Memaknai Seruan Al-Azhar "Kembali ke Turats"

Oleh: Muhammad Asruri*
www.tellerreport.com/


Beberapa tahun belakangan ini, seruan Al-Azhar kepada umat Islam agar kembali kepada pemahaman Islam yang moderat terus menggema. Hal ini seiring dengan semakin panasnya wacana keislaman yang berkembang di tengah masyarakat dewasa ini. Umat Islam dibuat berjalan di tempat dengan selalu sibuk dengan urusan-urusan duniawi yang memandulkan kreativitas internal klasik keislaman. 

Mengurai sejarah keemasan Islam tidak terlepas dari literasi klasik atau turats yang dibukukan oleh pemikir-pemikir Islam terdahulu, dimana sejak mulainya pembukuan ilmiah pada masa imam arba'ah hingga sekarang. Hingga kita berada dalam masa dimana kurang bahkan tidak mampu beraktivitas secara produktif layaknya ilmuan muslim dimasa keemasan Islam. 



Kondisi umat yang demikian itu dipicu oleh semakin maraknya dunia takfir dan tabdi’ di tengah kehidupan masyarakat. Wal hasil, mujtahid telah mengupas tuntas melalui jalan ijtihad hukum-hukum syar’i, dimana mereka memproduksi hukum yang akan didistribusikan kepada konsumen-konsumen muslim melalui calonya yaitu ulama baik mutaakkhirin hingga mu’tabar.

Imam Abu al-Khattab berkata: "Seorang mufti adalah dia yang menjadikan fatwa-fatwa layaknya kalung yang akan dipakai oleh penikmatnya".

Dengan kata lain, ada banyak peran penting dalam kokohnya ilmu keislaman dalam penyebaran islam, mulai dari masa mujtahid mutlak, kemudian diambil oleh penjual hukum yaitu mustafti, agar konsumen yaitu kita bisa menikmati jalannya hukum keislaman. 

Gettyimage.ea

Hal semacam inilah yang membuat Al-Azhar menginisiasi sejumlah muktamar untuk menggulirkan wacana moderasi Islam kepermukaan, sehingga dapat diakses dan dipahami oleh publik secara luas atau dengan bahasan ilmiah adanya mahkamah ilmiah yaitu ranah lingkup fiqih muqarin. Dan untuk memahami moderasi Islam dengan tepat dan benar, maka satu-satunya jalan adalah dengan kembali menggali turats (khazzanah keislaman) sunni al-Asy’ari sebagai mazhab ahlu sunnah. Sebab itulah beberapa bulan yang lalu, Al-Azhar menggelar seminar dengan tema “Imam Abu al-Hassan al-Asy’ari” yang merupakan tokoh sentral dari mazhab sunni al-Asy’ari, bahkan seminar-seminar lainnya yang bertemakan “Ahlu Sunnah wal Jamaah”.

Baca juga: Ayo Kembali ke Turast!

Maka demi kemaslahatan bersama, mari sama-sama kita mudur sedikit ke belakang, sejarah Al-Azhar dari masa ke masa. Dalam sejarahnya, Al-Azhar yang sekarang telah jauh perkembangannya dari dahulu, baik melalui struktur bangunan, pembelajaran dan manhajnya. Namun semua itu tidak terlepas dari peran penting empat dinasti abad silam, dimulai sejak dinasti Fathimiyah yang didirikan oleh al-Mahdi Abu Muhammad Ubaidillah tahun 297 H.

Di Maroko, di bawah kepemimpinan Abu Tamim Ma’ad al-Mu’iz li Dinillah dengan panglima perangnya Jauhar al-Siqilli. Dinasti Fathimiyah berhasil menaklukkan Mesir pada tahun 358 H. Setelah tiga invasi yang dilakukan oleh khalifah sebelumnya mengalami kegagalan. Setelah Mesir berhasil dikuasai, hal pertama yang dilakukan al-Siqilli adalah mendirikan kota al-Mansuriyah, nisbat kepada khalifah Fathimiyah ke-3 al-Mansur billah Abu al-Tahir Ismail. Kemudian pada tahun 362 H. Al-Mu’iz mengubah kota ini menjadi al-Qahirah (Kairo). 
Youtube.com
Sejarah keilmuan Al-Azhar dimulai pada masa ini, sistem belajar mengajar (talaqqi) pertama kali dipimpin oleh Qadhiul Quddat (hakim agung) Abu Hassan al-Wani ahli fikih Syiah Ismailiyah dengan kitab al-Iqtisar atau al-Iqsar karya orang tuanya Ibnu Hayyun. Hingga di masa ini mazhab resmi negara adalah Syiah Ismailiyah. 

Pada tahun 566 H. Sultan Nuruddin al-Zanki memerintah Shalahuddin al-Ayyubi mengalihkan kekhalifahan Fathimiyah ke dinasti Abbasiyah: al-Mustadi bi Nurillah. Pada masa ini praktis mazhab resmi Mesir berubah dari Syiah ke Sunni, dan dibukanya Madrasah Nashiriyah yang mengajarkan mazhab Syafi'i, Madrasah Qumhiyah (Maliki) dan Madrasah Suyufiyah mengajarkan mazhab Hanafi. 

Pada tahun 665 H. Izzuddin Aidmar wakil kesultanan Mamalik era Sultan Baibars menguasai Mesir, bil khusus Al-Azhar dan mengaktifkan pengajian fikih Syafi'i dan membuka kembali sistem wakaf setelah sebelumnya dihentikan. Di masa ini Al-Azhar berdedikasi tinggi dalam sejarah penyebaran Islam dilihat dari terbentuknya Madrasah Baibarsiyah yang khusus mengajarkan fikih Syafi'i, Madrasah Jauhariyah dan madrasah lainya yang dibangun oleh Zahir Baibars, Qalawun dan lainnya. 

Kemudian pada januari 1517 M. Mesir berhasil ditaklukkan oleh Dinasti Utsmani, dan pusat kekhalifahan berpindah dari Kairo ke Istanbul. Hal ini mengakibatkan putusnya hubungan Mesir dan Syam serta terlepasnya Hijaz dari Mesir. Pada masa ini awal mula dibentuknya jabatan Grand Syekh Al-Azhar dengan kandidat pertamanya Syekh Muhammad Abdullah al-Kharrasyi. Pada era ini, Al-Azhar mulai dikenal ke penjuru dunia dan mempertahankan manhaj yang dicetus oleh Shalahuddin al-Ayyubi. 

Dari inilah kita melihat langsung melalui literasi sejarah, bahwa tolakan-tolakan keras terhadap al-Azhar hanyalah fiktif belaka sebab ingin memudarkan pamornya. Sejak masa dinasti Fathimiyah hingga sekarang, al-Azhar tidak terlepas dari baju turast karena itu merupak huwwiyah Al-Azhar. Setiap paparan pembahuran berupa karya-karya modern semua berpadu dan bersumber dari kupasan turast, karena turast itulah tatanan ilmiah Islam dan salah satu bekasan dari mukjizat retorika (balagah) al-Quran. Badiuzzaman Said Nursi berkata: "Di antara mukjizat al-Quran adalah tersebarnya segala aspek keilmuan melalui lajnah klasik (turast)". 

Akhir kata, penulis mengajak para jil-jil penerus syiar Islam untuk kembali mendalami turast sebelum meranjak turun ke zona penjualan hukum.



*Penulis adalah Mahasiswa tingkat 1 Jurusan Syariah Islamiyah Fakultas Syariah wal Qanun Universitas Al-Azhar.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top