Minum Teh Bersama Ghayath

Oleh: Nada Thursina*
Downtown (@everydaycairo).

Aku berjalan keluar dari dalam gedung milik sebuah universitas tersohor di kota Kairo dengan wajah panik dan terburu-buru. Dari awal memang sudah kuduga akan seperti ini jadinya. Profesorku adalah orang yang sangat sibuk dan sepuh. Sehingga, jam terbangnya sangat-sangatlah tinggi. Hari ini, kami sepakat untuk bertemu jam 12:00 siang di ruangannya. Namun naasnya, ia mempunyai rapat dadakan. Alhasil, aku baru dapat menemuinya untuk konsultasi jam 14:10, sedang aku ada janji penting dengan seseorang jam 15:00 tepat. Sungguh, demi apa. Aku tak mungkin memilih salah satu di antara keduanya, karena kedua-duanya menurutku penting!

Sekarang jam menunjukkan pukul 15:05. Kubalikkan badanku sesaat, kulirik tulisan besar di badan gedung, “Ain Syams University”. Aku menghela napas panjang. Lagi-lagi hari ini aku membawa pulang begitu banyak coretan dari profesor pengampu tesisku tersebut. Bab 9 ini benar-benar membunuhku. Sudah enam kali bolak-balik, Bab 9 tetap saja salah melulu. Pantas saja, jika angka sembilan selalu saja disebut-sebut sebagai angka pembawa sial. Entahlah, entah sampai kapan Bab 9 ini akan rampung, aku pun tak tahu. Yang jelas, kemarin sore Mak menelepon lagi. Saban hari ia terus menerus menanyakan kepulanganku. Sambil menunggu tramco tujuan Ramsis di muka jalan, suara Mak di ujung telepon terus saja terngiang-ngiang di otak dan pikiranku.

"Pajan ka woe hai Nyak meutuah, Mak cukop meusyen ke gata.”[1]

“Neu saba hai Mak bacut teuk, Insya Allah awai thon u keu Nadiem usahakan selesai.”[2]

“Get hai Nyak Meutuah, teuman calon dara baroe ka na? Menyo ka na, pajan teuman peu turi bak Mak. Jeulame jeut Mak tanggoeng.”[3]

“Mak, sudah berapa kali Nadiem katakan. Nadiem ke Mesir bukan untuk mencari jodoh, Nadiem Ke Mesir untuk menuntut Ilmu.”

“Iya, Mak Paham. Teuman Mak leupah that-that ka meukenoeng ngon si Muthmainnah aneuk Pak Nurdin Tungkop nyan.” [4]

“Muthmainnah toeh lom nyan? Minggu yang ka u likot neu pegah Maimunah, nyo ka neu pegah Muthmainnah?” [5]

“Ya, nyoe dara yang laen lom. Nyo Muthmainnah aneuk Pak Nurdin yang rumoh likoet lorong tanyoe nyan. Masak hana katuri. Leupah tari jih Mak kalon, cocoklah ngon droe keuh yang hitam manis.”[6]

“Aduh Mak, Nadiem pusing. Doakan saja lah anak Mak ini cepat-cepat selesai tesisnya.”

“Iya, sabe-sabe Mak meu doa ke gata hai Nyak Meutuah. Teuman beu ta ingat cit, Mak ngon Ayah ka tuha. Bagah-bagah ta woe Nyak beh.”[7]

“Get Mak, Insyaallah.”[8]

Kata-kata “cepat pulang” itu, terus saja terasa terngiang-ngiang di otak dan telingaku hingga saat ini. Membuat mataku semakin berkunang-kunang tak karuan, di bawah teriknya sinar matahari musim dingin.

Kulirik jam tangan, “Astaghfirullah,” kutepok jidatku kencang-kencang. “Pasti ia telah menungguku sejak tadi,” gumanku dalam hati. Aku sungguh panik. Menurutku ini adalah sebuah pertemuan yang teramat penting dan bersejarah. Bahkan bisa jadi, ini hanya akan terjadi sekali seumur hidupku.

