Nikah Muda, Dilema Baru Mahasiswa Milenial

Oleh: Farhan Jihadi* 
(Imange: theweddingscoop.com)
Saya duduk bersandar di dinding, terkadang tertawa bersama seratusan anak muda yang duduk menyimak kisah hidup dan materi yang disampaikan. Dalam cuaca dingin, dari sebuah ruangan yang menampung sekitar dua ratusan orang, tiga mahasiswa sedang berbagi kisah inspiratif dalam talk show bertema "Jomblo yang Inspiratif dan Produktif". Ruangan lantai satu di gedung jalan Ibrahim Naji, Madinat Nasr, malam itu sesak.

Saya bergabung bersama mahasiswa yang ingin melawan pernikahan sebagai sebuah solusi nyata atas setiap problematika anak muda. Namun, apakah acara “Jomblo yang Inspiratif dan Produktif” kemudian melarang anak muda untuk menikah di usia muda? Tidak. Acara ini digagas sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir, untuk membuka wawasan dan merubah pola pikir mahasiswa bahwa tugas utama mereka saat ini bukanlah menikah tapi belajar, dan bukannya menginspirasi orang lain untuk menikah di usia muda.

Baca juga: Talk Show Anak Muda Meriahkan Rangkaian HUT KMA ke-45

Masa mahasiswa adalah masa produktif. Dalam usia ini kita dituntut untuk menjadi pribadi lebih baik, aktif, kreatif, bertanggung jawab, pintar mengelola emosi dan mulai berpikir cerdas menata masa depan. Masa mahasiswa bukan masa silang sengkarut, yang hanya diliputi rasa galau, memikirkan pangeran atau bidadari masa depan. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi, apalagi niat awal mereka menuntut ilmu, bukannya menikah. 

Hal sebaliknya terjadi dalam lingkaran kehidupan mahasiswa zaman now yang seharusnya fokus dalam dunia pendidikan. Mahasiswa sekarang malah sibuk menggalau manja dengan status di media sosial seputar penghulu, pelaminan dan pertanyaan “kapan nikah?”. Seakan-seakan pertanyaan seputar nikah menjadi momok menakutkan, dianggap musuh bersama bagi seorang musafir ilmu. 

Dalam bus yang bergerak ke acara talk show bertema jomlo ini, saya menyempatkan diri mengunggah sebuah status gurauan di Whatshap. 

"Sebelum tiba di talk show jomblo inspiratif, saya sarankan untuk beristighfar 99 kali, bershalawat 99 kali, lalu berdoalah 100 kali dengan menyebut nama orang kamu cintai. Lakukan dengan khusyuk dan niat yang ikhlas. Setelah melakukan amalan ini dan pulang dari talk show itu, tapi Kamu masih jomlo, maka Kamu memang belum beruntung. Kamu memang ditakdirkan menjadi jomlo. Selamat menyambung hidup dalam kesepian," kataku dalam status. 

Dalam sekian menit, seseorang membalas status tersebut. "Istighfar, bershalawat, dan berdoalah agar semakin tabah ketika di-bully," yang lain berkomentar "Menikah terus, tunggu apalagi" dengan menambahkan emoji tawa air mata. 

Kerap kali musuh kejam mahasiswa dan orang-orang yang tengah berkonsentrasi di pendidikan adalah godaan berumah tangga yang dihembuskan oleh orang tak bertanggung jawab dengan bertanya "kok masih jomlo? kapan menikah? orang lain pada menikah tuh?" dan pertanyaan jahiliah lainnya. 

Orang-orang mempersepsikan bahwa memilih menjadi jomlo saat kuliah adalah sebuah aib, sehingga boleh dihina dan direndahkan. Bagi mahasiswa absurd, definisi jomlo kemudian berubah menjadi suatu penyakit yang harus dijauhi dan dibinasakan. Devinisi ini kemudian tersebar bagai penyakit menular, seperti kampanye yang menistakan jomlo yang rutin dilakukan kelompok Indonesia Tanpa Pacaran. Bagi akun ini, kesuksesan anak muda berbanding lurus dengan cepatnya ia menikah. Mahasiswa zaman sekarang seakan-akan dituntut perkara lain selain menyelesaikan pendidikan dengan baik dan lancar, yaitu menikah.

