Huru-hara Covid-19 dan Ironi Kaum Populis dalam Merespons Penyebaran Teori Konspirasi


Oleh: Muhammad Mutawalli Taqiyuddin*
*pemenang juara I lomba opini
@mutawallitaqiyuddin

Korban Covid-19 kian hari kian bertambah di seluruh dunia, baik itu yang positif sampai kehilangan nyawa. Ketika disorientasi pemerintah dan lembaga kedokteran berusaha dalam melawan pandemi, sebagian masyarakat lain malah sibuk menuduh Bill Gates sebagai aktor licik dibalik tersebarnya virus. Tidak dipungkiri kalau itu bisa jadi benar, tidak ada salahnya beropini, tapi bayangkan betapa ironisnya kalau ternyata memang benar saat ini Bill Gates dan segenap jajaran sedang berusaha untuk mencari vaksin untuk melawan virus, lebih bijak kalau waktu yang disibukkan untuk menuduh itu digantikan dengan beropini berlandaskan positive thinking bagaimana ke depannya nanti. Muncul lagi tuduhan kalau Bill Gates sengaja memproduksi vaksin untuk kepentingan bisnis setelah menyebarkan virus, jelas itu adalah kepercayaan dan prasangka yang tidak didasari dengan naluri kebaikan. 

Salah satu pembentuk identitas suatu negeri adalah dilihat dari apa yang rakyatnya percaya. Jika suatu bangsa percaya kalau ilmu pengetahuan adalah kekuatan, maka bangsa tersebut akan berdiri sesuai kemajuan ilmu pengetahuan. Jika rakyat tak percaya dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang ada, rakyat hanya akan menerima informasi-informasi yang dianggap paling mudah dicerna serta cocok dengan kerangka serta simulasi yang ada walaupun itu menyalahi kaidah akal dan ilmu pengetahuan (cocoklogi). Saat ini, pihak populis sedang mencari arah mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi di masa pandemi ini, apakah yang terjadi saat ini sesuai dengan aba-aba dari pemerintah atau justru ada aktor dibalik jatuhnya korban karena Covid-19, apakah itu elit global seperti Bill Gates atau aktor lain yang dianggap sebagai elit. 

Populisme atau kaum populis identik dalam ranah politik. Maka di era pandemi yang menyentil ranah politik ini, pastilah populisme terlibat dalam kelangsungan sirkulasi politik yang berjalan pada satu negeri. Munculnya istilah populisme menyebabkan munculnya kasta-kasta sosio-ekonomi seperti kaum Borjuis (menengah atas) sampai kaum dengan kasta terbawah. Banyak negara yang dalam sejarahnya pernah jatuh tidak stabil akibat populisme. Jika populisme ini menentang pemerintah, maka demo atau unjuk rasa kemungkinan besar takkan dapat dihindari. Jika mereka tidak puas ditambah tidak percaya dengan pemerintah dan lembaga kedokteran, maka kekacauan di era pandemi ini akan semakin menjadi-jadi dan korban virus akan mengalami eskalasi yang susah untuk dikendalikan. 
@everydaycairo

Mengapa Kaum Populis? 

Populisme adalah masyarakat yang mengaku ingin melawan elit karena dianggap korup atau lemah secara moral. Populis tidak hanya anti-elitis, tapi juga anti-pluralis, karena mereka mengklaim bahwa hanya mereka yang merepresentasikan masyarakat. Ditambah lagi dengan mereka yang didominasi oleh orang-orang yang tidak ada latar belakang pendidikan tinggi. Mereka juga didominasi oleh orang-orang yang memiliki kesamaan kondisi emosional, marah dan frustasi. 