Hmmm… Jadi awal mula ceritanya begini. Kira-kira sebulan yang lalu, aku iseng menerjemahkan beberapa puisi milik penyair tersohor asal Palestin-Syiria, Ghayath Al-Madhoun. Kemudian, aku memposting hasil terjemahan puisi tersebut ke akun facebook-ku. Lalu dengan sangat iseng pula, aku men-tag akun Facebook milik Ghayath pada postingan tersebut. Aku juga tidak mengerti mengapa saat itu aku bisa mendadak pede dan narsis begitu. Entah karena sakit kepala atau butuh Saridon, aku enggak paham juga.

Setelah sebulan lamanya tiada respon apa-apa, kemarin sore dengan tiada angin tiada hujan, akun Ghayath yang ku-tag tersebut tiba-tiba meng-inbox. Tersontak aku bukan kaleng-kaleng. Dalam pesan teks tersebut, ia menyatakan rasa senang sekaligus tersanjung atas terjemahan puisi miliknya yang kubuat. Di akhir pesan teks tersebut pula, ia mengajakku untuk minum teh bersama siang ini, di sebuah kedai teh favoritnya di daerah Downtown, jika aku memiliki waktu luang.

Sungguh suliiittt sekali untuk dapat kupercaya. Kubaca pesan teks berisi ajakan tersebut berulang-ulang sambil tersenyum-senyum sinting tak karuan. Aripin teman serumahku yang menyaksikan kejadian tersebut langsung menyeletuk,

“Hati-hati Bang! jangan senang dulu. Bisa jadi itu akun Hoax. Sekarang banyak sekali motif-motif ajakan berjumpa dari sosmed berkedok penculikan Bang.”

“Aku laki-laki, mana ada orang yang mau menculikku, ada-ada saja kau Pin!”

“Bukan begitu Bang, biasanya penculikan sekarang berkedok pembunuhan mutilasi. Satu organ sekarang dihitung 80 juta. Berarti kali saja Bang; ginjal dua, jantung satu, hati satu, pankreas satu, usus satu, kornea pun dua. Bisa kaya mendadak orang yang nyulik Bang!”

Belum sempat aku menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memperoleh suatu benda yang dapat kulemparkan ke arahnya. Ia langsung berlari dan berteriak.

“AMPUUUUUN BANGGGG…”

***


Waktu sudah menunjukkan jam 15:59 dan aku baru sampai di depan kedai teh yang dimaksud Ghayath. Toko tersebut terlihat sangat antik, klasik, namun tetap terasa berkelas dari luar. Kutarik nafas dalam-dalam, kubetulkan posisi rambut dan kemeja.

“A-a-a-a. 1-2-3 suara dicoba. 1-2-3 suara dicoba. Tes, tes. Do-Re-Mi. Do-Re-Mi.” Kuatur kedalaman pita suaraku dengan seksama.

Setelah beberapa kali “check sound” dan dirasa sudah mantap, tanpa berpikir ini itu, aku langsung saja gercep melangkah ke dalam.

Kedai itu terlihat sangat sepi. Tampak dari ambang pintu seorang laki-laki paruh baya, sedang duduk sendiri di kursi paling muka. Ia terlihat khusyu’ menghayati lirik sebuah tembang lagu melow yang berjudul ‘Nekbar sawa’, milik salah satu grup band anak muda tersohor, asal Mesir. Ia pejamkan mata. Sesekali ia angguk-anggukkan kepala sambil menghembuskan asap sisya dari cairan yang baru saja ia hirup. Tiba di reff, kaki sebelah kanannya pun ikut-ikutan dihentak-hentakkannya tak karuan,

“Ana hubbik, ana ganbek fii kulli zamannn… Nekbar sawaaaa…”

“Mak oi, selera aliran musik Orang tua jaman sekarang….” Buncahku dalam batin.

