Diskriminasi Agama Selama Pandemi COVID-19

Oleh: Muhammad Syukran*
Sumber foto: @everydaycairo 


Mesir sudah melewati 40 hari lebih masa lockdown. Perkembangan kasus wabah covid-19 di Mesir sudah mencapai 7201 kasus, kasus baru di tanggal (5/5) tercatat 388 orang perharinya. Pasien yang dinyatakan sembuh hanya 1730 orang, sedang yang sembuh di tanggal tersebut hanya 98 orang. Adapun total penderita yang meninggal 452 jiwa, dan perharinya 16 orang meninggal dunia di Mesir. 

Awal kemunculannya di Wuhan, Cina. Hampir seluruh negara masih adem ayem. Bahkan sebagian pemerintah di berbagai negara berspekulasi bahwa wabah tersebut hanya akan berdampak di Cina saja. Hingga di awal Januari, dinyatakan bahwa virus tersebut mulai menyebar kemana-mana. Lebih tepatnya melalui media yang ditumpangi oleh virus tersebut. 

Ketika situasi mulai genting, ternyata reaksi masyarakat masih saja belum berubah. Sebagian masih beraktivitas dengan santai, tak merisaukan apa-apa. Hingga kemudian meledak jumlah penderita di beberapa negara. Ada beberapa negara yang berzona merah, hingga pemerintah me-lockdown negera tersebut. 

Di akhir Januari, penulis sempat singgah di sebuah mesjid di ujung Kairo. Saat itu Mesir masih dengan keadaan biasa saja. Seorang khatib shalat Jumat terlihat sangat berapi-api berkhutbah. Awal khutbahnya dimulainya dengan nama Allah dan Rasulullah. Namun sayang di akhir khutbahnya sang khatib tak menyisakan bau harum kedamaian, malah doktrin keji dan sumpah serapah untuk sebuah kaum -yang sedang ditimpa musibah. 

Dalam khutbahnya beliau menyampaikan keutamaan bersyariat dan beribadah bagi muslim. Lalu berlanjut ke bab azab dan siksaan. Hingga kemudian topik beralih ke Cina. Cina yang saat itu sedang kalut memberantas wabah corona di negerinya. Adapun sang khatib dengan tenang mengkaitkan azab Allah dan virus corona. Dengan dalih bahwa setiap azab tersebut dituju kepada kaum-kaum yang tepat. Seperti yang diceritakan dalam al-Quran, azab kepada kaum Nabi Luth As., kaum Nabi Hud As., kaum Nabi Shaleh As., kaum Nabi Ayyub As., kaum Nabi Nuh As., dan kaum nabi yang lain. 

"Di Cina sedang terjadi wabah virus corona, dan itu adalah azab dari Allah kepada mereka semua. Ini semua adalah balasan bagi mereka yang menzalimi umat Islam beberapa bulan yang lalau -muslim Uighur. Sangat pantas bagi mereka balasan seperti ini mengingat perbuatan yang telah mereka lakukan". Kurang lebih seperti itu isi dari khutbahnya. 

Hingga akhir khutbahnya sang khatib menutupnya dengan salam. Walaupun khutbahnya sangat berapi-api, jemaah yang hadir terlihat biasa saja. Mereka tak terlihat merespon khutbah yang menebar benih kebencian tersebut. 

Biasanya, ketika ada khutbah yang bertepatan dengan suatu kejadian heroik atau tragedi, hampir seluruh jemaah di setiap mesjid di Mesir akan ikut berapi-api, seperti pengeboman mesjid sufi di Sinai, duka di Palestina, meninggalnya tokoh-tokoh muslim. Tapi tidak untuk kali itu. Seolah jemaah tak mengubris sang khatib. Setelah shalat, khatib langsung keluar dari mesjid tanpa meninggalkan 2 rakaat sunnah pun. Dan tak ada seorang jemaah yang mencoba untuk menyapa atau bersalaman dengannya. 

Di hari yang lain, penulis singgah di sebuah toko untuk membeli seekor ayam potong. Tampak seorang penjaga toko yang berbeda. Bukan penjaga yang biasa berjaga di sana. Setelah meminta seekor ayam potong, dari kejauhan si penjaga bertanya, dan terjadi percakapan di antara kami berdua, "Kamu dari India? Bangladesh?" Lalu penulis menjawab, "Bukan, saya dari Indonesia" "Dimana itu?" "Dekat, dekat India juga" "Ohiyaiya,.. kamu tahu kabar tentang Cina? Di sana sedang ditimpa mala petaka, virus corona. Itu azab bagi mereka, mereka itu atheis dan penyembah patung. Suka makan yang tidak sehat dan tidak dimasak, makan babi, anjing dan kucing. Pantas sekali Allah timpakan musibah tersebut untuk mereka." 

