Bagaimana Kita Menyikapi Hadis tentang Umat Akan Terpecah 73 golongan?

Oleh: Ali Akbar Al-Fata*
(Image: pixabay.com)
Islam sangat mengajarkan umatnya untuk senantiasa memelihara nilai-nilai kasih sayang dan memupuk asas-asas persatuan dalam umat. Walaupun begitu, tidak dapat dipungkiri, hingga hari ini, Islam memiliki berbagai aliran dan pemikiran di dalamnya, sehingga muncul streotip buruk akan agama Islam, agama yang sering menggaungkan persatuan malah banyak berpecah. 



Umat Islam sendiri banyak menolak dugaan-dugaan tersebut yang banyak dilontarkan kepada agama Islam. Kendati begitu, ada sebuah hadis yang secara gamblang menjelaskan bahwasanya umat ini akan terpecah menjadi 73 kelompok, bukan jumlah yang sedikit. Hadis ini juga menjelaskan bahwasanya hanya satu yang selamat, selebihnya masuk ke neraka, Rasulullah Saw. bersabda : 

عن أبي عامر الهزني، عن معاوية بن أبي سفيان -رضي الله عنه- أنه قام فينا فقال: ألا إن رسول الله –صلى الله عليه و سلم- قام فينا فقال:(( ألا من قبلكم من أهل الكتاب افترقوا على ثنتين و سبعون ملة ، و إن هذه الملة ستفترق على ثلاث و سبعين، ثنتان فى النار وواحدة في الجنة، و هي الجماعة)) (رواه أبو داود) 

Dari Abi Amir Al-Huzaniy, dari Muawiyah bin Abi Sufyan ra., bahwasanya beliau berdiri diantara kami dan berkata: “Bukankah Rasulullah pernah berdiri di antara kita dan bersabda, “Bukankah orang-orang sebelum kalian daripada ahlul kitab terpecah menjadi 72 golongan (agama), dan agama ini akan berpecah menjadi 73 golongan, 72 berada di neraka dan hanya satu yang di surga, dan ia adalah Al-Jama’ah”. (HR.Abu Daud) 

Banyak orang dari berbagai kalangan memahami bahwasanya yang dikatakan “golongan yang berada di surga” dalam hadis ini hanya terkhusus satu golongan. Maka tak heran hari ini muncul berbagai golongan entah dari mana asal mereka mengaku-ngaku bahwasanya kamilah yang dimaksud dalam hadis tersebut, sehingga mereka membid’ahkan yang berbeda dengan mereka, mensyirikkan dan mengkafirkan tanpa mengkaji lebih dalam lagi permasalahan yang mereka bicarakan, walaupun perbedaan tersebut hanya berada pada permasalahan furu’ saja. Akhirnya umat ini malah saling bermusuhan dan menggunakan hadis ini sebagai landasan untuk memenuhi nafsu mereka. 

Adapun kalau membicarakan riwayat hadis ini, maka para ulama berbeda pendapat tentang sahih atau tidaknya hadis ini. Namun, tampaknya jumhur muhaddist berpendapat bahwasanya hadis ini sahih. Hadis ini (dengan segala perbedaan matannya) memiliki banyak jalur riwayat, mulai dari sahih, daif, bahkan maudhu’. Para muhaddist, mufasir, serta ushuliy telah menetapkan bahwa hadis ini sahih, karena pada satu sisi hadis ini memiliki jalur periwayatan yang sahih, dan pada sisi yang lain hadis ini banyak sekali periwayatannya. 

Jumhur ulama berpendapat bahwasanya tidaklah yang pendapatnya berbeda dengan ahlussunnah itu harus kita masukkan ke dalam 72 kelompok yang masuk neraka ini, dalam pandangan syara’ pun, ijtihad mereka yang berbeda dengan ahlussunnah ini dimaafkan. Bagi yang sering bermuamalah dengan sejarah para salaf ash-shalih, maka pasti akan mendapati bahwasanya mereka ketika berijtihad, tidak demi nafsu dan saling menjatuhkan satu sama lain. Namun hanya demi khidmah bagi agama ini. Mereka juga tidak dengan sengaja berbeda dengan orang lain demi memusuhi mereka, tidak begitu. 