Aku mulai melangkah gontai menyusuri area dalam kedai. Cahaya lampu di dalam kedai teh tersebut begitu temaram, sedikit meciptakan hawa-hawa mistis begitu. Aku enggak paham apakah ini yang dimaksud dengan konsep. Yang jelas di sepanjang dinding terdapat rak, yang di atasnya dijejerkan beberapa lilin dan beberapa barang-barang antik jaman dahulu seperti telepon, jam, mesin ketik, radio, tv, dan sebuah bingkai yang di dalamnya terdapat foto seorang gadis manis yang berdiri sambil memegang setangkai bunga mawar. Dan aroma, aku merasa aroma dari bubuk teh telah menyelinap ke segala elemen dari ruangan ini; pekat sekali.

Aku terus berjalan lurus ke depan. Dan tak tampak olehku seorang pun kecuali Bapak tua di ambang pintu tadi. Sempat terpikir olehku, apakah aku salah kedai, atau Ghayath sudah duluan pulang karna melihatku tak kunjung datang, atau ini, atau itu. Malah, karna suasananya terasa mendukung, imajinasiku malah terngiang-ngiang oleh pembunuhan mutilasi yang digaung-gaungkan Aripin semenjak kemarin sore. Sungguh, demi apa. Namun langkahku masih saja tak kuhentikan, walau romaku sudah mulai merinding tak karuan.

Tak lama setelah beberapa detik melangkahkan kaki, barulah tampak olehku sebuah ruangan yang lumayan cukup luas berposisi tepat di sebelah kanan tempat aku berdiri saat ini. Aku langsung menoleh ke arah kanan. Ruangan serba putih tersebut tak berlampu, namun penerangan dari jendela besar di tengah dan atap ruangan membuat segala sisi dari sudut ruangan terlihat sangat jelas dan terang. Tampak pula tumbuhan hijau berjenis Philodendron menjalar di seluruh atap dan jendela. Melihat ruangan ini, aku jadi teringat kamarnya Kim Shin di Film Goblin. Sumpah aku engga bohong! Suasananya memang mirip sekali seperti itu.

Belum sempat aku berkedip, sebuah suara dari arah depan terdengar memanggilku.

“Nadiem?! Enta Nadiem?”[9] Tanya laki-laki itu.

Mulutku ternganga. Sebelum sempat telingaku mereduksi pertanyaannya untuk dicerna ke otak, Aku malah sempat-sempatnya berpikir “Mimpi apa aku semalam Ya Allah?”

Kurespon pertanyaannya dengan sebuah gelengan, sesaat kemudian kuanggukkan kembali. Memang begitu cara kerja otak saat sedang gugup, tampaknya aku memang butuh Aquafina.

“Ahlan!” Ucapnya sambil kemudian beranjak dari tempat duduk untuk menyambut kedatanganku.

Aku kemudian mendekat, dan menyambut uluran tangannya untuk berjabat.

“Nadiem,” Ucapku, memperkenalkan diri.

Entah mengapa, jika di depan orang non Indonesia, aku menjadi agak lebih pede ketika menyebutkan nama. Pasalnya, akhir-akhir ini aku selalu saja sebel dengan respon candaan maupun lelucon teman-temanku saat pertama berjumpa. Saat pertama kali kusebutkan nama, bukannya malah balik memperkenalkan diri, mereka malah berkomentar terlebih dahulu,

“Oh ternyata begini ya, penampakan langsung Menteri Pendidikan yang baru diangkat Pak Jokowi itu.” Sungguh, demi apa.

“Aku Ghayath.” Balasnya, sambil menyunggingkan senyum sempurna menampakkan seluruh gigi putihnya yang kokoh.

Ghayath berpostur wajah dan badan layaknya keturunan bangsa Arab pada umumnya; berhidung mancung dan bertubuh tinggi besar. Yang membuatnya tampak jelas berketurunan Syiria-Palestin adalah ia memiliki kulit putih bersih agak kekuning-kuningan khas ala-ala Syami serta rambut keriting cokelat sebahu yang ia ikat keseluruhannya ke belakang.

