Al Azhar dan Masa Kegemilangannya
Oleh: Maulizal Akmal*
(Sumber:Pinterest) |
Begitu juga Al Azhar, berawal dari sebuah Masjid yang
dibangun oleh panglima Jauhar As-Shiqly pada 24 Jumadil Awal tahun 359 H/5
April 969 M, atas perintah Sultan generasi keempat Dinasti Fathimiyah yang
menganut paham Syiah, Sultan Mu’iz Lillah. Bersamaan dengan dibangunnya kota
Al-Qahirah sebagai pusat pemerintahan Fathimiyah yang baru, masjid Al-Azhar pun
dibangun sebagai tempat beribadah dan intitusi penidikan.
Berdirinya Azhar membuat keilmuan di Kairo berkembang pesat.
Ilmu-ilmu agama (walau kebanyakanya mengandung paham syi'ah) dan bahasa menjadi
bidang studi utama di Azhar saat itu. Namun, hal tersebut tidak mengurangi rasa perhatian
terhadap ilmu kedokteran, ilmu astronomi, filsafat, geografi dan lainnya.
Bahkan tak tanggung-tanggung, Sultan juga membangun Dar Al Hikmah di dekat Azhar dan mengisinya dengan ribuan buku,
tempat ini dijadikan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan pusat
rahasia penyebaran ajaran Syiah, sebagaimana yang ditulis oleh Dr. Abdul Aziz
Asy-Syanawi dalam buku nya Tarikh Al Jami' Al Azhar.
Setelah beberapa dekade berkuasa, gejolak politik dalam
pemerintahan Fathimiyah pun tak dapat dihindari. Kesempatan emas ini
dimamfaatkan dengan baik oleh Dinasti Zanky di Syam. Panglima Asaduddin Syirkuh
Bersama keponakannya, Shalahuddin Al Ayyuby sukses menumbangkan Syiah di Mesir
pada tahun 564 H/1169 M. masa pemerintahan Dinasti Ayyuby pun dimulai, di
tandai dengan pembersihan Syiah di Kairo khususnya di Azhar. Untuk membasmi
Syiah yang sudah melekat erat di Azhar. Sultan Shalahuddin pun menutup Azhar
selama 100 tahun. Semua Aktivitas di
azhar selain Shalat 5 waktu dilarang.
baca juga: Sekilas Sejarah Al Azhar Bagian I
Bahkan untuk memperkuat pengaruh Sunni, Sultan membangun
beberapa madrasah di Kairo sebagai ganti dari Azhar. Di antaranya madrasah
Annashiriyah, Madrasah Al’Adiliyah, Madrasah Azkasyiyah, Madrasah Al
Kamiliyah, dll. Sultan juga mengundang para sufi dari penjuru negara Islam untuk mendakwahkan sunni di Mesir.
Sehingga dibangunlah khanqah-khanqah (kamar-kamar kecil) sebagai tempat berkhalwah para sufi.
Sampai saat ini, Sebagian madrasah-madrasah dan
khanqah ini masih bisa kita jumpai di Kairo, tepatnya di daerah Darrasah dan sekitarnya.
Dr. Thaha Abdul Aziz dalam bukunya Al Azhar wa Dauruhu Fi Nasyri As Tsaqafah menerangkan, setelah masa Ayyuby berakhir Cairo berpindah di bawah kekuasaan Dinasti Mamalik dan ini lah masa keemasan Al Azhar. Al Azhar kembali dibuka, bangunannya direnovasi. Menara panjang yang kita lihat sekarang di masjid Azhar juga dibangun pada masa ini. Di sekelilingnya banyak dibuka Halaqah-halaqah pengajian. Di samping itu, Zawiyah dan Ribath (Istilah untuk tempat belajar dan diskusi agama) mulai menyebar di beberapa tempat. Tiang-tiang masjid Azhar setiap harinya tidak pernah sunyi dari kumpulan pelajar. Dinding-dindingnya menjadi sandaran ulama-ulama besar. Berbagai bidang ilmu dikaji baik itu Fiqh empat mazhab, aqidah, ilmu aqliyah, ilmu naqliyah, ilmu geofrafi, ilmu sejarah, dll.
