Thaiburrifqi, Ketua Keluarga Mahasiswa Aceh Mesir 2018-2019

Thaiburrifqi Ananda Hafifuddin
Tengah malam. Setelah beribadah tahajud, pria yang berumur sekitar setengah abad itu tertidur pulas di atas sajadah. Di dalam tidur, ia bermimpi sedang menelepon anaknya, tapi panggilan tidak tersambung-sambung dan putus. Nomor tersebut tidak bisa dihubungi lagi. Ia terjaga dari tidur. Setelah kejadian itu, ia memiliki firasat buruk yang barangkali akan menimpa anaknya. 

Tahun 2011, setelah menamatkan diri dari Pesantren Raudhatul Hasanah, Thaiburrifqi memperoleh beasiswa ke Suriah—yang pada saat itu baru saja berkecamuk perang. Ia memang terkenal cerdas sejak kecil, namun begitu, orang tua Thaibur meragukan beasiswa yang ia dapatkan. Ayahnya tidak meragukan kecerdasannya. Sebagai akademisi, ayahnya malah meragukan prosedur perekrutan beasiswa yang ia peroleh. Saat itu kampanye jihad ke Suriah juga sedang gencar-gencarnya dilakukan di Indonesia. Ayahnya khawatir ia terjebak dalam propaganda perekrutan jihadis dengan modus pemberian beasiswa.

“Pada saat itu ayah khawatir, jika pengelola beasiswa bermaksud negatif terhadap penerima beasiswa. Ayah bertanya kepada kantor Departemen Agama terkait hal ini, dan ternyata pengelola beasiswa tersebut tidak punya hubungan dengan Departemen Agama Indonesia,” ujar Thaibur yang kerap disapa Thayeb. 



Bernama lengkap Thaiburrifqi Ananda Hafifuddin. Thayeb lahir dan besar dari keluarga taat beragama dan berpendidikan. Thayeb anak dari Dr. Hafifuddin Irsyad dan Dra. Faizah M. Thaeb. Hafifuddin Irsyad merupakan rektor salah satu perguruan tinggi di Aceh. Orang tua ingin Thayeb mendapatkan akses pendidikan melebihi mereka. Namun, bukan dengan cara hal-hal yang berpotensi penipuan atau bahkan mengancam jiwa anaknya. Firasat buruk Bapak Hafifuddin melalui mimpi dan pertimbangan matang terhadap ketidakjelasan penyedia beasiswa ke Suriah berakhir pada kesimpulan: Thayeb tidak bisa menjejakkan kaki ke Suriah. Tahun itu ia gagal melanjutkan pendidikan ke Dunia Arab. 

Thayeb akhirnya memilih melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh. Ia kemudian berjumpa dengan Tengku Rahmat Zul Azmi, mahasiswa S2 Al-Azhar, yang saat itu sedang mengajar di Malikussaleh. Dari Tengku Rahmat inilah ia banyak mendapat cerita dan kisah menarik tentang Al-Azhar dan Mesir. Semangat Thayeb melanjutkan studi ke Timur Tengah kembali menggebu-gebu. Kali ini bukan lagi Suriah. Pilihan jatuh ke Mesir. 

Setahun setelah itu, melalui izin orang tua, Thayeb langsung mengikuti seleksi masuk Universitas Al-Azhar Kairo lewat jalur resmi Departemen Agama di Jakarta. Thaibur lulus dengan nilai cukup memuaskan. 

Anak pertama dari empat bersaudara ini cukup bersyukur saat namanya muncul dalam daftar kelulusan mahasiswa yang akan belajar di Al-Azhar Kairo. Cita-citanya belajar Islam dari sumbernya langsung yang sanad keilmuaannya bersambung hingga ke Rasulullah Saw. terwujud. 

“Memang. Di Indonesia, sanad ajaran Islam juga bersumber dan bersambung hingga ke Rasulullah. Namun, sanadnya sudah agak jauh, tempat yang juga agak jauh dan cukup berkemungkinan terjadinya perubahan dalam memahami zuq Bahasa Arab. Ini yang mungkin menjadi kelebihan dan poin penting bagi mereka yang belajar langsung bersama masyarakat Arab,” ujar Thayeb yang sempat mendaftar di Universitas Madinah sebelum akhirnya lulus di Al-Azhar Kairo. 