Saat berjabat, aku langsung meminta maaf yang sebesar-besarnya atas keterlambatanku hari ini dan sedikit menjelaskan penyebabnya. Ia berucap tak masalah, siang ini ia benar-benar memiliki waktu luang.

Setelah sedikit berbasa-basi, ia kemudian mempersilahkan aku untuk duduk dan menanyakan jenis teh apa yang ingin aku minum.

“Aku memesan sama sepertimu saja.” Ucapku.

“Kau yakin?” Tanyanya.

“Euuu…” Anggukku mantap.


Anggukanku tersebut sebenarnya bukan tanpa alasan. Sesungguhnya aku sama sekali tak tahu menahu tentang dunia per-teh-an, karena aku adalah seorang pecinta kopi. Namun jika di depan orang banyak aku malu mengatakan bahwa aku adalah seorang coffeholic. Karena yang kutahu, jenis kopi di dunia ini hanya ada dua macam; Jika bukan kopi Gayo, ya kopi Ulee Kareng. Dalam hati, sungguh pintaku hanya sederhana. semoga teh yang dipesankan Ghayath untukku, cukup gulanya. Bukan apa, syai orang Mesir biasanya selalu hambar, enggak pernah ada rasanya.

“Ngomong-ngomong, tadi kau bilang baru saja menemui profesormu untuk konsultasi. Bolehkah aku tahu topik apa yang akan kau angkat Nadiem?” Tanyanya mengawali pembicaraan.

“Ya, tentu. Aku akan membahas tentang Najib Mahfoudz.” Jawabku mantap.

“Waaw, keren sekali! Kau sungguh sangat berani Nadiem. Apa yang membuatmu ingin mengangkat tentang Najib, di saat masyarakat Mesir sendiri mendadak ngeri saat mendengar judul dari novelnya, bahkan mengutuk karyanya tersebut?”

“Hmmm… Sebenarnya, aku tak punya alasan spesifik untuk dijelaskan. Karena pada awalnya aku ingin menulis tentang Mahmoud Darwis, namun judul tersebut tak di-acc oleh profesorku. Namun saat pertama kali kusebut Najib, tanpa ba-bi-bu beliau langsung saja mengangguk mantap. Dengan tanpa alasan, sepertinya aku dan Najib memang telah ditakdirkan Tuhan untuk berjodoh.”

“Apakah kau sudah mengunjungi museumnya yang berada di daerah Hussein?”

“Tentu, beberapa waktu lalu aku baru saja mengunjunginya bersama sahabat karibku yang berkebangsaan Afghanistan. Museumnya sangat bagus dan terawat. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata museum tersebut berada tepat di depan pasar sayur yang berada tak jauh dari rumahku,”

“Oh ya? Lalu apa pendapat pribadimu mengenai novel kontroversialnya tersebut?”

“Hmmm, sebagai pelajar sastra dan penuntut ilmu agama, aku bahkan siapapun yang telah membaca novel tersebut bisa sangat paham mengapa masyarakat menuding novel Aulad Haretna sebagai sebuah bukti dari kemurtadan Najib. Tentu masyarakat meresahkan keberaniannya ketika menggambarkan sosok Tuhan dalam tokoh Gabalawi pada Novel tersebut. Tak tanggung-tanggung, karena hal tersebut bahkan ia sempat ingin ditikam oleh dua orang laki-laki ekstrimis di bagian leher.

Tetapi, sebelum kita menghakimi itu semua, ada baiknya kita mengetahui beberapa komponen penting yang seharusnya kita ketahui ketika membaca novel tersebut.

Satu, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus sadar bahwa novel tersebut adalah sebuah karya sastra (Fiksi) yang bukan merupakan kisah nyata. Dua, Novel ini beraliran ramziyah (symbolism) bukan harfiyyah. Yang artinya, kita tak boleh langsung menafsirkan segala sesuatu yang digambarkan dalam novel tersebut secara lugas (sesuai aturan). Tiga, kita seharusnya harus bisa menilik dan membaca ulang sejarah maupun situasi bangsa Mesir di saat novel ini pertama kali diterbitkan.”

