Turats sebagai Tangga untuk Memahami Islam yang Sempurna

Oleh: Annas Muttaqin*
Sumber foto: Maarten de wolf photography

Sebelum kita menelisik lebih jauh tentang bagaimana turats bisa menjadi tangga untuk memahami Islam yang sempurna ada baiknya terlebih dahulu kita mengkaji makna dari pada turats yang dimaksud agar tidak menjadi simpang siyur dalam memaknainya. 

Turats (تراث) merupakan suatu kata dalam bahasa Arab, berasal dari kata “wa ri tsa” (ورث), karena keseringan orang-orang Arab menggantikan waw (و) dengan ta (ت) termasuk pada kalimat (ورث) sehingga penggunaan kata turats (تراث) pun menjadi lebih dikenal. Namun keduanya memiliki pemahaman yang sama ketika diucapkan, yaitu sesuatu yang diturunkan kepada orang setelahnya. 

Dalam Al-Quran dua kata ini disebutkan dengan sangat jelas, seperti pada surah An-Naml: 16 

وَوَرِثَ سُلَيۡمَٰنُ دَاوُۥدَۖ 

"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." 

Dan juga dalam surat Al-Fajr: 19 

وَتَأۡكُلُونَ ٱلتُّرَاثَ أَكۡلٗا لَّمّٗا ١٩ 

"...Sedangkan kamu memakan harta warisan dengan cara memcampurbaurkannya."

Jika ditinjau dari segi bahasa, kata turast sendiri meliputi berbagai hal. Para ulama membagikannya menjadi dua kelompok besar yang pertama turats al-muqaddas (warisan yang disucikan) dan turats al-muhtaram (warisan yang dimuliakan). Turats al-muqaddas meliputi Al-Quran dan Hadis yang bersifat maksum (terhindar dari kesalahan). Hal ini jelas karena Al-Quran sendiri merupakan kalam Ilahi dan Hadis merupakan perkataan rasul-Nya yang terhindar dari kesalahan. 

وما ينطق عن الهوى , إن هو إلا وحي يوحى 

"Tidaklah nabi berkata sesuai hawa nafsunya kecuali dengan apa yang telah diwahyukan Allah." (Q.S: An-Najm:1-2)

Adapun turats al-muhtaram meliputi segala buah pikir atau karya dari para ulama yang berpotensi untuk benar dan salah dengan segala kebesaran ilmu dan kecerdasan yang dimiliki para alim ulama. Buah karya di sini meliputi berbagai bidang, mulai dari karya dalam bidang ilmu agama, kedokteran, sastra, kimia, matematika hingga ilmu astronomi. Semua karya-karya ini mencangkup dalam turats al-muhtaram

Kemudian para ulama membagi lagi turats al-muhtaram dari segi periode waktu, serta menjadikan masanya Imam Al-Ghazali sebagai batas pertengahannya. Imam Al-Ghazali sendiri lahir pada tahun 1058 M/ 450 H dan wafat pada tahun 1111 M/ 505 H maka dari itu muncullah istilah turats qarib dan turats ashli. Turas qarib merupakan karya-karya ulama yang muncul seratus tahun sebelum masa ini hingga setelah wafatnya Imam Al-Ghazali, adapun turats ashli merupakan karya-karya ulama yang muncul pada masa Imam Al-Ghazali dan sebelumnya. 

Seiring berjalannya waktu, kata turats mengalami pergeseran makna, yang awalnya secara pengertian hingga mencangkup Al-Quran dan Hadis (turats muqaddas) menjadi sebatas karya-karya ulama yang berkaitan dengan tempo waktu tertentu. Thaha Husein menjadi salah satu tokoh yang mempolpulerkan kata turats. Beliau merupakan seorang tokoh ternama di Mesir yang dikenal kepakarannya di bidang sastra dan bahasa ia mendirikan sebuah lembaga kemudian memberinya nama “Turastuna”. Dari lembaga tersebutlah mulai diterbitkan dan diperbaharui kembali karya-karya ulama terdahulu. Dari lembaga tersebut pula lahir tafsir Qurthubi dan berbagai karya-karya baru yang menyokong karya-karya ulama terdahulu hingga karya-karya muktazilah. Maka dari situ pula kata turats menjadi lebih popular dan identik dengan hanya sebatas karya ulama-ulama terdahulu pada tempo waktu tertentu. 

