Bisakah Tabiat Diubah?

Sumber foto: Pixabay.com


Oleh: Muhammad Zulfa*


Manusia adalah makhluk Allah Swt. yang paling mulia. Mulianya manusia karena Allah menganugerahkan manusia akal yang tidak dimiliki oleh hewan, tumbuhan, dan makhluk mati lainnya. Allah juga memberikan kepada manusia hawa nafsu yang tidak dimiliki oleh malaikat. Begitu pula Allah Swt. menciptakan manusia dengan bentuk yang indah, sungguh sangat spesial. 

Kemudian Allah Swt. juga menghiasi manusia dengan berbagai sifat atau karakter, sebagai muslim kita menyebutnya “akhlak”. Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mewarnai tindakan dan prilakunya. Dengan adanya karakter manusia nampak lebih sempurna. Karakter inilah yang membuat manusia bisa saling mengenal, memahami dan menerima satu sama lain. Dengan akhlak pula manusia akan saling berselisih, menghina dan bertumpah darah satu sama lain. 

Secara umum akhlak terbagi dua, akhlak terpuji dan akhlak tercela. Akhlak terpuji seperti dermawan, rendah hati, sabar dan sebagainya. Sedangkan akhlak tercela seperti marah, malu pada kebaikan, rakus, dan sebagainya. Setiap manusia pasti memiliki karakter masing-masing baik terpuji atau tercela. Terkadang sebagian dari kita ada yang pemarah, pemalu, rakus, banyak ketawa, keras kepala, terlalu lembut, dan sebagainya. Sifat-sifat ini telah melekat dalam diri setiap kita. Hanya saja, kurang dan lebihnya tergantung pada tabiat masing-masing. 

Karakter atau akhlak terpuji adalah salah satu hal yang sangat diprioritaskan dalam agama Islam. Islam sangat menganjurkan penganutnya untuk memiliki karakter terpuji dan sangat melarang berkarakter dengan akhlak tercela. Karena itu, banyaknya karya para cendikiawan dan pemikir Islam yang membahas tentang akhlak, bahkan hingga berjilid-jilid. Seperti kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, Minhajul ‘Abidin juga punya Imam Ghazali, Risalah Qusyairiah tulisan Imam Abdul Qasim Abdul karim Hawazin Al-Qusyairy, dan yang lainnya. Semua kitab ini bertujuan untuk memberi tahu pada manusia seperti apa sifat terpuji dan sifat tercela, apa ciri-cirinya? Bagaimana cara mengaplikasikan sifat yang baik dalam kehidupan? Dan bagaimana menjauhi sifat yang tercela? 

Namun, di era modern ini banyak orang yang merasa putus asa dalam menjalankan perintah agama untuk memiliki karakter yang baik. Terkadang seseorang yang memiliki perangai buruk mencoba berkali-kali untuk menjadi baik, tapi tidak pernah berhasil. Sehingga lahirlah doktrin dalam pikiran banyak orang bahwa sifat buruk yang dibawa sejak lahir tidak bisa diubah. “Bila kamu lahir sebagai seorang pemalas, jangan pernah bermimpi ingin menjadi seorang yang rajin”. Beragam contoh dapat kita lihat dalam kehidupan nyata. Maka timbullah pertanyaan dari sebagian kalangan, apakah benar tabiat buruk yang dibawa sejak lahir tidak bisa diubah atau diarahkan kepada kebaikan? 

Mengenai hal ini, para ulama telah membahasnya sejak dulu. Di antaranya adalah seorang ulama besar asal Turki, Syekh Allamah Tasya Zadah (wafat 968 H) dalam bukunya Syarah Risalatul Akhlak. Beliau menjelaskan bahwa, pada dasarnya sifat (akhlak) manusia terbagi dua. Pertama, sifat yang timbul dari tabiat manusia itu sendiri (الجلبية). Dengan kata lain, ini adalah sifat alami manusia yang ada semenjak ia dilahirkan. Seperti halnya orang Melayu yang berwatak lemah lembut, orang Mesir yang memiliki watak keras dan tegas dan sebagainya. Sifat tabiat ini adalah sifat yang lazim dimiliki oleh setiap manusia. 