“Sosial dan politik maksudmu?” Tambahnya, yang sedari tadi menyimak perkataanku dengan wajah serius.

Aku mengangguk.

“Ya, kau benar Nadiem. Aku kira setiap kalangan mempunyai caranya masing-masing untuk mengkritisi dan memperjuangkan suatu hal sesuai dengan masing-masing bidang yang mereka tekuni. Menuntut hak atau memperjuangkan apapun, tidak melulu harus menempuh cara yang monoton, seperti berdemo dan semacamnya.

Jika kau seorang penyanyi, kau bisa saja menuliskan aspirasimu melalui lirik-lirik lagu yang kau lantunkan. Jika kau seorang pelukis, kau juga bisa menyuarakan hakmu melalui ilustrasi gambar yang kau lukis. Dan jalan inilah juga yang sebenarnya telah dicoba tempuh oleh Najib dalam novelnya.”

“Iya, bahkan seorang Mahmoed Darwis dan Ghayath Al Madhoun dalam puisi-puisinya.” Tambahku sambil menyunggingkan senyuman ke atasnya. Ia tersenyum kembali menatapku.

Tiba-tiba saja Bapak paruh baya yang kutemui di ambang pintu tadi, tampak datang menghantarkan dua cangkir teh hangat dan sepiring biskuit.

“Silahkan dinikmati teh dan biskuitnya,” Ucapnya.

Ghayath mengucapkan terima kasih, sedang aku hanya mengangguk sambil tersenyum ke arahnya.

“O iya, ini ada tambahan gula untukmu wahai Indonesiy,” Ucapnya sambil meletakkan sebuah calok kecil, berisi gula tambahan. Ia kemudian menatapku sesaat dan kemudian tersenyum.

Entah mengapa tatapannya tersebut, sedikit membuat romaku merinding. Aku juga enggak mengerti mengapa bisa begitu. Walaupun terasa ada yang aneh dan janggal, tapi ya bodo amat. Setidaknya aku sangat besyukur, doaku tentang gula tambahan telah dikabulkan Tuhan. “

“Aku sangat mengagumi puisi-puisimu Ghayath.” Sela ku kembali, usai bapak tua itu berlalu.

“Oh ya…? Puisi mana yang paling kau suka?

“Al-‘Ashimah”

“Oh ya?” Ucapnya berbinar, seusai menyeruput teh miliknya.

“Euuu… bahkan aku menghafal beberapa bait yang menjadi favoritku dalam puisi tersebut, menurutku maknanya sangat mendalam.”

“Bagian yang mana?” 

“Ketika kami lahir 
Hidup sungguh berwarna, 
Dan foto masih hitam-putih 
Sekarang, foto sudah berwarna 
Dan hidup kami menjadi 
Hitam-putih.” 

“Waaaw… Kau benar-benar menghapalnya! Aku juga sudah membaca seluruh puisi-puisi cinta yang kau posting di dinding facebook-mu. Bagus-bagus! Dan kukira, sudah saatnya puisi-puisi indah tersebut bertuan Nadiem…” Ucapnya seraya menggodaku.

Aku menelan ludah. Kuteguk tehku dengan tiga kali tegukan berturut-turut.

“Taa… ta… pi ba.. ba… bagai..”

“Sekarang dunia sudah canggih Nadiem. Segala status di media sosial kini telah dilengkapi fitur penerjemah bahasa.”

Aku menepok jidat sambil tersenyum meringis menahan rasa malu. Sedang Ghayath tertawa kecil melihat tingkahku.

“Apakah kau pernah ke daerah sini sebelumnya?” Tanya Ghayath.

“Tentu. Sekitar lima kilometer dari kedai teh ini, ada sebuah toko kecil berukuran 2x3 m2 berada di pojok paling ujung dari hingar bingar gedung-gedung menjulang di kawasan Downtown ini. Ruangan kecil tersebut menjual buku-buku bekas bahasa Inggris, Arab, Perancis dan Jerman dengan subjek entri yang berbeda-beda. Biasanya aku ke sana tentu dengan tujuan membeli buku-buku sastra. Meski loak, buku-buku di sana masih sangat bagus dan layak. Lebih dari itu, yang terpenting harganya lebih murah jauh melampaui harga aslinya!”