Karena pergesaran makna itu pula Al-Quran dan Hadis tidak lagi bisa digolongkan ke dalam turats secara pemahaman, karena akan disalah pahami oleh orang yang mendengar. Juga lantaran Al-Quran sendiri yang merupakan kalam Ilahi dan perkataan nabi yang merupakan wahyu dari Allah tidak berkaitan dengan dimensi waktu. Maka dari situlah hingga saat ini, ketika ada yang menyebutkan kata turats orang akan memahaminya sebatas karya-karya ulama terdahulu (turats al-muqaddas) seperti yang dijelaskan sebelumnya. Dalam khazanah Islam sendiri turats al-muhtaram dikenal dengan turats islamiy

Syekh Ali Jum’ah dalam kitabnya “At-Thariq ila turats Al-Islamiy” mendefinisikan 

"إن تراث الاسلامي هو: المنتاج البشري المنقول الشفوي والكتابي لأمة الاسلامية قبل مئة عام من الزمان" 

"Bahwasanya turats islami adalah segala hasil dari buah pikir manusia yang ajarkan baik secara lisan dan tulisan kepada umat muslim dalam kurun waktu seratus tahun sebelum masa ini."
Sumber foto: National Geographic

Nah, setelah mengetahui makna dari turast mari kita mulai membuka pembahasan mengapa turats menjadi tangga untuk sampai pada pemahaman Islam yang sempurna. Sebagaimana kita ketahui bahwa bahasa merupakan salah satu media untuk menyampaikan pemahaman kita kepada orang lain, begitu juga dalam berdakwah. Bahasa bisa diaplikasikan dalam bentuk bicara, tulisan bahkan isyarat. Namun ketika seseorang telah meninggal media yang tersisa untuk menyampaikan suatu paham dari orang yang telah wafat hanya tinggal sebatas tulisan karena ia tidak selalu terikat dengan fisik manusia langsung. Artinya tulisan dapat dibaca kapanpun dan di manapun walau orang yang menulis tulisan tersebut telah wafat. 

Namun suatu hal yang juga tidak bisa kita pungkiri, bahwa seiring berjalannya waktu, kata dalam setiap bahasa memiliki pergeseran paham terhadap makna kata itu sendiri. Pergeseran paham dalam memahami kata ini biasanya disebabkan oleh banyak hal. Dalam keseharian masyarakat Aceh misalnya, jika kalian menyebutkan kata “honda” maka hal yang pertama yang akan dipahami oleh masyarakat Aceh pada umumnya adalah segala jenis sepeda motor, walaupun merek sepeda motor yang dimaksud Yamaha, Suzuki, Ducati, Win dan lain-lain. Begitupun jika kalian menyebut kata “Rinso” hal yang pertama yang yang terlintas dikepala masyarakat Aceh pada umumnya adalah segala jenis diterjen walaupun kalian maksudkan adalah Daia, Molto, Attack, dan lain-lain. Padahal Honda dan Rinso tersebut merupakan suatu marek khusus, namun karena kebiasaan masyarakat Aceh dalam penggunaan kata tersebut timbulah pemahaman-pemahaman tadi. 

Contoh lain lagi seperti kata turats yang kita bahaskan sebelumnya. Turats yang mulanya memiliki pemahaman yang sangat luas namun seiring berjalannya waktu berubah menjadi sebatas karya-karya ulama. Hal ini bertanda bahwa pemahaman kata atau bahasa bisa dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat pada suatu masa dan juga kepolulerannya dalam menggunakan kata tersebut. Hal lainnya yang bisa mempengaruhi pemahaman makna dalam satu kata adalah bercampurnya antar budaya di dunia. 