Hal berbeda terjadi pada Maudy Ayunda. Ia mengunggah sebuah dilema indah. Aktris dan penyanyi ini sukses membikin publik Indonesia guncang dengan mampu menembus dua universitas terkemuka dunia sekaligus: Harvard dan Stanford University. 

Berbeda dengan Maudy, yang harus kebingungan memilih kampus mana yang akan dipilih untuk melanjutkan studi S-2, kita malah gelisah memikirkan jawaban atas pertanyaan "Kapan nikah?" Sungguh sebuah dilema yang sangat pahit. 

Dengan memposting hal itu di Instagram @maudyayunda, perempuan yang juga menjadi aktivis pendidikan ini seakan sedang menertawai kegalauan tak penting tentang pernikahan di dunia maya. Bagi mahasiswa seperti Maudy, menyelesaikan kuliah jauh lebih penting daripada menangis di media sosial dengan status-status galau minta jodoh atau mengunggah foto-foto alay dengan wajah dimonyong-monyongin enggak jelas. 

Kita harus berterima kasih kepada Maudy, ia sudah berjuang menginspirasi anak muda, terutama perempuan, dengan menaikkan standar kesuksesan dalam masa pendidikan. Ia mampu membawa dirinya berbahagia dan membahagiakan negara. Maudy Ayunda berhasil menampar pipi Indonesia Tanpa Pacaran, akun kelompok penista jomlo. Di saat akun ini beranggapan seakan-akan satu-satunya jalan menghindari zina di kalangan anak muda adalah dengan nikah muda, Maudy malah mengejek mereka dengan cara belajar dan berprestasi. 

Bagi beberapa manusia, Maudy Ayunda bukanlah anak muda berprestasi, karena tubuhnya tidak berhijab dan jauh dari nilai-nilai islami. Kata mereka, Maudy hanya sukses di dunia, di akhirat ia belum tentu sesukses itu. Bisa jadi malah Maudy nanti dilemparkan ke neraka terkutuk. Mereka menyarankan Maudy mendaftar di pesantren, bukannya kampus seperti Harvard atau Stanford.

Untuk itu, kita pinggirkan dulu ikhtilaf pendapat tentang Maudy ini. Mari sejenak abaikan perempuan manis yang tidak menutup aurat dan jauh dari hal-hal islami ini. Bagi muslim garis putih abu-abu seperti saya, Maudy tidak bisa menjadi role model anak muda muslim inspiratif. 

Dalam talk show "Jomblo yang Inspiratif dan Produktif" yang kuikuti malam itu, seorang pemateri sempat menyinggung kitab fenomenal, “Al-‘Ulama Al-‘Uzzab Allaziina Atsarul ‘Ilma ‘Ala Zawaj”. Penulis kitab ini mengupas biografi dan kisah-kisah inspiratif para ulama dan cendikiawan muslim yang tidak menikah hingga akhir hayat. Mereka mengarungi khazanah keislaman, hingga mendahulukan ilmu daripada pernikahan. Ulama-ulama yang memilih menikahi ilmu, hingga lupa mempersunting seorang perempuan shalehah. 

Para ulama yang disinggung dalam kitab ini dengan kecintaan yang luar biasa kepada ilmu pengetahuan, telah rela meninggalkan salah satu fitrah manusia dan sunah Rasulullah Saw. lalu memilih wafat dengan tetap setia berkhitmat kepada umat dengan mencintai ilmu hingga ajal menjemput. 

Sebagai mahasiswa yang tengah sibuk belajar, kita tidak perlu galau dan khawatir dengan pertanyaan “Kapan nikah?”. Jika para ulama terdahulu, seperti Imam Nawawi misalnya, hanya sibuk memikirkan omongan tetangga nakal dengan pertanyaan itu, kita tidak pernah mengenal Imam Nawawi yang kita kenal sekarang sebagai salah satu ulama tersohor dalam mazhab Imam Syafii. 