“Oh yaa? Lain waktu, jika kau punya waktu luang, aku juga ingin kau ajak ke sana.” Sela Ghayath.

“Euuu... tentu. Tapi entah mengapa, selama melewati jalan di daerah sini, aku merasa tak pernah melihat kedai teh ini sebelumnya. Ah… tapi tak usah dipikirkan, mungkin hanya perasaanku saja.”

“Hmmm… nanti jika aku berkunjung kembali ke Mesir, aku pasti akan mengajakmu kembali untuk minum teh di sini.”

“Memangnya engkau mau ke mana?’

“Aku harus kembali ke Swedia. Pesawatku akan take off jam 9 malam Ini.”

“Wah… untung saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini!”

“Ah kau bisa saja, Nadiem. Suatu saat pasti akan kutagih janjimu untuk mengajakku ke toko buku favoritmu itu!”

“Tentu!” Ucapku sambil mengunyah lahap biskuit.

***


“Paman… mengapa kedai itu akhir-akhir ini selalu saja tutup?” Tanyaku sambil menunjuk-nunjuk ke arah kedai teh yang kukunjungi bersama Ghayath dua minggu yang lalu.

“Kedai tersebut memang sudah tutup sejak lima belas tahun yang lalu, wahai anak muda.” Ucap seorang bapak-bapak penjual tas kulit di ujung jalan.

“Tak mungkin Paman! Aku baru saja minum teh dengan seseorang di kedai tersebut dua minggu yang lalu…”

“Tampaknya kau harus minum Aspirin banyak-banyak dan kemudian dirukiah wahai Indonesiy! Kedai Teh tersebut memang sudah benar-benar tutup semenjak Bapak tua pemilik kedai tersebut memilih mengakhiri hidupnya sepeninggal istri yang amat ia cintai.”

Seketika aliran darahku mengalir deras hingga ke ubun-ubun. Bibirku kelu, nafasku tersengal, romaku bergetar tak karuan. Seluruh kejadian dan hal-hal janggal yang terjadi di kedai tersebut secara perlahan mulai memenuhi otak dan pikiranku; bising. Kepalaku pusing dan lututku lemas. Dan sebelum segalanya berubah menjadi gelap disertai teriakan histeris bapak penjual tas kulit, tiba-tiba saja aroma bubuk teh terasa menyelinap ke seluruh bulu hidungku; pekat sekali!

***

[1] “Kapan kamu pulang wahai Anakku Sayang, Mamak sudah sangat rindu kepadamu.”
[2] “Sedikit lagi wahai Mamakku Sayang, Insyaallah awal tahun depan Nadiem usahakan selesai.”
[3] “Baiklah Anakku Sayang, ngomong-ngomong calon istri sudah ada? Kalau sudah ada kenalkan lah sama Mamak. Maharnya biar Mamak yang tanggung.”
[4] “Iya, Mamak Paham. Cuman Mamak sudah duluan kepincut lihat si Muthmainnah anak Pak Nurdin yang tinggal di Tungkop itu.”
[5] “Muthmainnah yang mana lagi itu Mak? Minggu lalu Mamak baru saja cerita tentang Maimunah, ini sudah cerita lagi tentang si Muthmainnah.”
[6] “Ya, ini cerita yang lain lagi. Ini si Muthmainnah yang tinggal di belakang lorong kita itu. Masak kamu enggak kenal? Cantik sekali dia mamak lihat, cocoklah samu kamu yang hitam manis.”
[7] “Iya, selalu Mamak berdoa untuk kamu Nak. Tapi kamu juga harus ingat Mamak dan Ayah sudah tua, cepat-cepatlah pulang Nak.”
[8] “Baik Mak, Insyaallah.”
[9]Nadiem?! Kamu Nadiem?”


*Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar Kairo.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top