Kendati hadis ini memiliki derajat sahih, tidak dapat kita tolak bahwasanya hadis ini masih dzanniyu ats-tsubut, dzanniyu ad-dalalah. Hadis yang belum mencapai derajat mutawatir masih dikategorikan sebagai dzanniyu ats-tsubut. Adapun karena kandungan hadis ini kemungkinan menunjukkan kepada makna yang lain, dan tidak pasti seratus persen, maka hadis ini masih dalam kategori dzanniyu dalalah. Namun, hadis ini apabila dipahami begitu saja, maka akan bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan serta keistimewaan umat ini yang ada di Alquran dan diriwayatkan dalam hadis yang mutawatir maknanya (kandungan hadisnya), dimana keduanya merupakan qathiyu ats-tsubut yaitu sudah pasti seratus persen, dan juga qathiyu ad-dalalah yaitu nash yang tidak mungkin menunjukkan kepada makna yang lain.

Hadis ini pun harus kita pahami dengan ikut menyertai nilai-nilai kebaikan dan keistimewaan tersebut. Orang-orang hari ini yang menjadikan bid’ah, syirik, dan kafir sebagai “zikir” di lisan mereka mungkin tidak mengetahui bahwasanya salaf ash-shalih dalam memahami hadis selalu berusaha untuk tidak menjerumuskan umat dalam syirik dan kufur. Namun, mereka memahami hadis dengan pemahaman yang layak bagi umat ini, karena umat ini penuh dengan kasih sayang, ia umat yang mulia. Hadis ini harus diletakkan bersamaan dengan firman Allah: 

كنتم خير أمة أخرجت للناس 

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan manusia.” (Ali Imran: 110) 

Hadis ini juga harus kita diletakkan berbarengan dengan hadis lain yang sudah tidak dipertentangkan lagi. Di samping itu, Hadis ini juga mendukung nilai-nilai keistimewaan umat ini daripada umat yang lain. Rasulullah Saw. bersabda : 

(( من يرد الله به خيرا يفقه في الدين، و إنما أنا قاسم و يعطي الله، و لا يزال أمر هذه الأمة مستقيما حتى تقوم الساعة، أو حتى يأتي أمر الله)) (رواه البخاري) 

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka akan dipahamkan agamanya. Aku hanya pembagi, sedangkan Allah yang memberi. Umat ini senantiasa lurus sampai hari kiamat, sampai datang keputusan Allah.” (HR.Bukhari) 

Maka hendaknya kita bertanya-tanya, bagaimana cara kita menyatukan dua hadis yang saling berkontradiksi. Satu hadis memuliakan umat ini karena mampu beristikamah sampai hari kiamat, dan satunya lagi terkesan membuat umat ini tampak buruk, bagaimana? 

Menurut Syekh Ibrahim Sya'ban Al-Mursyidi dalam kitab Kasyfu Al-Khafa lil Bayani ma Usykila min Ahadisi Al-Musthafa, untuk meluruskan pemahaman kita tentang hadis ini, dan menjawab berbagai hal yang janggal, maka ada beberapa perkara yang harus kita perhatikan.

Pertama, perpecahan yang dimaksud dalam hadis tersebut terjadi pada umat dakwah bukan umat ijabah. Umat dakwah adalah umat yang masih didakwah hingga hari ini, artinya mereka hidup setelah Nabi Muhammad, tapi belum beriman. Adapun umat ijabah ialah umat yang telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasul diutus bagi segenap alam, sehingga muslim dan non muslim sebenarnya semua umat Nabi Muhammad.

Hal ini diriwayatkan dalam beberapa hadis. Bahkan, Fakhruddin Ar-Razi menuliskan dalam tafsirnya, beliau berkata “tidak ada seorang pun dari golongan jin dan manusia yang bukan umat Nabi Muhammad Saw., apabila mukmin, maka mereka umat mutaba’ah (ijabah), sedangkan yang tidak beriman adalah umat dakwah”. 

Kita pasti bertanya-tanya lagi, apa yang menjadikan “umat” dalam hadis iftiraq al-ummah merupakan umat dakwah, bukan umat ijabah? 

Hal ini berdasarkan hadis-hadis yang menjelaskan tentang dominasi umat Islam (ijabah) di dalam surga kelak, mayoritas umat di surga adalah umat ijabah, hadis tersebut juga mengisyaratkan kemuliaan umat ini. Rasul Saw. bersabda: 

((أهل الجنة عشرون و مائة صف، ثمانون من هذه الأمة، و أربعون من سائر الأمم)) 

“Ahli surga ada 120 shaf, 80 di antaranya adalah dari umat ini, dan 40 dari umat lain.” 