Merasa aneh, seolah penulis mendengar khutbah Jumat dengan tema yang sama untuk kedua kalinya. Pertama dari khatib Jumat dan yang kedua dari seorang tukang ayam. Ironisnya toko ayam tersebut berdiri tepat di samping mesjid Azhar, di bawah bayangan tinggi menara mesjidnya. Sungguh ironis, mungkin syiar-syiar kedamaian tak masuk ke toko ayam miliknya. 

Sumber foto: @everydaycairo 
Di bulan Februari dan Maret virus tersebut mulai menunjukkan taringnya di semua belahan bumi. Korban mulai berjatuhan dimana-mana. Amerika Serikat yang sempat menganggap Cina lebay dengan virus tersebut, akhirnya harus bertekuk lutut dengan jumlah penderita dan korban jiwa terbanyak dari negara lain. 

Di Mesir terjadi diskriminasi dimana-mana, datang dari masyarakatnya untuk turis dan mahasiswa asing yang belajar di sana -khususnya Asia. Seorang mahasiswa Al-Azhar asal Cina sempat muncul di media berita Mesir karena menjadi korban bullying. Kemudian ada sebuah penyataan dari seorang mentri Mesir tentang penyebaran virus corona di Mesir akibat turis asing, yang kemudian disalah artikan oleh sebagian orang. Hingga hal ini menyudutkan sebagian besar mahasiswa asing yang banyak dari Asia. Ini semua terjadi kerena penyebaran virus corona sudah meluas di Mesir, tercatat 8 persen dari penderitanya meninggal dunia. 

Di tengah-tengah diskusinya di sebuah seminar, Habib Ali Al-Jufri mengatakan bahwa Uighur adalah masalah politik, bukan masalah agama, seperti yang digembar-gemborkan di media sosial akhir-akhir ini. Konflik Uighur berawal dari sebuah perlawanan untuk memisahkan diri dari Cina. Melalui ini lah, ada pihak yang bermain api, memanfaatkan dengan mempersenjatai penduduk Turkistan Timur dan Uighur, seperti halnya di Afghanistan dan Uni Soviet. 

Terlepas dari semua itu, beliau mempertanyakan bagaimana bisa kita mengklaim bahwa corona adalah azab dari Uighur, namun di sisi lain penduduk Uighur juga ada yang terkena, sedangkan orang-orang "penting" yang mengeluarkan keputusan zalim terkait Uighur justru ada yang tidak terkena. 

Jika semua yang terjadi dianggap sebagai azab, bagaimana dengan kebakaran Amazon? Azab untuk siapa? Dan membunuh siapa? Tidak ada hak bagi kita mengklaim ini semua dengan membawa-bawa nama Allah Swt.

Menyindir penderita virus corona di Cina dan mengklaim bahwa itu adalah balasan dari Tuhan atas konflik yang terjadi di Uighur, juga sarat akan bentuk diskriminasi yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan ajaran agama, etika maupun kemanusiaan. 

Maka sang khatib dan penjual ayam di atas telah keliru dalam orasinya. Bahwa virus corona tidak muncul akibat sebuah agama. Tidak pula menimpa sekelompok agama saja. Tidak pula hanya bersemayam di Wuhan saja. Wabah tersebut juga berdampak bagi orang muslim, jika saja dikatakan itu azab, berarti azab tersebut sudah pula menimpa muslim. Maka tuduhan azab sudah menjadi bumerang bagi kaum muslim sendiri. Mirisnya lagi, ada seorang ustad yang berani mengomentari bahwa jika ada penderita corona dari kalangan muslim menandakan dia orang fasik dan berdosa. Penghukuman seperti ini bisa memicu banyak kebencian. Karena musibah yang datang tidak seorang pun tahu asal muasalnya kecuali Sang Maha Pencipta. 

Ketika berbicara tentang isu-isu keagamaan, hampir semua pemeluk agama akan terbakar emosi betapapun fasiknya orang tersebut. Semua pemeluk akan tersinggung dan marah jika agamanya dituduh sebagai penyebab diturunkan sebuah petaka/musibah. Karena pada dasarnya agamalah yang memperteguh seseorang dalam kehidupan. Mengatur pundi-pundi kehidupan pemeluknya. Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Padahal petaka tersebut tidak datang setiap waktu. Tidak semua musibah itu azab, bisa jadi itu ujian bagi semua penduduk bumi. 

Segala sesuatu baik dan buruk ada penciptanya, tidak ada intervensi hak progratif dari seorang pemeluk agama untuk menghukumi hak kekuasaan Tuhan atas siapa. Segala bentuk nikmat dan azab adalah datang dari Allah dan tidak ada ikut campur manusia di sana. Bahkan sebab dan tujuan diberikannya hanya Dia-lah yang Maha Tahu. Sedang manusia tidak mengetahui apa-apa. Jika saja diberikan nikmat dan musibah maka sah-sah saja seorang muslim menisbahkan itu semua kepada Allah Swt. selagi tidak menyalahi kaidah penerimaannya. 

