Kami".

Tgk. Rahmat Zul Azmi; Mahasiswa S2 Fak. Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar.



Lihat juga:

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top