Harga Sebuah Kejujuran

Oleh: Ardani Suburdin Daeman* 
Unsplash.com
Riuh malam kota diisi dengan kendaraan berlalu lalang, memantulkan cahaya untuk menelisik jalan dan menghindari tabrakan dari pengendara lawan arah. Pantulan cahaya lampunya melawan bola mataku; hingga tak bisa mengenali wajah pengendara yang melintas. Lampu jalanan pun meramaikan suasana kota yang berdominan deretan penjual bermacam makanan serta minuman dan selain keduanya.

Aku menunggu sosok ayah yang masih dipertanyakan keberadaannya. Kata ayah, ayah akan menjemputku begitu pekerjaannya selesai. Hari ini jam 20.45 ayah masih bekerja, biasanya ayah kembali kerumah jam 5 sore. Mungkin ayah lupa dengan janjinya menjemputku setelah acara makan bersama alumnus pondok. Tersisa aku sendiri di pojok meja restoran, menatap hp melihat jam dan berusaha mengirimi ayah pesan wa, mengingatkan ayah yang mungkin saja terlupa menjemputku.

"Ayah, kakak nunggu ayah ya yah. Acara kakak sudah selesai, teman-teman juga sudah pada pulang." kulayangkan, ceklis dua, centang biru tanda langsung dibaca.

15 menit setelah pesan kukirim, klekson mobil berbunyi 3 kali.

"Kakak...kakak..." panggil ayah, berteriak. Membuat pemilik resto menoleh padaku beserta karyawannya.

Ku akhiri penyendirian, berjalan menuju arah mobil yang disupiri oleh ayah.

"Maaf kak, ada sedikit urusan yang belum terselesaikan" wajah lelah tak karuan ayah masih terlihat, beban pekerjaan sering kali mengeruhkan suasana hati ayah, hingga ibu berandil besar menenangkan pikiran juga hati ayah setelah kembali ke rumah.

"Titt.. Titt..." ayah mengangkat panggilan masuk.

"Iya pak, tapi saya minta pemahamannya, bantuan ini milik ummat, tolong jangan terlalu dikuras. Saya hanya mengingatkan, karena saya bertanggung jawab menyampaikannya pada yang berhak." dari nada tinggi hingga berakhir pengharapan berintonasi rendah.

Tak lama, kami sampai dirumah, ibu menyambut mengambilkan tas ransel besar yang selalu dibopong ayah ketika hendak bekerja.

"Ayah kenapa kak?" tanya ibu melihat kerutan wajah ayah, dan aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Ayah terduduk, memegang jidad, menarik nafas dan mengeluarkannya. Mata ayah memerah, seperti menahan amarah ketika aku bersalah. Posisi duduk ayah adalah caranya menenangkan diri dari hal yang tak ia setujui. Ibu datang, memberi teh hangat dalam cangkir bertuliskan "Selamat Hari Ayah" hadiah kecilku yang abadi dan terus dipakai oleh ayah, bisa dikatakan menjadi cangkir favorite ayah.

Aku dan ibu memilih diam sebelum ayah yang membuka pembicaraan. Ibu melihat-lihat buku yang sedang dibacanya, dan aku membuka catatan bahan diskusi kampus keesokan harinya. Hp ayah berdering kembali, ayah menolak panggilan yang masuk.

"Wartawan selalu bersikap demikian, menambah beban pikiran."

"Kenapa bang?" tanya ibu, masih menelusuri kata demi kata buku yang berada diantara kedua tangan ibu. Aku menyimak.

"Bantuan bibit yang masuk tahun ini membuat rusuh wartawan. Banyak wartawan yang menelepon dan mengancam, kalaulah bantuannya tidak dibagikan pada wartawan, mereka akan menuliskan berita buruk mengenai saya dan membagikan di sosial media, bukan hanya yang fakta, bahkan sampai pada memfitnah."

"Begitu berita tersebut tersebar, orang-orang bukan mencari kebenarannya, tapi langsung menghakimi. Begitu nama saya tercoret maka pekerjaan bisa saja lepas."

"Paling terbebani ya itu, ketika kita memuaskan nafsu wartawan yang tidak memahami hak-hak orang yang sebenarnya berhak mendapat bantuan bibit dengan memberikan pada mereka agar tidak hilang jabatan."

"Seharusnya atasan lebih paham, tapi manusia sekarang terlalu dibutakan dengan kekuasaan, semua cara dihalalkan agar tetap berkuasa."

"Kakak sebagai mahasiswa yang kritis bagaimana pendapat kakak? Apa yang harus ayah lakukan?"

Aku menoleh ke arah ayah, kaget mendengar ayah ingin aku berpendapat. Padahal biasanya aku hanya sebagai anak yang berdiskusi selalunya tentang kebahagiaan, dan kali ini diminta berdiskusi secara serius.

"Kakak ya, tetap benar aja yah. Kalau pekerjaan itu rejeki ayah, pasti gak bakalan lepas, kalau bukan ya cari rejeki dari yang lain yah. Ikuti kata hati ayah, tpi hati kecil yang baik yah." sambil deg-deg an berkata demikian. Pertama kalinya aku berbicara serius dengan ayah.

Terlalu kejam orang yang memakai ancaman demikian menurutku. Dengan mudahnya menyebarkan berita apapun saat ini berdampak buruk pada sebagian orang. Banyak yang dirugikan akibat sebuah pemberitaan, ada juga kalangan yang diuntungkan dari sebuah berita. Kembali lagi pada yang memuat berita, sebesar apa rasa tanggung jawabnya dalam menyuguhkan bacaan yang harus benar tanpa memfitnah ataupun menjatuhkan pihak lain.

Ayah bangkit dari duduk "Bismillah, semoga Allah memberkahi keputusan ayah." ibu turut mengangguk.

"Assalamu'alikum. Saya memutuskan untuk tetap menyalurkan bibit kepada petani yang berhak dan membutuhkan tanpa mengambil 20% untuk dibagikan pada wartawan, karena memang wartawan tidak memiliki hak untuk mendapatkannya. Terserah bapak mau memberitakan apapun, memfitnahkah, menjelekkan kah, atau apapun. Saya serahkan saja pada Allah, yang penting itu amanah saya jalankan tanpa melencengkannya. Wassalamu'alaikum wbr." Ayah menutup telepon, tanpa menunggu jawaban dari seberang.

keesokan harinya, ayah bekerja dan membagikan semua bibit kepada petani yang benar-benar berhak. Sebelumnya ayah sendiri yang terjun ke lapangan untuk melihat kondisi ekonomi para petani, agar tidak ada kesalahan dalam penyaluran.

Beberapa hari setelahnya, tidak ada berita buruk mengenai ayah, adanya satu wartawan yang menceritakan keberanian ayah dalam memberlakukan kebenaran itu sendiri. Kepala Dinas Pertanianpun memberikan penghargaan atas keberanian ayah. Allah pasti akan membalas kebenaran itu dengan kebaikan, untuk kapannya, semua urusan Allah. 




*Penulis adalah mahasiswi tingkat dua Universitas Al-Azhar Kairo.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top