Surat Darwin Kepada Junjungan Hatinya


Darwin Robusta

(Sumber foto: dok. pribadi)
Nadd, bukan tak ada alasan aku menulis kepadamu. Saat kubenahi tata letak rak buku yang telah kujejal selama bertahun-tahun, tanpa kumaui, kutemukan lagi buku puisi yang dulu kauulurkan sebagai hadiah untukku, di saat-saat kita bahkan berdiri di tengah-tengah sorotan orang ramai. Tak berselang lama, setelah kau berlalu, kupandangi buku itu seakan kupandang wajahmu, besar sekali kebahagianku bergantung pada buku itu. Tetapi, beberapa minggu kemudian, buku itu kubenamkan di antara sekian buku dan kusemogai aku dapat melupakannya selama mungkin, mungkin sampai aku mati, tersebab kau menengkariku atas sebuah kesalahpahaman, yang pada intinya membuat kita bertengkar, hingga kemudian kita berpisah.

Sampai di sini aku bingung akan kumulai dari mana semua kenangan itu—manis maupun pahit. Tapi, tujuh hari lalu, berkat seorang kawan, aku kembali bekerja di Kafe Baggi, setelah kurang lebih sebelas bulan pengunduran diri, dan aku masih saja mendapati diriku terluka. Kautahu, sampai surat ini kutulis, banyak sekali rupanya yang menyerang kepalaku dengan membawa-bawa namamu. Semua itu, tentu, karena buku puisi. Mengenai mengapa aku terpanggil untuk kembali berkubang di kafe itu, hanya ada satu hal, sebagaimana yang kuyakini bahwa di tempat itulah aku bisa meneriakkan puisi-puisi kesayanganku. Tetapi gairahku telah luntur, gairah atas sebuah kegemaran yang kerap kuceritakan padamu kala kita rajin mengatur pertemuan demi pertemuan, lalu pada pertemuan ketujuh kau terpejam dan tersenyum setelah diberondong kalimat “Aku cinta kamu.” Maka, barangkali tepat bila aku memulainya di Kafe Baggi.

Nadd, tentu kau juga ingat suatu malam, setelah menyingkir dari mik, segera kularikan diriku ke ruang belakang kafe untuk kembali mengenakan apron. Seseorang yang bahkan belum kukenal telah menyediakan waktunya untuk kutemui ketika seorang kolega berteriak padaku dari dalam bar saji, “Darwin, ada yang kepengin jumpa.” Aku baru saja keluar dari ruang belakang ketika itu, tapi begitulah kita bertemu untuk kali pertama. Sederhana sekali. Tapi tidak dengan apa yang terjadi setelahnya.

Malam itu kau mengganjariku tepuk tangan dan kaubilang bahwa kau suka bagian pengucilan terhadap pemerintah dalam puisiku. “Kakak sudah penyair” katamu kemudian pada seorang pelayan kafe yang sampai saat kita duduk berseberangan di satu meja masih tak merasa sebagai penyair, kecuali setelah kaupuji aku setengah mati. “Ah, itu hanya puisi biasa kok, lagi pula bukan tabiatnya penyair menjelek-jelekkan pemerintah.” Kataku, yang sengaja kukelirukan. Namun, betapa pun, pujian itulah yang akhirnya kubawa pulang dengan perasaanku yang tiba-tiba luhur. Sebelum dan setelah kau datang dalam hidupku, tak sedikit yang memujiku dari pertunjukan ke pertunjukan, dan hanya ‘Kakak sudah penyair’ darimu yang kubawa pulang, Nadd. Sungguh awal keajaiban bagiku.

Kita mulai bertemu secara teratur kemudian. Pada pertemuan kedua, kubilang padamu bahwa aku akan kembali ke hadapan mikrofon dua hari lagi, “Sudah kusiapkan beberapa puisi lama. Untuk puisi baru idenya masih di Lauhul Mahfud.” Kataku. Kau tertawa. Tahilalat mungil di sudut bawah mata kananmu terpiuh kulit-kulit halus. Kau begitu cantik, manis, bahkan sangat manis untukku seorang penyair anyaran, semoga akan selalu manis, senantiasa melampaui Lady Diana. Maafkan aku, Nadd, semestinya tidak kugoda engkau dalam surat ini, tapi setidaknya untuk cinta yang pernah menggiringku kepadamu, yang mula-mula kudiamkan, mungkin kau juga demikian sebelum akhirnya kita sampai pada pertemuan ketujuh.