Bahkan, masa ini sebuah mesjid dibangun dengan bagian tengah yang terbuka mengikuti arsitektur Persia. Bagian tengah ini biasanya memiliki empat sisi, setiap sisi dijadikan halaqah pengajian 4 mazhab besar, Hanafy, Maliky, Syafi’I dan Hambali. Masjid-masjid ini masih dilestarikan hingga sekarang. Maka tak heran, jika banyak ulama menyanjung Al Azhar dari berbagai aspek.
Baca juga: Al Azhar Sebagai Pemersatu Umat Dunia.
Pengaruh Al Azhar terhadap dunia islam semakin kuat.
Lebih-lebih saat imperium terkuat Islam di bagian timur, Baghdad, dijatuhkan
oleh bangsa Mongol. Bait Al Hikmah
sebagai institusi pendidikan Islam terbesar dunia di Baghdat dirobohkan. Ribuan buku dan karya kaum muslimin dihanguskan. Hingga, pusat pemerintahan Islam dipindahkan ke Mesir.
Tak lama setelah runtuhnya Baghdad, lagi-lagi musibah besar kembali menimpa
dunia Islam. Islam barat yang berpusat di Andalus dijatuhkan oleh pasukan
Salib. Mesjid Cordoba, Mesjid terbesar sekaligus salah satu lembaga pendidikan dunia
Islam diambil alih oleh pasukan Salib.
Setelah runtuhnya dua pusat keilmuan terbesar dunia Islam. Tentulah Azhar menjadi wadah raksasa penampung para ilmuwan Islam tersebut. Semua ulama, wali, Sufi serta para cendikiwan baik dari negara Islam timur dan barat berkumpul di Azhar. Sungguh, hal tersebut menjadi salah satu punca berkembangnya keilmuan Islam di Azhar. Maka tak heran jika hingga saat ini masih terdengar sebuah semboyan masyhur di telinga pelajar Islam "Jika kakbah adalah kiblat salat maka al Azhar adalah kiblat ilmu.”
Al Azhar terus bertahan hingga Turki Usmani menguasai Mesir. Bahkan Al Azhar tak pernah lelah membidani lahirnya ulama-ulama besar. Ibnu khaldun, maha guru Syekh Zakariya Al Anshari, Imam Ramli pengarang kitab Nihatul Muhtaj, Ibnu Hajar penulis kitab Tuhfatul Muhtaj. Tajuddin Subki, Taqiyuddin Subki, Imam Shuyuti, Imam Ahmad Dhamanhuri, Syekh Abdullah Syarqawi bahkan Imam Al Bajuri merupakan Grand Syekh Azhar. kitab-kitab mereka ditelaah dan dikaji di pondok-pondok pesantren di seluruh dunia. Begitupun Ulama-ulama yang namanya masyhur di telinga pelajar Islam saat ini, mereka semua tidak pernah luput dari mencicipi muara ilmu Al Azhar.
Orang-orang ini lah yang pantas disebut "Azhari sejati". Mereka lah yang seharusnya menjadi teladan bagi kita dalam belajar.
Kita harus merasa malu saat kapasitas keilmuan dan cara belajar berbeda
dan sangat jauh di bawah mereka. Paling tidak, sekalipun tidak bisa
menyamai keilmuan mereka, kita harus bisa menyamai semangat mereka dalam
belajar. lebih dari itu kita harus menjadi duta Azhar sebagai wadah tempat lahirnya para ulama.
*Penulis merupakan mahasiswa tingkat dua fakultas Ushuluddin Al Azhar Kairo.
Editor: Annas Muttaqin
Posting Komentar