Merantau bukan lagi hal baru bagi Thayeb. Setelah menamatkan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kuta Blang, ia langsung berpisah dari orang tua. Ia masuk ke pondok pesantren modern Raudhatul Hasanah Medan. Thayeb mendapat dukungan besar dari keluarga, terutama saat tahu ia lulus ke Mesir. “Inni ra-aitu wuqufal ma-i yufsiduhu,” ujarnya menukilkan kalam Imam Syafi’i. Air tergenang—yang tidak mengalir—akan rusak dengan sendirinya. 

Thayeb tak pernah berfikir, mimpinya sejak membaca novel fenomenal Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman As-Syirazi bakal menjadi kenyataan. Thayeb pengagum Ayat-Ayat Cinta, novel ini memberi motivasi besar baginya untuk melanjutkan studi hingga ke Mesir. Jika beruntung, ia akan bernasib seperti Fahri, mempersunting wanita shalehah asal Mesir atau Turki. 

Thayeb awalnya sempat kecewa ketika awal tiba di Mesir. Mesir yang dibayangkannya jauh dari segala ekspektasi ketika ia membaca Ayat-Ayat Cinta. Kondisi masyarakat yang keras, kurang disiplin, birokrasi dan kebersihan yang tidak terawat menjadi nilai minus bagi Thayeb. Bagi Thayeb, kehidupan di Mesir memang tidaklah seindah paras Aisya atau semanis wajah Maria dalam Ayat-Ayat Cinta, tapi Mesir memberikan hal lain yang jauh lebih berguna bagi kehidupan. Mesir mendidik mahasiswa Asing bukan hanya tangguh dalam ilmu keislaman, spritual, tapi juga menempa siapapun secara mental dan psikologis. 

“Satu hal yang mungkin menjadi nilai yang sangat berharga di Mesir. Universitas Al-Azhar. Dalam Ayat-Ayat Cinta memang tak banyak dijelaskan tentang Al-Azhar, tapi inilah hal positif dan satu-satunya yang melebihi ekspektasi saya. Al-Azhar yang saya baca dan saya dengar, jauh lebih hebat, jauh lebih agung dari yang saya pikir. Sejak tingkat pertama saja, kita sudah diajarkan langsung oleh ulama yang mumpuni di bidangnya. Profesor di bidangnya. Di sini kita tidak diajarkan asal-asalan oleh orang asal-asal. Inilah kehebatan Mesir. Al-Azhar,” ungkap Thayeb. 

*** 

Thayeb tak mengira bakal memimpin komunitas mahasiswa Aceh yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir. Baginya, menjadi ketua memiliki tanggung jawab yang tak biasa. Sebenarnya, Thayeb bahkan tak bersedia dicalonkan sebagai calon ketua. Namun, gerakan arus bawah dan atas mahasiswa Aceh manyoritas mendukungnya. Thayeb dianggap sosok yang paling pas mengarahkan KMA setahun ke depan. Ia terpilih dengan suara terbanyak. 

Malam pengukuhan sebagai ketua—yang disaksikan seluruh mahasiswa Aceh—bola mata Thayeb berlinang. Malam itu ia tidak banyak mengeluarkan kata-kata. Wajah pemuda yang lahir tahun 1993 silam terlihat resah. Bagi Thayeb, ini tanggung jawab besar. 

Pagi itu, Bob, kucing piaraan KMA, berkeliaran di depan KMA. Berlenggak-lenggok di depan Thayeb. Sesekali ia menjilat bulu-bulu tubuhnya. Bob menatap Thayeb, lalu pergi meninggalkan Thayeb dengan kecamuk perang di otaknya. Setelah dikukuhkan sebagai ketua KMA dalam Muhasabah Dewan Syura, banyak hal yang dipikirkannya. Thaibur harus merubah schedule hidup demi menyesuaikan kerja sebagai ketua KMA. 

Bob—kucing tak tahu diri itu—sudah berlalu pergi. Thaibur masih duduk di depan KMA. Ia menghubungi keluarga, meminta restu, izin dan nasehat kepada orang tua. 

“Menjadi pemimpin itu berat. Harus pintar berbagi waktu. Berbagi waktu antara kuliah, mengaji dan berorganisasi. Ketua tidak bekerja sendiri, tapi bekerja dalam tim dan kelompok, makanya manajemen kerja sangat dibutuhkan agar mendapatkan kualitas dan hasil kerja yang maksimal,” ujar mahasiswa pascasarjana tingkat dua Konsentrasi Hadis, menirukan pesan orang tuanya. 