Mereka mengklaim bahwa hakikat dari figur dan presentasi masyarakat adalah kaum populis, karena mereka punya sifat anti-elitis dan anti-pluralis. Maka atas beberapa faktor inilah, kaum populis menjadi jalur paling mudah tersebarnya teori konspirasi yang sifatnya memihak ke rakyat dan beberapa cocoklogi-cocoklogi yang mudah dipahami masyarakat awam. Himbauan dan maklumat dari kedokteran soal virus ini akhirnya menjadi laporan terbuang karena tidak direspons dengan baik oleh penganut konspirasi, padahal sudah jelas kalau pemerintah dan lembaga kedokteran/kesehatan sebagai pengintervensi di masa pandemi. 

Faktor dan Solusi 

Dinamika pandemi Covid-19 ini menggoyang seluruh bidang primer kenegaraan seperti politik, sosial, ekonomi, kesejahteraan dan lain sebagainya. Ketika pemerintah mengkonfirmasi mengenai virus ini ditambah dengan himbauan-himbauan yang ada, sebagian oknum dan kelompok malah lebih ingin buka telinga dengan kabar Bill Gates sebagai dalang dibalik penyebaran virus, sinyal 5G, senjata biologis yang diluncurkan oleh China, Corona itu sebenarnya tidak ada, yang ada hanya flu biasa serta berbagai konspirasi lain. Wajar kalau masyarakat awam atau kaum populis spontan percaya dengan berbagai konspirasi yang kontradiksi dengan maklumat pemerintah karena saat ini pihak pemerintah dan lembaga kesehatan belum menemukan solusi pasti apalagi vaksin atau antibiotik untuk menyembuhkan pasien korban virus. 

Di saat yang sama, teori konspirasi menawarkan jawaban informasi dan kebutuhan pemahaman yang konsisten, ini disebut sebagai motif epistemik mengapa orang awam mudah percaya dengan konspirasi. Kepercayaan terhadap konspirasi juga dipengaruhi oleh motif eksistensial serta motif sosial (The Psychology of Conspiracy Theories), akibatnya kepercayaan mereka terhadap sains kian hari kian melemah ditambah lagi kekuatan masyarakat yang terus goyah karena tidak diperkuat ilmu pengetahuan. Fenomena yang lebih parah lagi adalah ketika mereka tidak percaya dengan para dermawan kaya raya yang ikut berusaha memproduksi vaksin atau obat penangkal virus, mereka menganggap itu semua hanya realisasi berjalannya rencana dan bisnis mereka. 

Maka tak heran kalau ancaman dari penyebaran teori konspirasi ini sangat berbahaya, selain merugikan diri sendiri, ranah-ranah yang lain seperti sosial, ekonomi dan politik juga ikut jatuh akibat kekuatan masyarakat yang salah arah. Seharusnya menjadi kaum populis atau masyarakat umum sekalipun, percaya kepada ilmu pengetahuan menjadi tugas bersama sebagai warganegara untuk kesejahteraan dan kemaslahatan bersama, bukan malah mengacau dengan membentuk kotak baru yang ujung-ujungnya juga merugikan semua pihak baik pemerintah maupun rakyat sendiri. 

Jika pemerintah di huru-hara pandemi benar-benar fokus untuk sanitasi dan aksentuasi kesejahteraan semua lingkaran masyarakat, pengaruh tersebarnya virus konspirasi itu akan menurun perlahan-lahan, kalau perut mereka kenyang, mereka tak akan cari masalah dan percaya akan himbauan resmi yang ada. Percaya pada ilmu pengetahuan adalah kekuatan serta tak lepas dari penguatan mental masyarakat melalui kepedulian sosio-ekonomi yang dijaga. 

*** 

Ada hikmah lain yang juga bermanfaat bagi kelangsungan etika dan sosial kemasyarakatan yang dapat dipetik, yaitu soal bahaya kebohongan. Bukan soal pihak mana yang harus kita percaya, tapi soal kesadaran bagaimana bahayanya kalau ada satu pihak sengaja menerbitkan kebohongan dengan tujuan kepentingan pribadi atau kelompok sendiri. Itu semua menjadi bahan renungan yang cocok dipikirkan di masa huru-hara pandemi seperti ini.



*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top