Hadis ini dan hadis lainnya menjadi bukti kemuliaan umat ini, dan tingginya martabat umat ini di sisi Allah, maka apa jadinya kalau kita memaksudkan kata “umat” dalam hadis iftiraq al-ummah sebagai umat Islam yang merupakan umat mulia, dan hanya mengkhusukan sebagian muslim di surga sementara lainnya ke neraka? Bagaimana orang awam yang tidak condong ke golongan mana pun? Maka sudah semestinya umat yang dimaksud adalah umat dakwah. 

Kedua, Rasulullah Saw. sendiri tidak menentukan siapa satu golongan atau umat atau kelompok yang dimaksud dalam hadisnya, dan kita pun tidak diperintahkan untuk mencari hal tersebut. Ada banyak kelompok yang berusaha mencari dan membahas siapa kelompok yang dimaksud dalam hadis, tapi tidak ditemukan pendapat yang pasti. Kita pun sebaiknya mengambil jalan aman dengan tidak menentukan kelompok tertentu. Adapun menurut ulama, hadis ini mengisyaratkan kita untuk berpegang kepada jamaah atau jumhur saja, karena yang demikian lebih selamat bagi kita. 

Ketiga, menetapkan dan meyakini bahwasanya setiap orang yang beriman dengan nabi dan rasul merupakan bagian dari umat ini, terlepas dari berbagai ijtihad dan pendapat mereka yang terkadang rancu dan janggal. Namun, mereka melakukan itu dengan cucuran keringat demi berkhidmah bagi agama ini, bukan untuk menjatuhkan dan menghinanya. Siapa pun itu, baik Syi’ah, muktazilah, dan lain-lain, sekalipun sangat sulit menemukan titik temu perbedaan pendapat di antara kita, mereka tetap muslim. 

Ada kata-kata yang layak ditulis dengan tinta emas dan diletakkan di tempat yang mulia, kata-kata ini keluar dari seorang Syekh Muhammad Al-Ghazali dalam kitabnya Difa’ ‘anil Aqidah wa Syariah, beliau berkata:

“Barangsiapa yang berserah diri pada Allah, dan hatinya penuh akan ketauhidan terhadap Allah Swt, dan tubuhnya penuh dengan ketaatan kepada Allah, maka ia adalah muslim. Selama ia percaya akan Alquran dan yakin akan itu, kemudian meyakini sunnah Rasulullah Saw. dan meneladaninya, maka ia dimaafkan atas segala ijtihad yang ia keluarkan apabila dia salah. Niat yang benar akan membuat kita tidak lagi memanggil mereka sebagai 'yang menentang' dalam agama, tetapi mereka hanya 'yang salah berpendapat', dan kita tidak menggolongkan mereka dalam golongan fasiq dan maksiat. Aku banyak sekali membaca tulisan Syekh Ibnu Taimiyyah, dan Imam Al-Ghazali, maka, aku mendapati diriku berdiri di antara dua orang luar biasa yang hanya memihak Allah Swt, ikhlas dalam perjuangan mengungkap kebenaran, dan senantiasa menebar nasehat kepada seluruh umat."

Syekh Muhammad Al-Ghazali juga menyebutkan, bahwa Syekh Ibnu Taimiyah dan Imam Ghazali memiliki pemikiran yang sangat bertolak belakang, dan memiliki cara berpikir yang jauh berbeda. Namun, yang demikian tidak menjadikan berhak menimbulkan fitnah bagi mereka dalam agama (yang mereka perjuangkan), akan tetapi, semua itu sebagaimana Muhammad Al-Ghazali yakini sebagai sebuah ketekunan mereka pada Allah Swt. 
Oleh karena itu, hadis tentang iftiraq al-ummah tidak bisa dipahami secara gamblang begitu saja. Namun, harus dipahami dengan benar sesuai dengan tuntunan ulama-ulama yang muktabar. Poin penting juga dalam hadis tersebut bahwasanya kita tidak boleh memonopoli surga bagi segelintir orang saja, karena Allah menciptakan surga seluas langit dan bumi. Siapa kita yang berhak menggunakan telunjuk kita menentukan kelompok mana yang boleh dan yang tidak boleh masuk surga? Inilah yang selalu Al-Azhar ajarkan pada anak-anaknya, untuk sebisanya kita mengajak saudara kita sama-sama masuk surga, bukan malah mempersempitnya, falyutaammal. Wallahualam.[]

*Penulis adalah mahasiswa tingkat dua Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top