Menjadi ketua KMA bukanlah pilihan sederhana. Thaibur paham, menjadi ketua adalah proses yang harus dijalani untuk mengasah manajemen waktu, menajamkan kepekaan terhadap orang lain, membangun cara berfikir yang baik, belajar berbicara di depan umum, hingga menciptakan kedewasaan dalam bersosialisasi terhadap masyarakat dengan berbagai karakter. Thayeb cukup yakin, dalam titik-titik tertentu dalam kehidupannya di masa mendatang, hal ini akan sangat berguna. 

Jiwa berorganisasi sudah dipelajari sejak Thayeb menjadi santri di pesantren Raudhatul Hasanah. Di sini ia memimpin gerakan Pramuka. Awal kedatangannya di Mesir, Thayeb bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Mesir, menjadi anggota dan pengurus Ikatan Keluarga Raudhatul Hasanah (IKRH) dan pengurus KMA beberapa periode sebelum akhirnya menjadi ketua KMA. 

Thayeb pemuda yang tak bisa diam dan duduk, ia harus aktif, badannya harus terus bergerak, kepalanya harus terus berpikir. Berorganisasi merangkul semua hal ini dalam satu wadah, dan ia menikmati hal itu. 

Pemuda dengan tubuh agak gemuk ini bukan hanya piawai dalam mengelola kegiatan dan organisasi. Thayeb dikenal sebagai sosok ramah dan ringan tangan terhadap semua orang. Tak heran ia selalu dicalonkan sebagai ketua KMA tiga tahun berturut-turut. Rupanya hal ini berkontribusi besar saat ia menjadi pemimpin bagi mahasiswa Aceh di Mesir. 

“Banyak sekali yang menghubungi saya, mengatakan bersedia menjadi pengurus, bersedia membantu apa saja selama kepengurusan. Saya bahkan kesulitan memilih pengurus, makanya kepengurusan kali ini agak gemuk dari biasanya,” kata pemuda kelahiran Banda Aceh, 10 April 1993, yang sempat kebingungan memilih pengurus. 

Thayeb adalah penggemar berat One Piece, film kartun animasi yang berasal dari Jepang. Thayeb mengakui, secara tidak langsung ia banyak belajar dari Luffy—tokoh utama di One Piece, bahwa menjadi pemimpin itu tidak harus orang yang perfect. Seorang pemimpin tidak mesti menguasai segala bidang, segala hal. Baginya, hal yang paling penting, seorang pemimpin itu harus bisa mengerti kebutuhan, keinginan dan perasaan orang di bawahnya. Dan paling mampu untuk mengikat berbagai elemen yang dipimpinnya dalam ukhuwah yang sama.


Menurut Thayeb, memimpin orang Aceh agak sulit. Orang Aceh sedikit keras kepala dan susah diatur. Meskipun begitu, menurutnya, menjadi ketua KMA sebenarnya tidak terlalu melelahkan, namun memiliki beban moral yang besar. Di sinilah kesulitannya. 

“Saya belajar banyak dari orang tua, ketika kita diberikan sebuah amanah, kita harus benar-benar bertanggungjawab. Dan yang paling penting adalah ikhlas. Walaupun kita ambisius, banyak program, manajemen bagus, tapi tanpa keikhlasan, semua yang kita lakukan tidak bernilai. Iklas dan maksimal dalam membantu KMA. Jika kita bisa membantu sepuluh, mengapa kita hanya mau membantu lima saja. Dan yang paling penting, kita harus selalu menyertakan Allah dalam setiap kegiatan kita,” ujar pemuda pencinta kopi Gayo ini. 

“Jika seadainya saya nanti mulai menjauh dari Allah. Tolong diingatkan saya, jika saya saja tidak dekat dengan Allah, bagaimana mungkin KMA yang sekarang saya pimpin bisa dekat dengan Allah. Jika kita tidak bisa menjadi contoh yang baik untuk diri sendiri, bagaimana mungkin kita menjadi teladan bagi orang lain,” tambah Thayeb. 

Laki-laki yang tergabung dalam pemuda-pemuda shaleh pencinta Drama Korea dan India ini bukan hanya terkenal cerdas di bidang Ilmu Hadis, ia juga cukup piawai dalam mengotak-atik komputer, terutama aplikasi yang berkaitan dengan desain grafis. Ia menjadi pembimbing di KMA.Tv, dan berperan sebagai editor di website Kmamesir.org dan Sekolah Menulis KMA yang telah melahirkan banyak buku. 

Saat ditanya apakah menjadi ketua KMA bisa memperlambat proses pernikahannya. Thayeb hanya tersenyum, lalu memberi jawaban cukup politis, “Doalah…”[] 

Farhan Jihadi 


Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top