Golput Dalam Pandangan Islam

Oleh: Ali Akbar Alfata*

(Image: pixabay app)


Tanggal 17 April 2019 nanti merupakan hari bersejarah bagi rakyat Indonesia, pada hari itu kita akan melaksanakan suatu pesta demokrasi yaitu pemilu. Pemilu sendiri akan dilaksanakan di berbagai TPS yang tersebar di masing-masing daerah. Tentu saja, euforia pemilu tidak hanya dirasakan oleh paslon atau timses saja, namun pemilu adalah milik seluruh rakyat Indonesia dimanapun mereka berada, dan pastinya setiap orang sudah memeiliki pilihan, baik itu pilihan di wakil rakyat ataupun pilihan presiden Republik Indonesia. 

Dalam setiap perjalanan pemilu, dari dulu, selalu ada saja ada tindakan yang dilakukan yang menyalahi undang-undang negara Republik Indonesia. Seperti “serangan fajar”, money politic atau muncul orang-orang yang disebut golput (red; golongan putih). Mereka bisa disebut sebagai rakyat Indonesia yang sah dan memiliki hak suara pada pemilu, tapi memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya pada pesta demokrasi tersebut dengan berbagai alasan. Ini merupakan tindakan yang sangat bermasalah karena merusak tatanan sistem yang telah dikelola oleh penyelenggara pemilu, dan harus ditemukan solusi untuk meminimalisir golput. 

Kalau kita menelisik lebih jauh, data golput pada pemilu 2014 lalu, partisipasi rakyat pada pemilihan presiden hanya mencapai 69,58 persen, sementara pada pemilu legislatif berkisar pada 75,11 persen. Walaupun bukan angka yang buruk, namun sebenarnya mengalami penurunan yang cukup besar dibandingkan pemilu-pemilu yang lalu. 

Jika kita ingin menelusuri lebih dalam lagi, golput sendiri memilki berbagai kondisi. Secara pembagian kasar dimensi ini mungkin berberntuk sebagai berikut.

Pertama, adakalanya seorang pemilih yang sudah terdaftar di DPT (daftar pemilih tetap) datang ke TPS, tapi tidak menentukan pilihannya. Ini adalah tindakan yang sia-sia dan sangat merugikan. Pemilih  datang ke TPS hanya sebagai formalitas supaya tidak dianggap golput saja. Hal ini mengimgatkan kita pada peristiwa tahkim dimana muncul satu aliran yang tidak membela Ali bin Abi Thalib ataupun Muawiyah, mereka lebih memilih keluar. 

Kedua, ada juga pemilih yang bisa dibilang merasa ragu buat memilih, sehingga yang mereka lakukan adalah memilih lebih dari satu pilihan. Tentu saja lagi-lagi ini adalah hal yang sangat mengganggu karena telah merusak aturan yang telah ditetapkan. Padahal, Rasulullah saw pernah bersabda : 

دع ما يريبك الى ما لا يريبك 

“tinggalkanlah sesuatu yang membuatmu ragu dengan yang tidak membuatmu ragu” 

Islam mengajarkan untuk meyakini hal yang kita inginkan. Kita diajarkan untuk meninggalkan rasa ragu, tentu saja hal ini bermakna lebih luas lagi baik itu meninggalkan keraguan dalam ibadah, atau dalam bermuamalah, dan lain-lain. 

Ketiga, mereka adalah pemilih yang terdaftar tapi tidak datang ke TPS untuk memilih dan menggunakan hak suaranya. Alasannya beragam, baik itu malas, dan lain-lain. Padahal satu suaranya pada kontes demokrasi tersebut sangat krusial. 

Bersandar pada hal-hal yang sudah dijelaskan tadi, maka kita bisa memahami bahwasanya golput itu merupakan tindakan tidak terpuji, karena merusak tatanan peraturan yang telah disusun oleh penyelenggara pemilu, tindakan seperti ini sangat tidak dibenarkan. Dalam pandangan islam sendiri, golput merupakan bagian dari pelanggaran. Karena mereka yang golput telah melawan perintah Allah dalam surat An-Nisa ayat 59. 

أطيعوا الله و أطيعوا الرسول و أولي الأمر منكم 

“taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kalian” 

Mayoritas ulama menafsirkan kata ulil amri sebagai pemimpin atau pemerintah. Negara kita Indonesia telah memilih demokrasi sebagai tatanan negara, hal ini memang telah menjadi konsensus pemerintah Indonesia. Mematuhi aturan yang telah ditetapkan adalah hal yang harus dilakukan oleh setiap rakyatnya, dan ini juga adalah perintah agama. 

Ayat ini menjelaskan tentang wajibnya bagi setiap rakyat untuk mematuhi ulil amri atau kepada yang diberi mandat untuk memerintah. Menaati kepala negara adalah wajib hukumnya, sehingga memilih pemimpin pun bisa menjadi wajib hukumnya karena kalau tidak memilih pemimpin, kita tidak bisa menaati pemimpin karena pemimpinnya tidak ada. Dengan demikian, hukum mengangkat seorang pemimpin wajib juga hukumnya. 

Bahkan, pada tahun 2000, majelis fatwa mesir atau Dar Ifta’ Mishriyyah mengeluarkan fatwanya tentang golput. Majelis fatwa tersebut mengeluarkan fatwa haram golput. Karena, pada setiap kesempatan, islam selalu mengajarkan umatnya untuk berlaku jujur dan amanah dan untuk menjauhi perbuatan dusta dan khianat. Islam juga mengajarkan kita untuk selalu melaksanakan amanah yang telah diberikan kepada kita apapun bentuk amanah yang diberikan. Dalam surat An-Nisa ayat 58 Allah berfirman 

إن الله يأمركم أن تؤدّوا الأمانات الى أهلها 

“ sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyerahkan amanah kepada Ahlinya” 

Maka, mereka yang tidak menggunakaan hak suaranya secara syara’ dinggap berdosa. 

Oleh sebab itu, kita sebagai orang mukmin serta muslim tidak akan berdiri pada barisan golput, kita akan menggunakan hak suara kita dengan baik. Memilih pemimpin juga bukan sekedar hak yang diberikan pada kita, satu sisi adalah kewajiban bagi kita. Tentu saja, kita akan memilih pada pemilu yang tinggal menghitung hari dengan jujur dan adil. 

*Penulis adalah Mahasiswa tingkat I, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top