Di Kafe Baggi siapa pun penyair yang menguasai mik, bebas untuk meluhurkan isi alam semesta, mengunggulkan cantik pacarnya, mencaci maki pemerintah, hingga berkesah pada Tuhan, sebagaimana sastra sendiri tak membelenggu berahi akal sehat.

(Sumber foto: Pexels.com)
Malam itu dua hari sebelumnya, bahwa yang kukatakan padamu telah aku siapkan puisi lama untuk manggung, itu bohong. Sebenarnya, justru kupuji setengah mati dirimu dalam selembar puisi baru yang kubangun langsung setelah pertemuan kedua. Namun sayang, malam itu—malam pertunjukanku—kau tak ada di sana, di antara para pengunjung. Aku kelesah dan berkecil hati untuk itu. Tetapi semuanya lekas membaik hingga kau datang ke kafe keesokannya dan menghadiahiku sebuah buku puisi.

“Maaf, aku tak mengabarimu semalam. Tiba-tiba aja nggak enak badan. Tapi aku bawa ini untukmu.” katamu sambil mengulurkan sesuatu.

“Apa ini?” tanyaku, lalu kulirik kiri-kanan; tak sedikit mata yang menyoroti kita.

“Buka aja dulu,”

“Jangan bilang ini sebagai permintaan maafmu,” kataku tersenyum.

“Nggak kok, tapi sebagai…” kau tertegun. “Ah, sudahlah.” Kau juga tersenyum.

Sebagaimana maklum, buku itu adalah pergantungan jiwaku, hadiah agung dari seseorang yang kutaksir. Beberapa lama kemudian, aku menceritakan padamu apa yang kaulewatkan semalam, sesuatu yang bekerja cepat mengendapkan kekelesahanku. Salah seorang dari pengunjung, yang rupanya adalah pejabat, menghampiriku setelah pertunjukan. Dia mengatakan akan sangat senang jika aku bersedia menggelontorkan beberapa puisiku pada Peringatan Hari Buruh, “Sebuah kehormatan, Pak.” Kataku pada pejabat itu. Tentu aku mengambil kesempatan tersebut, Nadd, jika bukan karena dirimu yang telah menyatakan diriku sebagai penyair, yang dengan pengakuan itu juga diriku belakangan mulai sering melirik puisi menye-menye. Maka, aku mulai membangun puisi untuk hari peringatan tersebut, tersisa kurang lebih tiga puluh tujuh hari lagi sejak hari itu. Dan dalam pada itu, aku tetap mengisi panggung di Kafe Baggi.

Pertemuan kita yang ketujuh di Kafe Baggi terjadi pada hari ketigapuluh menjelang Peringatan Hari Buruh. Dan keajaiban mulai memperlihatkan kemegahannya kala itu. Kau membuka matamu kembali. Aku penasaran “Apa rasanya diberondong peluru tepat di hati?” tanyaku pada diriku sendiri. Tapi kau kemudian tersenyum, setelah sebelumnya terpejam karena barangkali kau lega untuk cinta yang sudah berbalas.

“Aku cinta kamu juga.” Katamu. Lalu menggenggamkan tanganmu ke tanganku. Kita dua orang paling bahagia di antara umat manusia waktu itu.

(Sumber foto: Pexels.com)
Kita berpisah empat belas hari kemudian. Seorang pegiat di komunitas Tirai Bambu mewawancaraiku di salah satu meja di sudut kafe siang itu, demi kepentingan jurnal komunitas mereka. Kau duduk bersebelahan denganku, sementara si Pegiat yang duduk berseberangan denganku ini terus-menerus melontarkan pertanyaan demi pertanyaan mengenai penyambianku sebagai ‘penyair’. Setelah wawancara tuntas, si Pegiat ini, seorang perempuan, selain ngeselin—karena suatu kali dia bilang “Masa penyair nggak nelurin buku”—rupanya juga kepo berlebihan. Pegiat ini bertanya, “Ini… di sebelah Anda siapa? Pacarnya bukan?”