Kita tentu bukan seperti ulama-ulama besar dalam kitab itu yang berkhidmat kepada umat hingga lebih mementingkan akhirat daripada dunia mereka sendiri. Namun, setidaknya kita bisa berkaca pada kisah mereka yang menjadikan masa muda sebagai masa penuh inspiratif, dan bahwa nikah bukan satu-satunya jalan kesuksesan, apalagi saat status kita masih sebagai mahasiswa. 

Saya sangat setuju kepada pemateri yang menyebutkan bahwa pernikahan bukanlah ajang perlombaan sehingga harus dilakukan dengan buru-buru. Kita semua punya fase dan pertimbangan sendiri dalam menilai hidup. Jangan sampai karena godaan berumah tangga yang dihembuskan dengan liar, kita melupakan tujuan penting sebagai mahasiswa yaitu belajar sebaik mungkin. 

Selagi masih muda, terlalu banyak hal positif yang bisa lakukan sebagai mahasiswa, hingga akhirnya kita bisa menjawab pertanyaan “kapan nikah?” dengan baik. Untuk sementara kita bisa menjawab dengan belajar dengan tekun atau dengan karya-karya inspiratif seperti para ulama dalam kitab “Al-‘Ulama Al-‘Uzzab Allaziina Atsarul ‘Ilma ‘Ala Zawaj” atau mungkin juga seperti Maudy Ayunda, itu pun jika kita menganggapnya pantas menjadi inspirator. 

Malam itu, 4 Mei 2019, saya mengamati ruangan KMA Mesir dipenuhi seratusan anak muda yang begitu bersemangat mengikuti talk show bertema jomlo inspiratif. Seperti saya, mereka menyimak baik-baik materi yang disampaikan dengan penuh antusias, kemudian mengajukan pertanyaan menarik dan serius, walau sebagian terlihat malu-malu bertanya. 

Acara ini cukup bermanfaat bagi mahasiswa yang tengah fokus belajar, agar mereka dapat memaksimalkan potensi diri dan tidak larut dalam rayuan apa pun yang mampu merusak konsentrasi belajar. Siapa yang akan tahu, mereka yang hadir malam itu akan menjadi anak muda inspiratif yang kemudian kisah hidup mereka dicatat dalam buku fenomenal, seperti kitab “Al-‘Ulama Al-‘Uzzab Allaziina Atsarul ‘Ilma ‘Ala Zawaj”. Siapa tahu kan? 

Mahasiswa zaman dulu, berperang melawan penjajahan memakai bambu runcing, sebagian lagi melawan propaganda kolonialis dengan tulisan dan pemikiran. Di usia muda, mereka memiliki ghirah dan semangat tinggi untuk berjuang demi agama dan bangsa. Kita ini, jangankan berperang pakai bambu runcing, melihat undangan nikah kawan satu angkatan saja, sudah cukup bikin galau dan berurai air mata. Sayangnya, terkadang kita tak pernah menangisi nilai ujian yang buruk. Betapa mirisnya kehidupan mahasiswa kita.

Nah, tanpa mengesampingkan kawan-kawan yang sudah menikah, tapi tetap mampu menyelesaikan kuliah dengan baik, saya ingin menyampaikan bahwa ukuran sukses seorang mahasiswa adalah saat ia berhasil mengkhatamkan studinya dengan baik dan lancar, bukan pernikahan. 


Walaupun begitu dan cukup jarang terjadi, jika siapa pun memang mampu menyelesaikan kuliah tepat waktu plus menikah, itu pun juga sebuah prestasi luar biasa. Namun, dengan berbagai kondisi dan alasan, selalu saja ada orang-orang kurang beruntung. Kuliah tidak selesai, tidak berprestasi, dan sialnya nikah pun tidak. Sayang sekali. Saya pun takut. Semoga saya dan kita semua, tidak termasuk dalam katagori terakhir ini.[] 

*Mahasiswa Universitas Duwal ‘Arabiyah

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top