Wasiat dari Sang Mujaddid, Badiuzzaman Said Nursi

Oleh: Muhammad Farhan Sufyan*
Rasailenglish.com

“Makluk aneh telah menyerang Kota (Istanbul), seluruh rakyat ketakutan, pintu rumah ditutup rapat. Malam sunyi tanpa sura bahkan rintihan jangkrik sekalipun. Tapi ada seorang pejalan yang sedang mencurahkan kasih sayang terhadap rakyat yang terlantar, ia bagai cahaya yang menerangi suramnya malam. Ia adalah Badiuzzaman Sa’id Nursi.”
Dikutip dari penggalan muqaddimah, dalam buku Akhirul Fursan, karya Ustad Farid Anshari. 

Desa Nurs, menjadi saksi bisu hidupnya seorang sufi yang kelak darinya, lahir 7 orang anak. Disapa dengan gelar Hoca Mirza yang sejak kecil rajin berzikir ketika ditugaskan menggembala lembu di padang rumput nan luas. Dari sifatnya yang amanah dalam tiap amal, akhirnya ia bertemu dengan istrinya, Nuriye. Keduanya dipertemukan dan dijodohkan oleh kedua orang tuanya masing-masing. 

Dari pernikahan inilah kemudian lahir seorang anak bungsu yang kelak mengubah dunia, menggertaknya dengan kedua mata, ia kerap disapa sebagai mujaddid di abad 20-an, sang pembara api tauhid ketika Kerajaan Turki Utsmani diserang makhluk aneh dari eropa yang gerah akan keruntuhan dan kemerongsotannya.

Begitulah perumpaan yang disebut oleh Ustad Farid Anshari dalam bukunya, makhluk-makhluk itu diibaratkan sebagai orang yahudi, Eropa dan etnis lainnya yang sangat gerah terhadap keruntuhan Dinasti Ottoman yang telah berdiri lebih dari 500 tahun lamanya dengan kekuasaannya meliputi sebagian Eropa, Asia, dan Afrika. 

Salah satunya ialah, Theodore Herzl seorang yahudi ekstrim. Ialah perancang strategi pencaplokan Palestina untuk didirikannya negara resmi kaum yahudi. Berbagai usaha dilakukan seperti negosiasi dengan Sultan Abdul Hamid II, mengirim juru bicara dan mengiming-imingi pelunasan hutang kerajaan. Namun semua dengan tegas ditolak oleh Sultan. 

Dimulai dari rasa kekecewaan dan amarah karena ditolak oleh Sultan maka para pembesar-pembesar yahudi mulai merancang berbagai ide dan struktur organisasi yang siap menyerang Turki Utsmani melalui luar maupun dalam. Seperti mendukung Armenia yang memberontak ke Sultan, menyokong gerakan nasionalisme Balkan untuk memisahkan diri dari pemerintahan Utsmani, mendukung gerakan Nasionalisme Kurdi dan semua separatisme yang ingin lepas dari pemerintahan dan yang paling penting ialah mendukung gerakan Jon Turkler atau Young Turks dan Ittihad ve Terakki atau komita persatuan dan kemajuan (Commite of Union and Progress, CUP) yang kemudian hari menjadi palu godam pemakzulan Sulthan Abdul Hamid II. 

Dengan berbagai upaya yang rapi dan licik, gerakan dan organisasi tersebut berhasil memakzulkan Sulthan Abdul Hamid II dan diganti oleh Sulthan Mehmet Resad. Pada saat itu, kondisi Turki Utsmani laksana singa lumpuh. Taring, cakar dan kekuatannya dapat dikendalikan dengan mudah oleh pihak luar. 

Kala itu pula, perang dunia dikobarkan oleh Austria dan Jerman untuk melawan Inggris, Prancis dan Rusia. Badiuzzaman menyeru agar Turki tak ikut campur dalam perang besar ini karena sedang tak siap, baik dari segi mental, ekonomi, kekuatan militer dan ketahanan sosial. Namun, orang-orang yang menginginkan keruntuhan Turki diam-diam bergerak dan membuat kesepakatan dengan pihak-pihak berperang itu. Hingga jadilah Turki ikut serta dalam Perang Dunia I yang kemudian hari menjadi palu godam keruntuhannya sendiri. 

Lantas, bagaimanakah sikap Badiuzzaman Said Nursi dalam menghadapi situasi demikian rupa? 

Meskipun beliau tak menyetujui Turki Utsmani untuk terlibat dalam peperangan. Tapi, ketika seruan berjihad telah dikumandangkan dengan nyata-nyata, maka Said Nursi pun angkat senjata. 
Badiuzzaman Said Nursi. (Foto: Saidnursi.ed)

Ketika perang berkecamuk hebat, pasukan yang dipimpin Said Nursi disandera oleh tentara Rusia. Termasuk beliau sendiri, dan hampir saja beliau dieksekusi. Tepat, di saat seluruh tawanan berteriak dan meminta ampun agar jangan ditembak mati. Lain halnya dengan Said Nursi, beliau meminta izin shalat dua rakaat sebelum dieksekusi. 

Usai shalat, beliau berdiri dengan tegap dan bersiap ditembak. Akan tetapi jendral Rusia itu menghentikan tembakan. Berkat pertolongan Allah, jendral tersebut merasa orang yang di hadapannya tak layak dibunuh mati, ia benar-benar hanya seorang ulama yang tak berbahaya. 