“Bukan,” kataku, “hanya temenan.” Setelah kuingat-ingat, kini aku sadar ternyata aku menjawab pertanyaan itu dengan lancar dan tanpa ada keraguan sedikit pun.

“Yang bener? Yakin hanya temen? Bukan siapa-siapanya dong.” Kata si Pegiat itu lagi. Seperti tadi, tanpa ragu-ragu dan tanpa melirik ke arahmu aku mengangguk. Si Pegiat terkutuk itu tersenyum seperti tidak puas dengan jawabanku.

Akhirnya si Pegiat itu cabut, melejit ke jalanan dengan menggeber motor. Tak berselang lama, kau meninggalkan kursimu dan keluar dari kafe tanpa berkata sepatah pun. Aku coba memanggil-manggilmu, kau abai. Prasangkaku masih baik saat itu. Lalu aku mengejarmu ke sana, kau sudah hampir menyeberang ke parkiran mobil ketika aku sudah sampai tepat di belakangmu. Kurampas tanganmu hingga kau berbalik. Seketika itulah aku dihujani kata-katamu, sementara itu kebisingan di jalanan mengaburkan nyaris semua omonganmu. Aku tak mengerti perasaanmu waktu itu, tapi yang kutangkap kau memperkarakan jawabanku atas kekepoan si wanita pegiat terkutuk itu. Aku mencoba berkali-kali menggiringmu kembali ke kafe agar kau dapat menjelaskan duduk perkara sejelas-jelasnya, tapi kau bersikukuh ingin pulang. Setelah berkali-kali memaksamu, akhirnya kulepaslah engkau menuruti maumu, sementara aku berharap moga esok kita bertemu dan bisa memperbaiki keadaan.

Namun, tak kusangka-sangka, keesokannya kau tiba-tiba mencabut kata-katamu melalui sepucuk surat yang menyatakan bahwa kau sudah tidak lagi mencintai aku. “Jangan harap lagi aku datang kafe terkutuk itu. Aku sudah tak berselera mendengar seorang penyair pun, termasuk juga kau. Jangan cari aku, jangan temui aku, sekarang seorang Naddine bukan lagi milik sang penyair. Kita udahan, selamat tinggal, penyair bodoh.” Itulah kata-kata di dasar surat. Kutuntaskan membacanya bersamaan dengan linangan air mata. Sungguh, Nadd, sungguh surat itu membuatku tertekan, membuatku tak lagi bersyair selama berbulan-bulan, tetapi malah terbenam dan jatuh suram. Mematikan sekali!

Naddine, aku masih mencintaimu hingga detik-detik menjelang surat ini usai. Sudah kusiapkan sesuntik bius dan sebilah pisau di hadapanku. Aku berpikir, segala sesuatu akan sia-sia bila cintamu tak lagi membentang untukku, maka ke mana lagi akan kuarahkan hidupku jika bukan kepada kematian. Lihatlah, kisah cinta yang sesingkat ini mampu membiarkan sisa-sisa keajaibannya hingga sekarang pada diriku. Padahal aku sudah mencoba melupakanmu. Namun setiap kali kucoba saat itu pula aku teringat akan kamu, junjungan hatiku. Ah, kau bukan lagi kepunyaanku, surat ini pun tak dapat membawa perubahan. Maka, demi akhir yang sempurna, pikirku, buku puisi itu: Aku Bersaksi Tiada Perempuan Selain Engkau, sudah kumusnahkan hingga menjadi abu bersama jiwaku, sebagaimana musnahnya gairah penyairku.[]



*Cerpen ini terilhami oleh cerpen ‘Surat Nurlan Daulay Kepada Junjungan Jiwanya, Martin Aleida, Kompas, 14 Juni 2015.

Posting Komentar

Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir
To Top