Seperti kaidah menerima sebuah nikmat, seorang muslim dianjurkan untuk bersyukur, tanpa harus mangangkuhkan diri bahwa nikmat tersebut datang dari ketaatannya. Begitupun kaidah saat ditimpa sebuah musibah, muslim dianjurkan untuk bersabar dan senantiasa tawakkal. Tanpa harus menyalahkah Tuhan yang Maha Kuasa akan musibah tersebut, wa hadza min babil adab ma'a Allah. Adapun sebuah nikmat yang datang dari Allah bukanlah karena baiknya seorang hamba tersebut, akan tetapi karena Allah Maha Pemberi Nikmat. Adapun ditimpanya musibah pada seorang hamba bukan pula berarti akibat murka, melainkan kasih sayang yang belum sanggup kita logiskan sekarang. 

Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Ahmad Thayyeb di situs resmi facebook Al-Azhar Asy-Syarif 


Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Ahmad Thayyeb terkait intimidasi dan cemoohan bagi penderita yang terinfeksi virus corona mengatakan: 

"Kita semua mengikuti prevalensi di media dan media sosial tentang intimidasi dan ejekan orang-orang yang muncul terhadap virus corona dan para korbannya, itu sangat ironis, dan bahkan tidak menyenangkan. 

Pandemi ini telah menjangkiti umat manusia di Timur dan Barat bumi, dan inilah yang mengharuskan kita semua untuk bergandengan tangan sampai dihancurkannya virus tersebut -InsyaAllah-. Tidak dibolehkan dan tidak pernah diizinkan, baik oleh pemerintah dan siapapun, untuk mengolok-olok orang lain yang pernah menderita sakit ini. Baik dia yang meninggal atau sembuh kemudian, tetapi tugas kita adalah mendoakan orang tersebut selaku saudaranya, dan menunjukkan solidaritas dengannya, dan tidak menertawakannya dengan sebuah kata, pandangan, tindakan, atau ucapan yang melukai orang tersebut dan keluarganya." 

Al-Azhar dan Darul Ifta' sebagai lembaga fatwa sangat giat menerangkan segala macam persoalan menyangkut keberlangsungan hidup rakyat Mesir. Bahkan selama masa pandemi corona, Darul Ifta terlihat aktif memberikan info dan fatwa seputar ibadah selama wabah ini. Selain membahas hukum fikih, Darul Ifta' juga menggandeng departemen kesehatan sebagai rujukan medis bagi mereka yang membutuhkan. 

Saat terjadi kasus depresi tak cukup hanya dengan diberi fatwa dan nasehat agama, Darul Ifta' Mesir juga menggaet pakar psikologi untuk masalah kejiwaan. Di sini lah dibutuhkan kerja sama keduanya sehingga orang tak mengolok-olok solusi dari agama, juga tak menyepelekan urgensitas dari ilmu medis. Di sana terlihat jelas agama dan pengetahuan bergandengan bersama menuntun masyarakat untuk hidup lebih baik. Keharmonisan ini sangat efektif bagi kedua pihak sehingga tak memberi celah untuk diprovokasi. 

Selain diskriminasi terhadap agama, juga pasti akan muncul teori-teori konspirasi membuat suasana lebih berwarna. Kurang lengkap rasanya sebuah kejadian tanpa dibumbui teori konspirasi. Mulai dari bumi datar, ikut campur yahudi, kerajaan Ratu Balqis, hujan batu dan buah apel bahkan sekadar pulpen yang hilang di kelas. Teori konspirasi selalu menemukan celah dalam pikiran manusia. 

Ada teori konspirasi yang terungkap, ada pula yang tidak. Yang bermasalah adalah saat sebuah konspirasi yang tidak terbukti, tapi tetap saja diyakini sebagai kebenaran. Selain sebagai sebuah teori, konspirasi bisa menjadi bahan propaganda bagi sebuah kaum. Dengan sedikit modifikasi konspirasi bisa menjelma menjadi sebuah pembenaran. 

Terlepas dari semua ini, selaku manusia yang memiliki fitrah dan kebebasan, setiap kita berhak menjaga kesehatan diri dan orang sekitar. Menjaga diri agar tak menjadi media untuk virus itu berkembang dan pindah ke tubuh orang lain. Dengan menjaga diri, kita juga sudah menjauhkan musibah dari orang lain. 

Selain menjaga diri dari virus corona, kita juga dianjurkan agar tak menyebarkan virus-virus lainnya. Seperti virus hoax yang masih saja berjamur dimana-mana, bahkan sangat gencar di tengah pandemi ini. Meresahkan masyarakat lewat informasi dan berita yang ada. Begitu pun kita agar lebih waspada dan berhati-hati menjaga kesterilan asupan gizi dan informasi. Anjuran untuk menetap di rumah adalah solusi yang ditawarkan untuk keselamatan pertama menjaga diri. Dengan begitu kita akan terjaga dari hal-hal yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain untuk sementara ini. 




*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin jurusan Akidah dan Filsafat Universitas Al-Azhar Kairo. 

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top