Kedua, sifat yang tumbuh secara perlahan karena usaha dari manusia tersebut. Sehingga, lama-kelamaan sifat itu melekat erat dalam jiwa. Sifat semacam ini dikenal dengan (عادي) dalam bahasa Arab. Seperti seorang anak baik yang berteman dengan anak nakal, lama-kelamaan ia pasti akan meniru sifat nakal temannya. Biasanya sifat ‘ady ini disebabkan oleh faktor lingkungan, pergaulan, didikan, fanatik, dan sebagainya. 

Dalam menanggapi akhlak yang tumbuh dengan cara (عادى) para ulama sepakat bahwa sifat ini bisa diubah. Khususnya dikalangan ulama yang ahli dalam membahas tentang hati. karena sifat ini sebagaimana tumbuhnya dari usaha manusia, dia akan mudah untuk diubah menjadi sifat yang baik. 

Beda halnya dengan akhlak yang dimiliki manusia semenjak ia lahir (jalbiyah). Dalam menanggapi akhlak yang satu ini, terjadi perbedaan pendapat antara para ulama. Sebagian filsuf beranggapan bahwa karakter yang tumbuh sejak lahir tidak akan pernah bisa diubah dan dijinakkan. 

pandangan ini ditolak mentah-mentah oleh Imam Al-Ghazali dalam bukunya Misykah Al Anwar Fi Mughalathah Al Humqa. Yaitu, pendapat sebagian ulama yang mengatakan, bahwa batin yang dipenuhi dengan sifat keji sejak lahir tidak mungkin bisa untuk diperbaiki, karena dia telah tercipta dengan sifat keji. Ini adalah pemahaman yang sungguh keliru. Pemaham ini timbul karena mereka menduga agama memerintahkan untuk mencabut akhlak tersebut hingga akarnya. Padahal agama tidak pernah memerintahkan sedemikian. 

Agama hanya memerintahkan untuk mengarahkan semua sifat jalbiyah kepada hal yang bisa mendatangkan manfaat. Jika saja akhlak jalbiyah ini tidak bisa diubah, tentulah tidak ada faedah tuntutan agama untuk menghiasi diri setiap manusia dengan akhlak terpuji. Bahkan, banyak kalam Baginda Nabi Muhammad Saw. yang menganjurkan manusia untuk menghiasi diri dengan sifat mulia. Bukankah perintah itu akan menjadi sia-sia jika akhlak jalbiyah tidak bisa diperbaiki? 

Oleh karena itu, pernyataan kun anta (jadilah diri anda) bisa dimaknai menjadi diri sendiri pada hal yang sudah baik. Sedangkan hal yang belum baik, tentu perlu arahan dengan cara mengikuti orang lain yang memiki sifat baik. Agama mengarahkan semua sifat manusia kepada pertengahan, karena sebaik-baik urusan adalah pertengahan. Bahkan, Imam Al-Ghazali berkata “terlalu pintar juga tidak bagus, karena (الزيادة على تمام نقصان) lebih dari kesempurnaan adalah suatu kekurangan”. Anologinya jari tangan, seandainya jari tangan ini lebih dari 10. Itu bukan lagi suatu kelebihan, tapi akan menjadi sebuah kekurangan bagi manusia tersebut. 

Al hasil, akhlak jalbiyah yang dimiliki manusia bisa diubah dan diatur dengan cara-cara yang tercantum dalam buku-buku klasik Tasawuf. Khususnya kitab Ihya Ulumudin karya Imam Al-Ghazali. 

[1] Syarah Risalatul Akhlak.
[2] Arba'in Ghazali.

*Penulis adalah mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top