Maka dari itu, suatu kata yang digunakan hari ini tidak menutup kemungkinan untuk memiliki pemahaman yang berbeda ketika di ucapkan lima puluh tahun ke depan. Begitu juga sebaliknya, kata yang muncul lima puluh tahun ke depan tidak menutup kemungkinan tidak bisa dipahami oleh kita yang hidup hari ini. Oleh karena demikian diperlukan jembatan untuk menghubungkan setiap satu masa ke masa lainnya agar mencapai pemahaman yang tepat seperti yang dimaksudkan oleh orang-orang yang telah wafat. 

Jika kita membaca karya-karya yang ditulisakan oleh orang-orang yang hidup jauh sebelum kita, atau memahaminya, termasuk memahami Al-Quran dan Hadis. Jembatan ini bisa berupa bertanya langsung jika penulisnya belum wafat, ataupun melalui orang yang pernah berdiskusi langsung dengan sang penulis karya, ataupun bisa melalui mereka yang berguru langsung pada penulis karya atau bahkan dengan mereka yang hidup semasa dengan penulis dan memiliki pemahaman terhadap kata yang sama seperti penulis maksudkan. 

Dari situlah letak salah satu kesamaan besar antara metodologi penulisan turats dengan pemindahan paham yang secara alami terjadi dalam kehidupan masyarakat. Pemindahan paham yang tertuang dalam turats dimulai sejak masa para sahabat menghafal Al-Quran langsung dihadapan baginda Rasuluullah Saw. dan mendengar Rasulullah Saw. menjelaskan ajaran Islam. Kemudian dilanjutkan pada masa setelah Rasulullah Saw. dengan mengumpulkan lembaran-lembaran Al-Quran dan membukukannya. Setelahnya dilanjutkan dengan penulisan hadist. Pada masa ini pula lahir metodologi periwayatan dan karya-karya tulis ulama-ulama Islam. Setiap permasalahan pada masa itu ditulis beserta berbagai metodelogi pemecahan masalah dari masa ke masa dari sinilah terlahir karya-karya tulis ulama-ulama Islam. Karya-karya inilah yang kemudian diwariskan hingga masa ini. Dari karya-karya tersebut pula lahir karya-karya ulama lainnya, yang menjelaskan tentang pemahaman karya ulama sebelumnya atau bahkan menuliskan permasalahan baru yang timbul pada masanya. 

Jika kita melihat ke dalam literasi dunia turats itu sendiri, tak jarang kita menemukan satu kitab induk yang mencangkup banyak permasalahan dari masa ke masa. Kitab induk inilah kemudian yang dikaji hingga muncul tiga istilah penting yang saling berhubungan satu sama lain yaitu matan, syarh, dan hasyiyah. Secara singkat, matan bisa dikatakan sebagai karya induk yang ditulisakan oleh ulama-ulama tertentu dan syarh merupakan kitab lain yang menjelaskan karya induk tadi. Biasanya pada syarh terdapat perluasan permasalahan dan penjelasan kata atau kalimat yang terdapat dalam matan hingga sampai pada pemahaman seperti yang dimaksudkan oleh penulis matan. Sedangkan hasyiyah merupakan penjelasan serta pelengkap ataupun komentar terhadap syarh bisa juga terhadap matan

Maka dari itu semua hal tadi seakan menjadi anak tangga yang saling berhubungan satu sama lain semuanya tercakup dalam metode penulisan turats yang diwariskan turun temurun hingga mencapai pada paham yang di maksudkan oleh penulis kitab induk. Kitab induk ini pula nanti akan saling berkaitan dan menjelaskan satu sama dengan kitab induk lainnya pada setiap masa yang berbeda, hingga sampai pada pemahaman-pemahaman para sahabat dalam memahami Al-Quran dan Hadis yang langsung dilontarkan dari lisan Rasulullah Saw. 

Dari apa yang kami paparkan mustahil rasanya jika ada argumen yang mengatakan dapat memahami Al-Quran dan Hadis langsung tanpa membaca dan memahami turats tigkatan pertingkatan. Apalagi memahami ayat-ayat dan hadist-hadist hukum yang mencakup makna yang sangat luas. Maka dari itu ketika kita membaca dan memahami kitab-kitab turats di situlah kita sedang belajar mamahami Al-Quran dan Hadis secara baik dan benar. Wallahu a’la wa a’lam



*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar, Kairo.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top