Ajari Aku Bersyukur

Oleh: Aja Chairul Husnah*

caption: sepositif.com

Namaku Rahmah. Aku seorang anak tunggal. Tetapi aku mempunyai saudari angkat yang diadopsi oleh bunda setelah kecelakaan tragis yang menimpanya beberapa tahun yang lalu. Namanya Risa. Ia kehilangan kedua orang tuanya saat kejadian. Bukan hanya itu, ia pun juga kehilangan penglihatannya. Namun, kasih sayang bunda tak pernah berbeda kepada kami berdua. 

Aku sering menghabiskan waktu bersama Risa. Dari menemaninya bermain sampai menuntunnya ke mushalla untuk menyetorkan hafalan Al-Quran, juga mengikuti kajian rutin putri bersamanya setiap minggu. 

Kata bunda, Risa adalah anak yang jenius. Ia dapat menghafalkan Al-Quran walau hanya dengan metode mendengar. Tidak seperti aku yang bisa melihat, memerhatikan, dan mendengar, tapi malas dalam menghafal Al-Quran.

Jujur kuakui, anak itu sungguh luar biasa. Setiap hari ia memberikan pelajaran berharga untukku. Ia bahkan tak pernah mengeluh dalam hidupnya. Aku kadang sempat berpikir apakah dia tidak bosan hidup tanpa kedua penghilatannya? Kesehariannya hanya mendengarkan radio dan tape yang diputar berulang-ulang di saat yang lain sudah mampu meng-update tayangan audio visual.

Bayangkan saja betapa membosankan melewati hari tanpa melihat keindahan pantai, nonton film, baca novel, nge-game, dan hal-hal lain yang biasa dilakukan remaja seusianya. Aku pun tak mau ketinggalan. Sibuk gonta-ganti gudget merk terbaru. Ikut trend yang semakin hari tiada habisnya. Aku juga hafal semua lagu yang lagi nge-hits sekarang. Pastinya aku selalu update dong. 

Meskipun demikian, aku tak pernah lupa dengan Risa. Aku selalu mencoba membagi kebahagiaan dengannya. Namun nyatanya, malah dia yang selalu memberikan kebahagian padaku. Tentunya kebahagiaan yang tak kudapatkan dari orang lain. Apalagi setelah kejadian beberapa hari yang lalu.

Kejadian itu bermula saat aku masih berada di sekolah. Fara teman sekelasku, menggerutu kesal dengan sikap kedua orang tuanya yang tidak mengizinkannya mengikuti study tour mengunjungi Menara Eiffel di Paris. Ya, memang ia adalah anak dari seorang pengusaha sukses di kotaku. Ia juga sudah biasa mondar-mandir ke negara tetangga setiap tahunnya.

“Apa sih yang ada dipikiran mereka, apa susahnya ngasih duit coba.” Ia terus menggerutu.

“Mereka sayang padamu Fara, mereka khawatir jika melepasmu pergi jauh.” Kataku menenangkannya.

“Orang tua macam apa itu. Kalau mereka sayang padaku, nggak mungkin papa mama menghancurkan kebahagiaan anaknya. Aku kan juga ingin bebas melihat negara Paris dari atas menara itu dengan jelas.”

“Kamu nggak boleh gitu Fara, itu dosa loh. Kita harus bersyukur.”

“Bersyukur dalam segala hal, mungkinkah?”

“Ya!”

“Tidak semudah itu.”

“Why not?”

“Kalau begitu, ajari Aku cara bersyukur.” Pintanya padaku.

Aku terdiam sejenak. Tiba-tiba ide cemerlang muncul di benakku. Kurasa Fara harus berjumpa dengan Risa.

 
Baca juga: Say "NO" to Tabarruj!
 

Sepulang sekolah kuajak Fara ke rumahku. Tepat saat azan Zuhur berkumandang, kami sampai di sana. Kulihat Risa sudah memakai mukenanya dan duduk di sofa. Ia sedang menunggu bunda untuk menuntunnya shalat.

Setelah selesai shalat berjamaah, kudekati Fara. Sambil tersenyum kubisikkan sesuatu padanya.

“Itu Risa saudariku. Ia belum pernah melihatku, apalagi negara Paris. Ia buta bahkan tidak pernah mengomeli orang tuanya. Karena keduanya telah tiada. Jika kamu berada di posisinya, apa kamu akan membenci Tuhan karena tidak memberimu kesempatan untuk melihat keindahan dunia, seperti kamu merasa kesal pada orang tuamu yang tidak memenuhi keinginanmu saat ini untuk melihat kota Paris dari menara tinggi itu?”

Fara bungkam. Buliran air mata terlihat jelas menggenang di pelupuk matanya. Ia menahan tangisannya hingga aku mendengar jelas senggegukan yang ia tahan. Saat ini kubiarkan ia menangis, hingga ia berbicara kembali saat tangisan itu reda.

“Kamu benar Rahmah, tidak semua yang kita inginkan harus kita miliki. Aku paham sekarang. Terima kasih telah mengajariku cara bersyukur. Dengan kedua mata ini dan kasih sayang orang tua, itu sudah cukup menjadi bukti bahwa rasa syukur harus selalu ada di dalam sanubari. Aku ingin pulang sekarang. Aku rindu mama dan papa.” Ucap Fara.

Aku tersenyum dan membiarkannya berkemas. Setelah itu, ia menjumpai bundaku dan bersalaman dengannya. Tidak lupa menyapa Risa yang sedang duduk manis memegang mushafnya.

“Mau mendengar hafalanku tidak?” pinta Risa padaku selepas kepulangan Fara.

“Fabiayyiaalaa-i rabbikumaa tukadzzibaan.”

“Ya Allah, nikmat mana lagi yang akan aku dustakan. Terimakasih telah mengirim bunda dan Risa sebagai perantara indahnya menjemput cinta-Mu.



 
*Penulis merupakan Mahasiswi tingkat dua Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top