Tak lama kemudian, Rusia diserang sedangkan sistem pertahanannya melemah. Seketika itu pula Said Nursi mengambil kesempatan untuk melarikan diri dengan berjalan pulang ribuan kilometer ke tempat asalnya, Turki Utsmani. 

Sesampainya di sana, ia melihat keadaan sudah sangat semrawut dan berantakan. Karena ada beberapa ulama yang telah menyeru untuk berjihad melawan rezim pemerintahan yang kala itu telah dipimpin oleh Mustafa Kemal At-Turk. Berbagai hal yang berbau Islam diubah. Azan harus dengan bahasa Turki, larangan memakai hijab bagi wanita, pelarangan penulisan dengan huruf bahasa Arab dan lain-lain. 

Para ulama tak setuju karena itu sangat bertentangan dengan syariat Islam. Maka seruan berperang antara ulama dan rezim pemerintahan terwujudkan. Tak sedikit dari kedua pihak mengalami kehancuran dan kekalahan. Darah-darah berhamburan, beberapa diantaranya terkena imbas bagi masyarakat yang tak berdosa apa-apa. Lain halnya, Badiuzzaman Said Nursi tak setuju dengan pendapat demikian. Karena menurutnya itu adalah peperangan sesama saudara sendiri yang berarti penghancuran diri oleh diri sendiri. 

Dengan tindakan itu, mulailah fitnah terus berdatangan karena Said Nursi tak mengikutsertakan diri dalam perang. 

Kemudian hari berganti hari, kehidupan Said Nursi berubah menjadi pedang yang tak tampak, ialah dengan menulis Rasail Nur dalam berbagai pengasingan dan masuk keluar penjara. 

Wallahu A'lam, bagaimanakah tulisan-tulisan itu mampu hadir dan beredar di kalangan masyarakat bahkan di koran. Hingga menjadi cahaya penerang tauhid bagi ummat Turki. Di saat rezim pemerintah menutup paksa berbagai sarana keagamaan. Mungkin itulah buah dari keikhlasannya dan kecintaannya terhadap umat dengan rambu-rambu syariat. 

Dan kini, sang pembara api tauhid itu meninggalkan kita. Kepergiannya tak hanya murid (Thullabun Nur) yang tersendu menangis pilu. Akan tetapi, seluruh dunia patut berduka cita. Karena salah satu pejuang tauhid telah tiada. Kerajaan pelindung nama Islam telah mengakhiri kekuasaannya. Iya, itulah hari-hari terakhir Ramadhan pada bulan Maret, tahun 1960. 

Diceritakan Badiuzzaman Sa’id Nursi meninggal karena penyakit yang dideritanya. Detik-detik sebelum Allah menjemputnya, beliau sempat berwasiat kepada muridnya. 

"Wahai saudaraku… 

Sungguh kewajiban kita ialah melakukan amal mulia di sisi Allah. Bukan merajalela dalam kemungkaran dan kehancuran. Sesungguhnya, kita dibebani dengan berbaik cara dan bersabar serta bersyukur dalam tiap hasil yang dicapai. Tujuan kita hanyalah berusaha mencegah kemungkaran dan kesulitan umat. Dan hal demikian itu hanya dapat dicapai dengan khidmah iman yang kelak akan berbuah kenyamanan dan kedamaian bagi masyarakat semata. Benar, bahwa kita punya kekuatan (fisik) tapi kita tak butuh hal itu (kekuatan fisik). Karena salah satu syarat terwujudnya jihad secara maknawi ialah tak mencampuri urusan Rububiyyah, yakni menitipkan semua hal semata kepada Allah. 

Wahai saudaraku… 

Sesungguhnya kematian telah mendekatiku. Dan bisa saja, lumpuh mendatangi lisanku hingga tak dapat berkata apa-apa. Maka janganlah kalian memusuhi dan memerangi ulama yang kalian rasa meminta pertolongan dan jangan bergantung pada ulama yang ahli bid’ah. Janganlah kalian menyerang orang-orang miskin. Sungguh kekuatan kita tak berlaku bagi masyarakat. 

Wahai saudaraku… 

Sungguh kita tak menghiraukan hal-hal berbau d-uniawai. Kita hanya memandangnya sebagai sarana menuju Allah. Oleh karena itu, kita memaafkan bagi siapapun mereka walaupun mereka berlaku zalim. Maka sungguh para pembesar demokratis itu tak mengembalikan hakikat-hakikat agama. Tapi jangan pula kalian menyerang mereka di sisi kesalahannya. Dan setiap datang tawaran dan iming-iming dari mereka, hendaklah diperiksa dahulu jangan semata-mata diterima begitu saja. Begitu pula, untuk kelompok politik. Apabila mereka tak ikut campur dalam urusan Rasail Nur maka silahkan berteman dan ambil berbagai kesempatan (dalam penyebaran Risalah an-Nur). Berusahalah untuk memanfaatkannya. 

Wahai saudaraku… 

Kadang kala kematianku akan segera mendatangi. Maka berhati-hatilah. Sungguh ini adalah zaman yang rusak. Karena ia telah diisi penuh oleh ananiyah dan kecintaan terhadap pribadi masing-masing. Sungguh, pelajaran pertama yang bercahaya dari Al-Quran yang kupelajari ialah ketika kalian dihadapi pilihan antara kerajaan dan kebenaran, maka pilihlah hakikat keimanan semata karena Allah."




*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra Arab Universitas Al-Azhar Kairo.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top