Dialog (Part 2)

*Darul Quthni
yandex.com

Jika saudara berkunjung ke Aceh, lihatlah, akhir-akhir ini perangai nelayan di dermaga pelabuhan semakin eksotis dan dinamis. Di atas kapal, ayah jingkrak-jingkrak, Bantimoh mencebur ke dalam air laut dengan besutan tubuh ke langit, Lehman sudah membeli satu kapal lagi. Dan ada yang mencemaskan, kudengar Muhammadon mengajak Kepala Mukim melaut. Sebelumnya peristiwa itu belum pernah kudengar. Sejak kapan Kepala Mukim mau ikut ke tengah lautan kecuali memang ditakut-takuti Muhammadon jika Kepala Mukim tak mau ikut, hak dan distribusi ikan segar melalui pelapak—Diwa—ke Mukim Lambaro Skep akan diterminasi. Oleh sebab itu, jadilah Kepala Mukim memikul jabatan sebagai kepala tertinggi di kapal baru milik Lehman. 

Baca cerita sebelumnya: Dialog (Part 1)

Kali ini kutitipkan kedai kepada Cut Nada, aku ingin ke Lambaro Skep. Nada kembali tersenyum untuk ke sekian kali. Kusampaikan kepadanya, aku ingin pergi ke pelabuhan di awal pagi, aku ingin melihat langsung gerak laku harmonis antara ayahnya dan ayahku. Cut Nada tersipu malu. Sebentar, saudara, sebentar, sepertinya ada yang mendesak pikiranku, bunyinya seperti ini: "Bang Bagia, teladani keharmonisan ayah abang, wanita banyak mengharapkan laki-laki pengemban keharmonisan." 

Sesampai di sana, tujuh puluh meter lagi kapal ayahku akan merapat ke dermaga. Aku tengah menyimak gemeletuk kapal yang mencabik-cabik permukaan air itu. Ayah melambaikan tangan sembari membuka topi kedap airnya. Ia dapat menandai ciri-ciri jika aku duduk bertinggung sambil menunggu. Semakin dekat kapalnya, semakin jelas kulihat di tengkuknya garis dan lipatan kian legam. Wajarlah, berhari-hari ia bergelung di tengah laut. Entah badai, matahari, angin, pelbagai kesukaran dilewatinya. 

"Gam, sendiri saja kau di situ. Loncatlah kemari, bantu ayah memilah ikan," ujar ayah. Bantimoh menyiapkan keranjang rotan. 

Di sela-sela keramaian dermaga, sudah tampak kepadaku seseorang dengan topi pandan, berjalan menjinjing dua keranjang rotan sedang. Ialah Diwa, ayahnya Cut Nada. Lalu kuberitahu ayah. Dari kejauhan sana, senyuman tak henti-henti terpancarkan. Mungkin dari situlah awalnya keharmonisan dalam persaudaraan antara kaum nelayan dan kaum pelapak terjalin akrab. Perlahan kutelaah setiap inci-inci senyuman di wajah Diwa, kudapatkan lekak-lekuk di bibirnya persis seperti yang kulihat di bibir Cut Nada. Saudara, memang, saudara, siapa saja yang dilempari dengan senyuman itu, niscaya tak ada yang akan membelot ke arah manapun, senyuman itu layak ditahan dengan wajah-wajah kita bila saat itu dirundungi kepayahan. 

Satu jam setelah itu, pintaku ke ayah makbul, aku akan ikut Diwa ke pasar mukim Lambaro Skep. Di sana, aku bertanya kepada orang-orang, ada apa gerangan Kepala Mukim tertarik untuk melaut? Diwa terhenyak mengetahui hal itu. Orang datang dengan bermacam-macam jawab, ada yang bilang: Pak Kepala Mukim mencoba membentuk jati diri, ada juga: Pak Kepala Mukim sudah gantung kemudi kepemimpinan, ada juga: Pak Kepala Mukim sedang kena jebakan politik kejang-kejang Muhammadon. 

Hari itu, kunikmati pengamatan berjam-jam dengan orang-orang Lambaro Skep. Kuamati lebih dalam lagi ketika orang-orang datang ke lapak ikan milik Diwa, membeli dua sampai tiga tumpuk ikan dencis sekaligus. Di pengakhiran interaksi jual beli selalu Diwa sisipkan kata: Terima kasih banyak, Pak, Bu. Dan jika ia tak lupa, maka ditambahkannya: besok mampir lagi, Pak, Bu. Kemudian senyum antara penjual itu dan pembeli tersimpul-simpul. 

*** 
Semuanya telah kembali, setelah hampir tiga pekan Diwa tak menggelar lapak. Dan ayah telah berada di jalur klisenya. Bagi ayah dan Bantimoh, melaut adalah kebahagian stereotip yang diombang-ambing badai nasib. Berpusar di tengah-tengah kehidupan. 

Untuk kebaikan kemarin, aku berterima kasih kepada Cut Nada, yang seharian sudah menjaga kedaiku. Pasti ia merasa gamang dihadapi dengan pelanggan dari Aceh Barat yang suka minta turun harga tanpa sebab. Meminta dan menuntut keringanan harga sudah menjadi gaya hidup orang Aceh Barat. Aku juga berterima kasih banyak, dan sebesar-besarnya kepada orang Aceh Barat, dari mereka aku tahu cara melatih kesabaran. 

Sampai-sampai Pak Gubernur mengatakan: orang Lhokseudu adalah hamba-hamba Allah yang teramat sabar. Bunyi pujian itu laksana magnet, menarik banyak wartawan meliputi pujian berbobot itu menjadi rumor. Tahu-tahu, esoknya, berita itu terbit di surat kabar: Prohaba. Dan sejagad Naggroe Aceh membaca Headline tersebut. Burung camar yang hinggap di kapal Ayahku kembali jemawa! 

Begitu pula aku, mencintai Cut Nada, maka hari-hari yang menegangkan kunanti-nanti. Saudara, di Aceh, tak sembarang laki-laki bisa memanjat kelapa. Namun, sesungguhnya semua mereka bisa, tetapi, mereka katarak akan cara. Dan sempit dada untuk sebuah tempo kesabaran. Maka, kerap terjadi kecurangan di keluharan Lhokseudu, pohon kelapa berstatus—hak milik penuh—keluharan disantroni maling-maling keji dengan cara ditebang, dibalak, untuk dijual air yang berion itu. Kepala desa naik palak. 

Akhirnya, batang pohon kelapa yang ditebang maling-maling itu menjadi tempat duduk santai Rakyat Lhokseudu di tepi pantai. Syukurlah, aku punya keberanian, dan literasi senja selalu memesona. Pernah ada dalam hidupku sebuah senja dengan angin keberanian yang mendesak-desak. Maka, kuulur permintaanku kepada Cut Nada duduk bersama menikmati senja di ufuk barat. Di bulan Oktober, kemarau sedang berada di penghujung. Langit senja berlapis-lapis, laksana keberanianku. Namun, selalu ada satu warna yang takkan pernah hadir dalam jiwaku: hitam. Karena aku tak pernah merasa gelap dengan cinta. 

Jingga di tubuh senja, adalah keberanian memanggil malam tanpa suara. Dia terang-terangan menampakkan diri menjelang sirna. Dan, aku berjalan di waktu senja, menginjakkan kaki di pasir pantai, memberanikan diri menyatakan: "Cut Nada, engkaulah yang kucintai." lalu senyap tanpa suara.[]


*Mahasiswa Al-Azhar tingkat 1 Jurusan Ushuluddin

1 Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top